Sabtu, 31 Desember 2011

Islam, Judi dan Kebersamaan

Parto kecil bukan hanya sebagai anak kampung namun juga anak dekil yang lugu. Namun begitu orang kampung mengenalnya sebagai anak cerdas karena beberapa kali menjadi rangking pertama di sekolahnya, Madrasah Ibtidaiyah, sebuah sekolah agama yang kental dengan ajaran Islam NU. Keberadaan sekolah tersebut seakan menjadi ikon resmi bahwa masyarakatnya Parto adalah kaum nahdliyin. Jika ada sekolah yang mengklaim sebagai sekolah yang tidak NU, maka tidak akan laku. Bahkan sekolah negeri seperti Sekolah Dasar Negeri maupun sekolah lanjutan negeri acap kali disebut sebagai sekolah kurang Islami. Siapa saja yang sekolah disana akan dikucilkan dari masyarakat dan mendapat sebutan Islam palsu.

Memang stigma negatif tersebut sangat ampuh untuk mempromosikan Madrasah Ibtidaiyah meskipun biaya sekolahnya tentu lebih mahal daripada sekolah negeri karena Madrasah tersebut adalah sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah atau bahkan Pengurus Besar NU di Jakarta. Malahan pengurus PBNU juga tidak pernah tahu bahwa di kampung itu ada sekolah yang oleh masyarakatnya disebut sebagai sekolah Islam NU dan ada ratusan anak yang sedang sekolah disitu dan sudah ada ribuan yang lulus dan tersebar di Indonesia.

Parto kecil juga tidak tahu bahwa itu adalah sekolah Islam NU. Yang dia tahu cuma satu...sekolah dengan membawa buku, mencatat, menghafal dan kemudian pulang. Seperti biasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan, Parto selalu pergi ke Mushala selepas maghrib untuk belajar membaca Al Quran. Biasanya dia juga bermalam di Mushala dan kadang pulang jika dijemput kakeknya.

Selain dari waktu tersebut, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain bersama teman-temannya. Jenis dan tempat permainannya tidak terbatas oleh musim dan tidak terbatas oleh barang permainan toko. Semua dibuat dari alam dan dikondisikan dengan musim. Jika musim kemarau maka arena permainan lebih sering di halaman rumah untuk bermain kelereng, gangsing, maupun jenis permainan rakyat lainnya.

Jika musim hujan, area permainan akan dipindah ke sungai dan sawah. jenis permainan di musim hujan biasanya agak sedikit menjijikan. misalnya berenang di sungai bersama kerbau atau bermain gajuk, yakni permainan melempar tongkat kedalam lumpur dan yang kalah adalah mereka yang tongkatnya menempel ditanah/lumpur. Hanya ada satu pemain yang kalah. Jadi untuk hukuman biasanya tongkat para pemain yang menang akan dilumuri lumpur yang dicampur dengan kotoran kerbau untuk ditempelkan ke kaki pemain yang kalah.

Ada lagi permainan wok-wokan, yakni permainan yang menggunakan kelereng sebagai media permainan. Selain itu juga dibutuhkan sebuah lubang yang digunakan untuk memasukan kelereng tersebut. Permainan ini tidak menentukan pemenang tapi menentukan pemain yang kalah. Pemain yang kalah adalah yang memasukan kelereng paling akhir ke lubang yang telah ditentukan. Ini seperti permainan golf namun bedanya tidak menggunakan tongkat pemukul melainkan menggunakan jari tangan untuk menjentikan kelereng. Pemain yang kalah harus menerima hukuman, yakni tangannya diletakan ditanah dan kemudin dijatuhi kelereng dari para pemain. Biasanya jarak jatuhnya kelereng sebatas pinggang pemain.

Tidak ada dendam diantara mereka, semua dinikmati seperti kehidupan normal mereka setiap hari..bercanda dan bermain bersama dalam kehangatan. Berbeda dengan para suporter bola atau bahkan pengurus bola di negeri ini yang sering bertengkar hanya masalah perbedaan pendapat.

