Bis Rela jurusan Purwodadi - Solo melaju perlahan. Maklum karena penumpang sudah penuh sehingga si supir tidak perlu ngebut untuk rebutan penumpang dengan bis lain. jika saja penumpangnya sedikit, pastilah bis yang body nya sudah seperti perawan era 45an tersebut seperti gerobak yang didorong sangat keras. dimana-mana terdengar bunyi 'grobyak-grobyak' karena semua sambungan besi dan baja di badan bis sudah sangat tua. apalagi jalanan Purwodadi - Solo banyak yang bergelombang karena struktur tanahnya yang bergerak.
Parto sampai di Terminal Tirtonadi sekitar jam 6 sore. Buru-buru santri ndugal (santri yang ndablek) ini menuju Mushala di pojok terminal yang dikenalkan oleh Didi Kempot lewat lagunya Tirtonadi. sehabis shalat dia ke ruang tunggu bis yang lebih mirip seperti ruangan bengkel karena lantainya yang sudah menghitam karena terkena solar dan oli bis setiap hari.
cukup lama dia menunggu bis jurusan Surabaya - Yogyakarta yang biasanya berhenti di salah satu terminal terbesar di JawaTengah tersebut. untuk menghilangkan penat, Parto duduk di bangku besi yang catnya sudah banyak yang mengelupas sambil minum air mineral. Dia termenung....memikirkan banyak hal mulai dari orang berlalu lalang didepannya sampai urusannya sendiri.
ya....Parto baru saja membuat keputusan yang sangat besar didalam sejarah hidupnya. dia berani memutuskan untuk melamar Tumi meskipun dia tahu bahwa sebenarnya masih banyak hal yang harus diselesaikan berdua. salah satunya adalah perbedaan duniannya dengan dunia Tumi.
ya....dunia Parto adalah dunia yang sangat merakyat. artinya, hidup Parto tidak banyak berbeda dengan kehidupan rakyat Indonesia pada umumnya, tidak menentu dan akrab dengan peluh dan keringat untuk bertahan hidup. tetapi toh Parto sangat menikmati kehidupannya tersebut. bahkan dia sangat takut untuk kehilangan kehidupannya tersebut ketika nantinya dia menikah dengan Tumi yang menurutnya kehidupan Tumi sedikit 'keningratan.'
tentu Parto bingung! harus memilih untuk hidup bersama Tumi tapi harus merelakan kehidupannya yang merakyat tersebut atau memutuskan untuk terus merakyat tapi dia tidak akan pernah hidup bersama Tumi.
Pasti Parto masih ingat sejarah Soekarno ketika dia diasingkan oleh Belanda. Ketika itu Soekarno sebagai seorang pemimpin harus hidup sendiri di Pulau Ende Flores. Belanda sangat cerdik karena jika ingin membunuh Soekarno tidak berarti harus memotong leher atau urat nadinya, cukup diasingkan dari dunianya saja.
nah, bisa dibayangkan jika Parto harus seperti Soekarno ketika dia hidup bersama Tumi. tapi....Parto berfikir keras, masak sih Tumi sama dengan Kompeni Belanda??? tapi bisa saja kan Cintanya kepada Tumi itulah yang justru nanti menjadi penjara yang bisa lebih kejam daripada Pulau Ende????
aahhh...........masak bodo lah! gumam Parto dalam hati sambil membuang botol air minral yang sudah kosong ke tong sampah didekatnya. dia mulai melihat jam di hapenya yang sudah menunjukan pukul 6.30 menit. tanpa disadarinya ternyata dia sudah di Terminal itu sekitar 30 menit. saat Parto masih asyik bercengkerama dengan pikirannya, tiba-tiba ada tangan yang menujur kearahnya....
Mas minta uang mas buat makan!?? ada suara lirih didepannya.
tanpa ba bi bu Parto langsung memberi isyarat tidak ingin memberi dengan menodongkan tangannya ke depan sembari menggerakan ke lima jari tangannya ke kanan dan kekiri tanpa bersuara.
orangyang meminta tersebut segera berlalu tanpa berucap. tetapi ternyata dia tidak berlalu terlalu jauh, cuma disamping Parto. ternyata orang itu mengais botol air mineral yang dibuangnya tadi untuk dimasukan ke dalam tas kresek.
buru-buru Parto tersadar bahwa orang tersebut benar-benar butuh uang untuk makan. pakaiannya yang lusuh dan kaki kirinya yang harus disangga dengan tongkat menujukan bahwa orang ini adalah rakyat-rakyat Indonesia sebagai korban keningratan para orang-orang kaya.
Parto langsung mencari uang receh di saku dan tas punggungnya. tetapi sial ternyata dia cuma mendapatkan uang 200 rupiah. dia tidak berani membuka dompet karena disitu uangnya tinggal 24 ribu untuk beli tiket bis cepat ke Jogja. dia ingat betul bahwa uang didompetnya tinggal 24 ribu. lalu buru-buru dia berikan 200 rupiah itu ke gelandangan tersebut.
ini pak....suara Parto serak menahan sebuah emosi yang sangat dalam. dia merasa bersalah tidak bisa memberi uang banyak dan tadinya menolak orang itu.
dia terus memperhatikan orang itu mengais tong sampah yang baunya agak menyengat karena sampah kering dan basah bercampur jadi satu.hatinya tidak tega orang itu harus bergelut dengan kotoran untuk sesuap nasi sedangkan orang lain sangat mudah mengkorupsi uang jaminan sosial.....siapakah yang bersalah dalam hal ini? Parto bergumam dalam hati.
sembari terus melihat orang itu, dia berani membuka dompet sapa tau ada uang yang menyelip di dompet. dan ternyata benar ada uang 5000 rupiah disela-sela dompetnya.lalu dia berikan uang itu kepada gelandangan lusuh tersebut.
ini pak buat beli makan, maaf ya. Parto berusaha membayar sikap penolakannya dengan prinsip hukum jual beli. ketika dia mengucapkan maaf dan orang itu tidak marah, maka Parto berfikir bahwa secara hukum orang itu telah memaafkannya. sama halnya ketika dia beli barang di supermarket.
terima kasih banyak mas....terima kasih terima kasih! kata orang tersebut.
hatinya Parto seperti tersayat-sayat, kasihan dan emosi bercampur jadi satu.
didalam hati Parto bertanya, yang mana sih tanggungjawab sosial, belas kasihan, moral dan etika dalam kehidupan???
(bersambung......................)
Yogyakarta 14 Juli 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar