Sabtu, 27 November 2010

Parto Ingin Jadi Abu Nawas

ilahilas tulil fidaus siahla...wala ahwal ala nari il jahimi....
fahab li taubatan wa fir dunubi...fa in naqgha firu dambir adimi.....

ya allah saya bukan ahli surga,
tapi saya juga tidak kuat dengan siksa neraka,
mohon semua dosa saya diampuni,
sebab hanya Engkaulah bisa mengampuni semua dosa hambamu ini.

itulah syair yang sering dibaca Abu Nawas sehabis shalat lima waktu. siapa yang tidak kenal Abu Nawas, seseorang yang cerdik dan tidak pernah kalah oleh siapapun. Abu Nawas juga tidak pernah kalah atau menyerah meskipun diancam dengan hukuman pancung sekalipun oleh Harun Al Rasyid, seorang khalifah Islam dijaman dinasti abasiyah yang berkedudukan di Irak.

seringkali Abu Nawas diminta oleh sang Khalifah ke istana untuk sekedar menghibur. apalagi kalau bukan mengancam sang kancil tersebut untuk dipancung kepalanya. rupanya Harun Al Rasyid sangat tahu betul bahwa Abu Nawas pasti bisa menjawab atau membantahnya dengan membuat sang Khalifah tertawa.

lalu apa hubungannya dengan Parto? ya, meskipun kedua orang itu hidup di jaman yang berbeda, mempunyai kepribadian yang berbeda dan latar belakang yang berbeda, tetapi keduanya mempunyai kesamaan.
diantaranya, kedua-duanya adalah orang yang tidak mau kalah dengan apapun. tetapi perbedaannya, didalam cerita 1001 malam tersebut, Abu Nawas sering digambarkan berinteraksi dengan kerajaan dan Khalifah. tidak demikian dengan Parto yang sering bergaul dengan masyarakat kecil. selain karena memang dia adalah orang yang 'miskin' di kampungnya, kecintaannya kepada masyarakat juga dipengaruhi oleh lingkungan dimana dia hidup.

ya...Parto yang menghabiskan sebagian besar hidupnya di sebuah dusun terpencil di Banyuwangi selatan tersebut sering menjumpai sisi lain dari kehidupan nyata di negaranya, Indonesia. sebuah sisi lain yang belum tuntas dibahas oleh media dan pemerintah. sebuah kehidupan nyata yang dianggap samar-samar atau tidak dihiraukan sama sekali keberadannya.
suatu hari, dia berangkat ke Surabaya naik kereta malam dari stasiun kalibaru, sebuah stasiun kereta api di bagian barat banyuwangi. disela-sela waktu menunggu, dia memperhatikan seorang gila yang menyapu sampah-sampah dari puntung rokok dan kulit kacang yang dibuang oleh calon penumpang kereta. dan anehnya para calon penumpang kereta kelas bisnis dan eksekutif tersebut seakan cuek sambil terus merokok dan membuang kulit kacang. si Gila yang pakaian dan kulit badannya belepotan kotoran dekil karena tidak dibersihkan selama beberapa hari tersebut terus saja menyapu sampah-sampah tadi sampai bersih.

Parto berfikir sangat dalam sambil menghisap rokok mentholnya.....ah, siapakah yang pantas dikatakan kanibal? siapa yang lebih berpendidikan, bermoral, dan berperilaku santun terhadap lingkungan?
apakah aku juga lebih baik dari mereka yang membuang puntung rokok dan kulit kacang tersebut meskipun aku tidak membuang abu rokokku sembarangan? tanya Parto dalam hati. atau aku lebih tak bermoral dari orang gila tersebut karena membiarkan dia menyapu sendirian?
tanpa disadarinya air matanya meleleh....tak kuasa menahan marah bercampur kebencian terhadap perilaku orang-orang kaya yang tak punya moralitas dan etika terhadap lingkungan sama sekali. Parto mungkin merasa pendidikan yang selama ini dia dapatkan tidak ada gunanya kalau masih ada orang gila yang menyapu kulit kacang sedangkan dia tidak makan bijinya. orang-orang yang berpenampilan parlente tersebut juga semakin membuat Parto berfikir apakah dia layak menyandang semua gelar yang telah dia raih sedangkan dia tidak bisa berbuat sesuatu kepada pewaris budaya primordial tersebut?

kemudian terbersit didalam pikirannya untuk menjauh dari orang gila dan orang kaya tersebut. dia merasa tidak kuat harus menanggung beban dipundaknya sebagai calon ilmuwan. sepertinya kata-kata ilmuwan masih terlalu jauh dari impian Parto. inilah yang membuat Parto berfikir.....apa yang membedakan si gila dengan si kaya.

seringkali Parto menangis melihat kenyataan dari 'sisi lain' dari kehidupan tadi. betapa dia merasakan hidup di Indonesia itu tidak hanya butuh semangat tapi juga seperti taruhan judi kartu yang kita tidak pernah tahu jenis kartu apa yang akan muncul. sering emikiran orang menjadi sangat pragmatis karena tuntutan hidup yang semakin keras.

bersambung...ngantuk nih

Tidak ada komentar:

Posting Komentar