Ada juga permainan yang berbau judi. Salah satunya adalah Permainan Dim Diman. Permainan ini sangat sering dimainkan karena sangat disukai oleh masyarakat muda dan tua. Dim diman menggunakan sabit yang dilemparkan ke sebuah tongkat. jarak dari tempat melempar ke tongkat ditentukan oleh kesepakatan para pemain. Biasanya sekitar 10 meter. Sabit yang paling dekat ke tongkat adalah pemenangnya. Sebagai taruhan, para pemain menggunakan rumput yang digunakan untuk memberi makan ternak. Jadi yang paling pandai melempar biasanya tidak perlu merumput terlalu lama, cukup merumput beberapa genggam rumput dan digunakan untuk bermain dan dia sudah bisa membawa sekarung rumput untuk ternaknya.

Permainan judi lainnya adalah permainan kelereng yang menggunakan taruhan. Parto adalah anak yang sangat terkenal main kelereng. Bahkan keahliannya tersebut membuatnya sangat laku karena dikontrak oleh teman-temannya untuk membantu mereka bermain kelereng. Jika menang upahnya adalah kelereng. Kelereng hasilnya bermain tersebut kemudian dijual kepada teman-temannya. Dan bisanya esok hari Parto mengajak teman-temannya tersebut untuk bermain kelereng dan pastinya mereka kalah. Kemudian beli kelereng lagi, main lagi dan kalah lagi.

Jika malam hari, permainan justru sangat beragam. Mulai dari permainan petak umpet, balapan mobil-mobilan yang ada obornya, sampai pada permainan jek-jekan, yakni permainan seni mempertahankan rumah dan serdadu dari serangan pihak lain. permainan ini membutuhkan strategi dan kebersamaan tim.

Kebersamaan itulah yang mengilhami Parto untuk menjadi manusia yang multidimensi. Kebersamaan tidak harus ditentukan oleh kesamaan ras, agama, maupun pendapat. Kebersamaan bisa dibangun berdasarkan keikhlasan untuk kalah dan menang. Kebersamaan harus tumbuh dan berkembang meskipun satu atau beberapa pihak merasa terluka dan pihak lain tertawa. Kuncinya semua harus memahami bahwa semua itu adalah sebuah tahapan kehidupan yang harus dilalui oleh semua manusia.

London, Last day of 2011

Jumat, 30 Desember 2011

HIBERNASI PEMBERANTASAN KORUPSI

tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar ‘No Justice No Welfare’ HMI Cabang Jember
17 Desember 2011


