Rabu, 01 Februari 2012

DIANTARA SUARA SURGA DAN NERAKA

Siapa yang tidak kenal Yogyakarta! Kota tersebut tidak hanya terkenal dengan pendidikan dan pariwisatanya melainkan juga dikenal dengan kreatifitas seniman dan masyarakatnya. Bagi yang ingin belajar, tentu Yogya, begitu orang biasa menyingkatnya juga akan menjadi pilihan pertama. Semua orang yang sudah pernah ke Yogya tentu akan terus teringat akan kesan-kesan yang begitu mendalam.

Begitu juga dengan Parto. Dia pertama kali mampir ke kota kerajaan ini pada tahun 1997, tepatnya ketika dia ikut program Study Tour yang diadakan oleh SMAnya. Semua siswa yang akan naik ke kelas 3, yang pada waktu itu berjumlah sekitar 100 siswa, wajib mengikuti tour ini. Hanya dengan membayar sebesar 47 ribu rupiah, siswa sudah mendapatkan transportasi, akomodasi, makan dan transportasi lokal selama 3 hari di Yogya. Nah loh! tentu jumlah uang tersebut sangat kecil dibandingkan dengan falilitasnya. Tapi dengan semangat yang berapi-api dari Pak Kholis sebagai kepala sekolah untuk mengenalkan kota Yogya, semua bisa diatur dengan halal. 

Transportasi dari Banyuwangi ke Yogya menggunakan kereta api ekonomi. Satu gerbong disewa oleh sekolah dan masing-masing siswa dikenakan biaya 9000 rupiah sekali jalan. Untuk akomodasi bukan hotel berbintang atau penginapan, melainkan rumah kosong yang disewa selama tiga hari untuk tidur. Rumah itu pas disebelah utaranya Masjid Agung Yogya. Kemudian semua bagian rumah yang kosong tersebut diberi karpet dan disekat untuk memisahkan siswa dan siswi. Jadi tidurnya dilantai, bukan di tempat tidur atau di sofa. Tapi demi merubah pola pikir tradisional menjadi Mermodern, semua dilakukan dengan penuh semangat, semata-mata untuk keluar dari kepompong kemiskinan. Begitulah kira-kira pemikiran Pak Kholis.

Memang pada waktu itu Pak Kholis sangat terkenal anti tradisi Islam tradisionalis. Dia ingin keluar dari kubangan pesantren yang menurutnya tidak hanya kumuh dan kotor melainkan juga menghambat perkembangan pola pikir manusia yang cenderung pasrah menerima keadaaan. Kehidupan sufi dan 'nrimo ing pandum' adalah dua kata yang haram untuk diucapkan dan diamalkan. Semua harus berihtiyar dan ber istiqomah. Manusia harus menemukan takdirnya dengan berusaha, bukan mengutuk keadaaan sebagai takdir! Slogan ini sering diucapkan Pak Kholis dihadapan Parto dan teman-temannya. Kata-kata Pak Kholis tersebut seperti suara dari surga yang ingin menggugah pemikiran para siswa yang memang rata-rata berasal dari keluarga miskin.

Akhirnya toh Pak Kholis bisa membawa anak didiknya ke Balai Irung UGM yang sangat megah tersebut. Parto dan teman-temannya sangat mengagumi arsitektur bangunan yang dirancang oleh arsitek Rusia tersebut. Rombongan Pak Kholis diterima bagian humas UGM dan diperkenalkan mengenai seluk beluk universitas terbaik di Indonesia tersebut. Setelah selesai, rombongan berkeliling fakultas yang ada disekitar balai irung, berjalan kaki dibawah rerimbunan pohon yang banyak tumbuh dipinggir-pinggir jalananan kampus.

Sepulang dari Yogya semua siswa merasakan aura perbedaan yang begitu luar biasa. Meraka masih ingat bagaimana mahasiswa-mahasiswa terlihat begitu keren dan bersemangat. Diskusi dikelas selama seminggu tidak bisa dilepaskan dari pengalaman para siswa selama di Yogya. Hampir semuanya ingin melanjutkan studi ke jenjang perguruan tinggi. 

