Rabu, 09 Oktober 2013

Cinta Lama Bersemi Kembali

Sudah lama tidak membuka blog. Rencana mau aktif lagi kl sudah menyelesaikan Bab 5 Disertasi...i will come back to you soon!!

Kamis, 01 Agustus 2013

HAK BERAGAMA DALAM SPEKTRUM HUKUM INDONESIA

Nelson Mandela pernah mengatakan; ‘jika kamu berkata dengan bahasa yang mereka mengerti, nalar mereka akan berusaha memahaminya. Namun jika kamu berkata dengan bahasa mereka sendiri, mereka akan meresapinya dari lubuk hati mereka yang paling dalam’.

Argumentasi Mandela tersebut kiranya sangat relevan untuk mengkaji persoalan hak beragama yang hingga kini masih menyisakan ruang kontroversi. Wacana universalisme dan relativisme hak beragama belum tuntas karena kompleksitas pemikiran dan kondisi sosial masyarakat di berbagai negara yang beragam. Begitu juga dengan kondisi hak beragama di Indonesia yang seakan menjadi anomali demokrasi pasca reformasi. Semakin hari kian banyak penyerangan terhadap sekte-sekte keagamaan yang dianggap menyimpang. Selain kurang tegasnya pemerintah,  persoalan tersebut juga diperburuk dengan wacana hak beragama yang seakan meminimalisir dimensi hukum Indonesia, yakni hanya berkutat pada konstitusi dan instrumen internasional.

Realitas spektrum hukum di Indonesia lebih luas, mencakup hukum yang bersumber dari agama dan kebiasaan yang juga sangat mungkin implementasinya melampaui jurisdiksi kedua hukum tersebut. Tidak semua orang mengenal pasal-pasal hukum nasional dan internasional tentang hak beragama. Mereka lebih dekat dengan agama dan akrab dengan kebiasaan di masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum. Jadi sangatlah naïf jika hukum Indonesia modern hanya mengeksplorasi instrumen internasional dan mengabaikan dimensi-dimensi hukum lainnya yang masih berkembang di masyarakat.

Berangkat dari wacana tersebut, tulisan ini berusaha menguji argumentasi Mandela dengan menggali spektrum hukum Indonesia yang bersumber dari agama dan kebiasaan di masyarakat untuk menyeimbangkan sistem hukum Indonesia mengenai hak beragama.

Hukum Islam
Dimensi Hukum Islam tidak bisa diabaikan dalam diskursus hak beragama di Indonesia meskipun dalam aturan hukum nasional jurisdiksinya tidak menyinggung persoalan tersebut. Meskipun keberadaan dan kebijakan dari institusi-institusi keagamaan pemerintah dan non pemerintah tidak mengikat secara hukum namun kandungan moralitasnya bisa lebih kuat mengikat masyarakat. Terkait dengan hal ini, ada dua kesalahan mendasar dari perspektif masyarakat mengenai keberadaan institusi-institusi tersebut dalam kaitannya dengan hak beragama di Indonesia.

Pertama, pihak-pihak pendukung hak beragama versi instrumen internasional seakan mengabaikan peran institusi keagamaan tersebut. Dari berbagai laporan kehidupan beragama dan kekerasan atas nama agama, institusi-institusi tersebut seperti dianaktirikan dan terus menjadi sasaran kritik. Di lain pihak, perlawanan institusi-institusi keagamaan tersebut juga semakin keras ketika dipinggirkan. Di tahap inilah spektrum penerapan hak beragama semakin melebar dan sangat mungkin sulit diwujudkan. Hal ini disebabkan penerapan sebuah aturan tidak bisa lepas dari konteks kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berada didalamnya. Jika spektrum tersebut terus berlangsung maka bisa mengamputasi hak beragama dan mengancam hak minoritas agama.  

Kedua, institusi-institusi keagamaan tersebut juga berkutat pada tataran yurisprudensi Hukum Islam (fikih) tentang hak beragama yang tentu saja mempunyai spektrum hukum sangat luas. Sayangnya pilihan hukum terhadap fikih yang mereka lakukan jatuh pada tafsir keagamaan yang cenderung keras dan berlawanan dengan hak beragama. Padahal Al Quran dan Hadits sebagai grundnorm Hukum Islam juga mempunyai dimensi humanisme yang melindungi hak beragama bagi siapapun.