Masa transisi untuk memasuki era baru pasca runtuhnya rejim orde baru membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang tak mampu dihindari oleh bangsa Indonesia. Euforia reformasi tak hanya berdampak positif terhadap proses demokrasi seperti terbukanya kran penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia melainkan juga mengakibatkan semakin banyaknya gelembung-gelembung negatif seperti kejahatan korupsi. Perilaku tersebut tidak hanya mengancam proses demokrasi melainkan juga sustainabilitas bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Disatu sisi, sebagian besar masyarakat sudah menikmati segarnya kran kebebasan dalam berbangsa dan bernegara. Namun disisi lain kebebasan yang didengungkan justru dimanfaatkan oleh oknum masyarakat untuk memperkaya diri secara ilegal. Perilaku liar mereka terus menyebar, menghisap kekayaan negara dengan menyusup ke berbagai celah institusi pemerintahan dari pusat sampai daerah.
Modus operandi para koruptor ini seperti kartel narkoba. Jejaring mereka sangat kuat karena berselingkuh dengan aparatur penegak hukum, pemodal dan elit sosial. Mereka membentuk sistem sendiri, yakni sistem penyelenggaraan negara yang korup, anti transparansi dan bersembunyi dari pengawasan masyarakat. Konsekuensinya, perilaku busuk yang mereka timbulkan bak (maaf) kentut yang tidak pernah bisa dilihat, meskipun nyata adanya. Tak berlebihan jika kemudian fenomena korupsi merupakan anomali yang terus menggerus integritas bangsa.
Laten korupsi merupakan gelombang krisis multidimensi ketiga pasca Indonesia merdeka. Krisis pertama, yakni pertarungan ideologi di tahun 1965 berhasil dilalui nenek moyang kita meskipun bangsa Indonesia harus berlumuran darah ribuan masyarakat tak berdosa. Sedangkan krisis kedua, yakni runtuhnya bangunan ekonomi semu Indonesia tahun 1998 mengakibatkan tewasnya para aktifis mahasiswa pro demokrasi. Dunia tidak pernah menyangka bahwa kita berhasil meruntuhkan rejim yang begitu kejam memerintah Indonesia, sekaligus takjub melihat bumi pertiwi terbebas dari perang sipil pasca tragedi 1965.
Keberhasilan para pendahulu kita keluar dari kedua krisis diatas menunjukan bahwa sebenarnya Bangsa Indonesia bukanlah bangsa instan melainkan bangsa yang dibangun dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Dua krisis multi dimensi diatas membuktikan bahwa pada dasarnya nasionalisme tidak bisa digadaikan dengan lumuran darah, apalagi diperjualbelikan. Namun korupsi seperti gelombang tsunami yang menghantam jiwa patriotisme anak bangsa sehingga pola gerakannya semakin merajalela. Apalagi kini sudah mulai muncul apatisme dan pembiaran masyarakat ‘silence majority’ terhadap kejahatan korupsi.
Lalu apakah dua cerita agung para pendahulu kita hanya akan menjadi kenangan ketika bangsa Indonesia tidak mampu keluar dari krisis laten korupsi? Tulisan ini berusaha menjawab beberapa permasalahan yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.

Hilangnya Anomali
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena sifatnya yang tidak biasa, maka dia menjadi anomali dan membutuhkan anomali pemikiran manusia yang memandangnya. Ini diperlukan agar ada metode khusus atau cara-cara yang tak biasa untuk menyelesaikan anomali korupsi. Artinya, harus ada cara-cara luar biasa yang berani keluar dari tradisi umum penyelesaian kejahatan pidana. Misalnya, penghapusan remisi, penjatuhan hukuman mati maupun pembuktian terbalik kepada terdakwa kasus korupsi. Bahkan jika perlu, harus ada upaya yang sangat liar seperti pemiskinan keluarga koruptor maupun menjadikan properti hasil korupsi sebagai tempat wisata.
Metode liar tersebut harus mencakup sanksi hukum dan sanki sosial. Pelaku korupsi tidak hanya menjalani hukuman penjara melainkan juga harus mendapatkan sanksi sosial. Terobosan penjatuhan pidana semacam ini diperlukan untuk menghambat laju anomali korupsi yang kian merajalela.
Namun ternyata ‘metode liar’ ini masih diperdebatkan. Bahkan kedua kubu yang berdebat sampai harus saling menghujat. Tentu ini justru merugikan karena perdebatan justru menyeruak ketika anomali korupsi semakin tak terkendali. Habitus korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan melainkan juga di tempat-tempat umum semacam lahan parkir dan institusi pendidikan. Pelaku korupsi sama nekatnya dengan teroris, bertransaksi di tempat terbuka, dan bahkan melibatkan ibu rumah tangga seperti Nunun Nurbaeti.
Jika sebuah anomali berlangsung terus menerus, maka dengan sendirinya berubah menjadi tradisi. Tradisi selalu membawa kebenaran versi masyarakat yang mempercayainya sehingga pada akhirnya perilaku koruptif menjadi bagian kebenaran yang tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Jika tidak korupsi, maka dia melawan tradisi yang mengakibatkan jatuhnya sanksi hukum dan sosial.
Melihat anomali korupsi tersebut, ekslusifisme lembaga peradilan tidak diperlukan lagi. Semua yang terlibat didalamnya harus terbuka dan berani mempunyai anomali pemikiran untuk memberantas korupsi. Teori putusan hakim adalah suara tuhan yang harus independen serta hukum harus ditegakan meskipun langit runtuh harus dikaji ulang untuk menjerat koruptor. Hal ini disebabkan anomali korupsi berkelindan dengan anomali dunia peradilan. Lembaga suci tersebut berubah menjadi media terciptanya keburukan bersama karena justru menjadi media berkembang biaknya perilaku koruptif.
Lembaga peradilan yang berfungsi untuk menciptakan nilai-nilai baik bersama ‘common good’ berubah menjadi transformer nilai-nilai buruk bersama ‘common bads.’ Konsekuesinya, jeratan korupsi menyebabkan kegusaran publik karena lembaga peradilan sebagai salah satu media demokrasi didonimasi oleh pemuja materi.