Namun tidak dengan Parto. Dia tetap mantap ingin meneruskan ngajinya ke pesantren. Bukan karena dia tidak suka melanjutkan studi ke universitas, tetapi karena dia sadar bahwa itu terasa sangat tidak mungkin. Bagaimana dia bisa kuliah untuk membayar iuran dan makan tiap hari padahal orang dirumah makan sehari-hari saja sudah susah. Dia ingin melupakan kenangan di Yogya agar tidak menyakiti pikirannya. 

Oleh karena itu, ketika dia lulus dan ada program konsultasi sebelum pengambilan ijasah, dia bilang sama Pak Kholis yang setiap tahun bertugas menjadi motivator siswa, bahwa dia ingin ke pesantren saja. Dia bilang ingin mendalami ilmu kanuragan biar nanti bisa mengajari anak-anak di kampungnya tentang ilmu bela diri. Diskusi antara Parto dan Pak Kholis itu berlangsung sekitar 5 menit dan begitu juga alokasi waktu yang diberikan kepada siswa lainnya.

Seperti biasa, diakhir konsultasi, Parto diminta oleh Pak Kholis selaku motivator sekaligus kepala sekolah untuk tanda tangan ijasah yang menandakan bahwa dia telah benar-benar lulus dari Sekolah Menengah Umum Al Hikmah, sebuah sekolah swasta favorit di belahan timur Banyuwangi. 

Parto dengan sigap merogoh kantong bajunya. Tapi seketika itu dia panik!!
Alamak.....mana pulpenku. Kata Parto dalam hati. 
Setelah beberapa kali merogoh kantong tetap ga ada, diaa baru ingat bahwa ternyata pulpennya dipinjam sama temannya, Irul Cemet. Seketika itu juga keringat dingin Parto mengalir deras dibadannya. Perlahan-lahan Parto mulai menatap Pak Kholis. 

Boleh pinjam pulpennya Pak....., pulpen saya dipinjam teman. Parto menjelaskan alasan dia tidak membawa pulpen dengan suara pelan agak ketakutan.

"Kamu itu tidak layak untuk lulus, Kamu benar-benar tidak siap menghadapi kompetisi, Hidup itu tidak bisa hanya bersantai saja....kamu harus siap"!!! Tiba-tiba suara Pak Kholis meledak.

Parto yang sudah menyadari kesalahannya tidak bisa berbuat apa-apa selain menunggu arahan dari sang Kepala Sekolah yang sudah mulai marah. Dia tidak berani beranjak dari tempat duduknya karena tidak ada perintah untuk mencari pinjaman pulpen. 

"Ini, silahkan kamu tanda tangan......"!! Pak Kholis menyodorkan tangannya sambil menawarkan pulpen untuk digunakan Parto menandatangani ijasahnya. 
Tanpa pikir panjang Parto pun langsung menyambar pulpennya Pak Kholis dan menandatangani ijasahnya. Dia ingin segera keluar dari ruangan yang seketika itu juga berubah menjadi seperti neraka. Terasa panas dan menyakitkan. 

"Terima kasih pak......" Parto menyerahkan pulpen tersebut kepada Pak Kholis. Setelah itu Parto keluar ruangan. Dia seperti baru terbebas dari penjara melihat teman-temannya yang sibuk mengisi data-data siswa untuk buku kenangan. Semua tertawa dan bercanda riang. Ada yang ngobrol-ngobrol sambil makan dan minum. Semua siswa merasakan betapa hari itu adalah hari yang sangat membahagiakan. 

Namun tidak bagi Parto. Dia merasakan hari itu seperti hari penentuan apakah dia akan masuk neraka atau surga. Dia baru saja keluar dari neraka selama lima menit dan tentunya dia tidak mau mengalami hal yang sama. Dia masih ingat bagaimana raut muka sang kepala sekolah yang seperti malaikat penjaga neraka, tanpa ampun menghukum siapa saja yang salah tanpa menanyakan sebab kesalahanya. 

Aku tidak akan menginjakan kakiku kerumahmu sebelum aku menjadi orang yang sukses.....Gumam Parto dalam hati sambil meninggalkan halaman sekolahnya. Dia ingin menunjukan bahwa kepala sekolah telah salah ketika mengatakan Parto tidak siap untuk menghadapi kompetisi hidup.  




Tidak ada komentar:

Posting Komentar