Misalnya, Surat An Nisa (94) menegaskan bahwa siapapun yang mengucapkan ‘salam’ kepada umat Islam maka tidak bisa dikategorikan sebagai kafir apalagi dibunuh. Ayat ini ditegaskan lagi dengan Hadits yang juga menyatakan bahwa siapapun yang melakukan shalat seperti umat Muslim pada umumnya, yakni dengan menghadap Kiblat maka mereka adalah juga Muslim yang harus punya hak seperti umat Islam. Ibnu Hazm, seorang ilmuan Islam yang hidup di era Dinasti Umayyah juga menyatakan bahwa siapa saja yang mengucapkan kalimat syahadat menjadi Muslim.

Jadi, siapapun yang mempunyai penafsiran keagamaan yang berbeda dengan Islam mainstream, mereka sejatinya adalah Muslim yang seharusnya mempunyai hak yang sama dengan umat Islam pada umumnya. Perbedaan penafsiran sudah lama terjadi di kalangan umat Islam dan tidak perlu dimusuhi melainkan dilihat sebagai khazanah Islam.

Kebiasan Masyarakat
Dimensi kebiasaan masyarakat menjadi sangat penting mengingat selama ini penyerangan terhadap minoritas agama juga terjadi di masyarakat-masyarakat pinggiran. Sangat besar kemungkinannya mereka tidak mengenal substansi hak beragama di Konstitusi dan instrumen internasional. Pengenalan instrumen internasional mengenai hak beragama tanpa mengetahui kebiasaan yang terjadi di masyarakat justru bisa dilihat sebagai sebuah pemaksaan dan ancaman. Pada akhirnya model pendekatan ini justru menciptakan spektrum hak beragama antara masyarakat dan pegiat hak asasi manusia.

Kita harus akui bahwa sistem hukum di Indonesia sejak era Belanda hingga kini hanya berubah dalam tataran teknis, yakni penulisan aturan dalam bentuk perundang-undangan. Pada dasarnya substansi hukum kebiasaan masih terus tumbuh di masyarakat. Cara-cara penyelesaian hukum tidak selalu berakhir di pengadilan melainkan hanya pada tingkatan konsensus di masyarakat. Jadi kurang arif jika kita hanya mengatakan sebuah penyerangan terhadap sebuah kelompok keagamaan adalah murni sebuah pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini disebabkan karena persoalan pelanggaran terhadap hak beragama hanya dilihat dari perspektif positivistik yang mengacu pada aturan tertulis. Para pihak yang terlibat dalam proses konsensus lebih sering dilupakan. Selain itu pusaran perspektif penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia hanya berhenti di ranah tanggungjawab negara.

Mengacu pada argumentasi diatas, berkutat pada tataran instrumen internasional sama halnya dengan mengembalikan hukum Indonesia ke era penjajahan, menganaktirikan dimensi hukum lain seperti kebiasaan di masyarakat dan hukum dari agama. Padahal jika kita ingin melindungi minoritas agama yang dianggap menyimpang, tentu akan lebih mudah jika kita menggali hak beragama yang ada di agama tersebut. Kemudian jika kita ingin meredam kekerasan yang terjadi, sudah sepatutnya kita menelusuri kebiasaan yang berlaku di masyarakat dalam menyelesaikan sebuah persoalan.

Sebuah penyesaian hukum di Indonesia tidak hanya dimaksudkan untuk memidanakan sebuah tindakan yang berlawanan dengan hukum melainkan juga mengembalikan kondisi sosial yang sudah rusak terkait dengan adanya konflik tersebut. Tentu konsep ini merupakan penyimpangan dari konsep hak asasi manusia internasional yang lebih menekankan perlindungan terhadap individu. Indonesia mempunyai sistem hukum yang berbeda dan akan lebih baik jika kita bisa menggalinya agar masyarakat bisa meresapi hak beragama dari lubuk hati mereka yang paling dalam.