Disorientasi Pendidikan
Dulu siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mengetahui bahwa Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Mereka juga hafal lagu-lagu nasional dan menyanyikan dengan penuh semangat. Itulah pendidikan karakter yang ditanamkan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Pemerintah ingin membentuk wacana generasi muda bahwa kita adalah sebuah bangsa pejuang, harus melawan semua bentuk penjajahan dan menggelorakan semangat patriotisme melalui seni dan kebudayaan.
Namun lain dulu lain sekarang. Kini pemerintah tidak menganggap bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Kurikulum di sekolah masih berkutat pada aspek kognitif pencapaian prestasi berupa angka-angka. Keberhasilan sistem pendidikan juga diukur dari keberhasilan siswa dalam ujian, bukan dalam praktik keseharian.

Pencapaian prestasi kognisi siswa tidak sejalan dengan perilakunya. Bahkan jika melihat realita yang ada, afektif siswa cenderung terus menurun dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai sebuah sistem yang membentuk kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebersamaan tak ubahnya hanya menjadi etalase permainan. Guru dan murid bahkan melakukan korupsi bersama-sama sehingga kian rumit merumuskan korupsi sebagai ‘common enemy.’
Kegagalan pendidikan dalam menanamkan wacana korupsi sebagai common enemy merupakan upaya pembutaan kesadaran masyarakat terhadap realitas sosial disekitarnya. Pendidikan justru dijadikan penguasa sosial untuk menjinakan dan menidurkan generasi muda dari ancaman bahaya sosial seperti korupsi. Adanya silence majority terhadap perilaku korupsi mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung diam dan pasrah. Penurunan daya kritis berupa silence majority ini sudah mulai merambah di kalangan mahasiswa dan cerdik pandai lainnya.
Anomali korupsi harus dijadikan pijakan untuk meredefinisi, merekonstruksi, dan merevolusi pendidikan di Indonesia. Harus ada sistem pendidikan yang menekankan pentingnya keutamaan, keagungan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta generasi muda yang alergi terhadap korupsi.

Kegagalan Agama?
Mengkritisi agama di Indonesia selalu menghasilkan perspektif yang kontroversial dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya agama bisa dijadikan gerakan moral untuk mengikis korupsi karena mempunyai modal sosial yang besar. Tidak ada yang bisa, bahkan tidak boleh ada yang menyangkal bahwa pengaruh agama begitu kuat dan melekat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama bisa dilacak di Pancasila, pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Masuknya agama dalam sekularisme Indonesia bukanlah tanpa tujuan. Para pendiri bangsa ingin mengingatkan kepada kita bahwa agama hadir tidak hanya di ranah privat seperti yang terjadi di dunia barat, melainkan juga untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Fungsi ini sudah teruji di era perjuangan kemerdekaan Indonesia.

Namun kini ternyata kaum agamawan justru terbius dengan candu surga sehingga melupakan fungsi agama sebagai perekat sosial. Mereka justru membelah masyarakat dengan doktrin agama sehingga menihilkan korupsi sebagai common enemy. Ceramah-ceramah agama hampir tidak pernah memuat substansi afektif umat dalam beragama. Bahkan beberapa agamawan menjadi pendosa, melakukan korupsi dan kemudian sembunyi dibalik kedok agama.
Kehilangan anomali korupsi dan disorientasi pendidikan mungkin masih bisa diperbaiki. Tanpa keduanya pun kita masih bisa merestorasi kondisi bangsa menjadi lebih baik. Namun kesalahan hermenetika agama bisa berakibat fatal, tidak hanya menjerumuskan manusia dalam pemahaman agama yang keliru melainkan juga berdampak pada perilaku syirik dalam bernegara. Nasionalisme hanya menjadi ilusi sehingga menghilangkan nasionalisme dan fungsi agama dalam memerangi korupsi.
Ketika kita sebagai bangsa sudah kehilangan harapan, agama kehilangan kontrol sosialnya, pendidikan mengalami disorientasi makna substansialnya, dan peradilan menjadi habitus common bads, maka saat itulah kita mengalami hibernasi atau penundaan pemberantasan korupsi…….

Semeru Path, 16 Desember 2011

Kamis, 29 Desember 2011

Welcome Back

London merupakan salah satu kota terbesar dan terpenting di Eropa. Selain sebagai pusat bisnis, London juga bisa dibilang sebagai jantungnya kehidupan Eropa karena disinilah kebijakan dunia ditentukan. Namun ternyata masyarakat London tidak begitu menyukai kehidupan kota kerajaan ini. alasan utamanya adalah 'nothing to see.' yach, mereka mempunyai rutinitas harian seperti robot. pergi berangkat kerja naik bis atau kereta bawah tanah, kemudian bertemu dengan orang-orang yang sama di tempat kerja, lalu pulang dengan waktu dan tempat yang sama.

Mereka tidak bisa bersantai seperti orang Indonesia. Kerja adalah bagian dari profesionalisme hidup mereka. Oleh karena itu kepenatan itu harus bisa dibayar. Bukan hanya dengan gaji yang tinggi melainkan dengan kepuasan menikmati alam.

Makanya mereka selalu bilang bahwa Indonesia atau negara-negara tropis lainnya merupakan surga yang sangat ingin mereka kunjungi. selain karena panorama alamnya yang luar biasa, masyarakatnya juga ramah. Bisa dipastikan tanggapan mereka pasti akan terkagum-kagum ketika bertanya ke warga negara Indonesia dan mereka menjawab, i am from Indonesia.......

itulah pengalaman pertama ketika aku menginjakan kaki di Jantung kota London, tepatnya di Paul Robertson House, akomodasi yang disediakan oleh pihak Universitas (SOAS) kepada mahasiswa asing yang banyak belajar di universitas tersebut.

jadi, berbahagialah dan berbanggalah menjadi bagian dari Indonesia

London, 29 Desember 2011

Minggu, 04 Desember 2011

PENGAKUAN

PENGAKUAN/RECOGNITION

Banyak pakar hukum internasional seperti Oppenheim, Lauterpacht, Charpertier, Dugard dan Smit berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat internasional tidak pernah berubah melainkan hanya menjadi subjek dari perubahan kehidupan politik. Negara-negara baru berdiri dan beberapa negara-negara lama hilang. Pemerintahan baru terbentuk didalam sebuah negara yang sah baik karena pemberontakan maupun dengan cara-cara yang damai.

Kemudian negara-negara lain mulai memutuskan pemerintahan mana yang harus diakui. Keputusan pengakuan suatu negara mempunyai konsekuensi-konsekuensi baik konsekuensi internasional maupun dampaknya terhadap hukum nasional. Oleh karena itu ada konsekuensi logis politis terhadap pengakuan sebuah negara. Banyak negara memutuskan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan sebuah negara berdasarkan alasan-alasan politik daripada unsur hukum. Salah satu contohnya, Amerika dan negara-negara barat tidak mengakui Palestina sebagai entitas yang berdaulat bukan karena pemerintahannya tidak mampu mengontrol wilayahnya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) melainkan karena mereka tidak ingin dampak hukum pengakuan tersebut berlaku yang pada akhirnya bisa mengakibatkan perubahan mendasar dalam peta politik global.

Dalam praktiknya alasan politik sering kali mengalahkan fakta hukum terhadap berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu, ada banyak opsi yang ditawarkan oleh komunitas internasional untuk mengakui sebuah negara. Misalnya, apakah pengakuan tersebut untuk memberikan pengakuan secara penuh, kewenangan/otoritas efektif didalam sebuah negara yang berdaulat, atau otoritas bawahan dari negara lain.

Pengakuan adalah statemen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dalam hal ini negara atau organisasi internasional terhadap sebuah keabsahan dari sebuah kenyataan yang ada. Sekali pengakuan itu dibuat, maka akan berdampak pada hubungan antara subjek hukum yang mengakui dan yang diberikan pengakuan. Misalnya, pengakuan akan berdampak pada peran serta sebuah subjek hukum/negara dalam aktifitas internasional seperti membangun hubungan diplomatik dengan negara lain.

Kontroversi Teori Konstitusi
Jika melihat persoalan mengakuan diatas yang lebih mengedepankan alasan politik sebuah negara untuk mengakui keberadaan negara lain, maka seharusnya keberadaan teori konstitusi harus mulai dipertanyakan. Hal ini disebabkan ada banyak persoalan yang ditimbulkan dengan adanya teori ini. Konsekuensi yang muncul bukan hanya semata mengenai kemampuan sebuah negara untuk mempunyai derajat yang sama dengan negara lain, melainkan juga berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional lainnya.

Teori konstitusi lebih menitikberatkan pada keinginan dari negara-negara lain untuk mengakui kedaulatan sebuah negara baru. Oleh karena itu, alasan politis negara-negara ini tentu bisa saja mengalahkan fakta hukum yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh sebuah negara untuk merdeka dan berdaulat. Persoalan lainnya adalah bagaimana jika ada sebagian negara mengakui kedaulatan sebuah negara baru sedangkan lainnya tidak? Apakah didalam hukum internasional mengakui personality secara setengah-setengah.

Kasus yang terkait dengan teori konstitusi adalah penjelasan wakil dari Amerika dalam sidang Dewan Keamanan PBB mengenai situasi Timur Tengah tahun 1948 yang menyatakan bahwa jelas tidak benar jika ada negara di dunia yang mempertanyakan kedaulatan Amerika terkait dengan tindakan Amerika yang selama ini telah dilakukan.

Seharusnya pada saat pengaruh politik internasional dan organisasi internasional semakin penting dalam membentuk hukum internasional, keberadaan teori deklarasi harus lebih dikedepankan. Toeri ini mengatur bahwa kedaulatan negara baru bukan didasarkan pada keinginan negara lain untuk memberikan pengakuan melainkan berdasarkan fakta hukum yang ada. Jika sebuah entitas tidak mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat, maka konsekuensinya adalah ia tidak mendapatkan hak dan kewajiban seperti yang telah ditentukan dalam hukum internasional. Oleh karena itu hal ini juga bisa berdampak pada warga negara yang hidup didalamnya.

Institute De Droit Internasional menegaskan dalam resolusinya tentang pengakuan negara baru dan pemerintahan di tahun 1936 bahwa keberadaan negara baru dengan segala akibat hukumnya yang terkait dengan keberadaannya tidak diakibatkan oleh adanya penolakan oleh negara untuk mengakuinya. Lauterpacht berpendapat bahwa ketika sebuah entitas baru sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara, maka seharusnya negara-negara harus mengakuinya karena ketiadaan otoritas sentral dalam hukum internasional.

Pendapat diatas berlawanan dengan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk mengakui negara baru. Amerika berpegang pada kenyataan sebuah negara yang (1) mampu mengontrol wilayahnya dan masyarakatnya secara efektif, (2) kemampuan pemerintahannya membangun hubungan diplomatik dengan negara lain dan memenuhi kewajiban hukum internasional, serta (3) apakah entitas tersebut bisa menarik negara-negara lain untuk mengakui keberadaannya. Pendapat Amerika ini lebih mengedepankan teori konstitusi dan pengakuan secara politis daripada mempertimbangan faktor-faktor hukum yang ada.

Sedangkan pemerintah Inggris menyatakan bahwa faktor lain yang harus dipunyai oleh sebuah entitas untuk bisa diakui sebagai sebuah negara adalah adanya dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan Komunitas Eropa dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1991 menyatakan bahwa faktor-faktor lain mengenai pengakuan adalah:
1. menghormati aturan yang ada didalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen mengenai aturan hukum dan demokrasi
2. menjamin hak-hak kelompok etnik dan nasional serta minoritas dan isu-isu hak asasi manusia lainya
3. menghormati batas-batas negara yang hanya bisa diubah dengan cara-cara yang damai dan berdasarkan perjanjian yang umum
4. penerimaan komitmen-komitmen yang relevan terkait dengan perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional
5. komitmen untuk menyelesaikan perjanjian, termasuk semua hal yang sesuai dengannya dengan cara penyelesaian arbitrase.
Berdasarkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, pengajuan secara de facto dan de jure bisa beraneka ragam. Secara umum bisa disimpulkan bahwa pengakuan adalah gabungan antara kesadaran negara dengan keinginannya untuk menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional.

Pengakuan De facto dan De Jure
Pengakuan De Facto menegaskan bahwa ada keraguan dari negara-negara mengenai kelangsungan entitas tersebut dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pengakuan De Jure diberikan oleh negara jika mereka yakin bahwa kemampuan untuk mengorganisasikan wilayah serta kemampuan internasional sebuah pemerintahan sudah permanen dan tidak ada alasan hukum lain untuk menghambat pengakuan tersebut.

Pengakuan de facto mengindikasikan keraguan dari negara lain karena pengakuan de facto pada umumnya akan diikuti dengan pengakuan de jure dari negara tersebut. Misalnya, Inggris mengakui keberadaan Negara Uni Soviet secar de facto pada tahun 1921 dan baru pada tahun 1924 mengakui secara de jure. Pengakuan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Inggris ketika dalam Perang Sipil di Spanyol tahun 1936-9 mengakui secara de jure pemerintahan Republik Spanyol namun di lain pihak juga mengakui secara de facto Jenderal Franco karena mampu menguasai sebagian besar wilayah tersebut.

Berdasarkan realitas diatas, maka pengakuan pada dasarnya diberikan atas dasar kepentingan politik negara yang memberikan pengakuan. Oleh karena itu negara-negara akan membedakan pemberian pengakuan. Namun pengakuan de facto tidak menyebabkan timbulnya dampak hukum internasional seperti adanya hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diberikan pengakuan

Disarikan dari Malcolm Shaw, 2005. International Law. Cambridge: Cambridge University Press. hal 367 - 382

Minggu, 27 November 2011

WILAYAH-WILAYAH INTERNASIONAL

WILAYAH-WILAYAH INTERNASIONAL


Dalam hukum internasional, ada wilayah-wilayah yang bisa dikategorikan sebagai wilayah tak bertuan yang secara otomatis menjadi wilayah internasional. Tidak ada negara yang boleh mengklaim atau membatasi negara lain untuk memasuki wilayah tersebut.

Selat Internasional

Sebuah wilayah dikatakan sebagai selat internasional dan harus diperuntukan bagi navigasi internasional diantara laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dua negara atau lebih. Menurut pendapat dari Pengadilan Internasional, selat internasional adalah situasi geografis sebuah selat yang menghubungkan dua laut lepas atau lebih sehingga menyebabkan wilayah tersebut secar otomatis menjadi navigasi internasional. Artinya, pelayaran dimaksudkan untuk melewati wilayah tersebut untuk menuju ke negara ketiga dan tidak dimaksudkan untuk memasuki wilayah negara yang mempunyai selat tersebut.

Pasal 16 (4) dari Konvensi Laut Teritorial 1958 mengatur bahwa tidak boleh ada penundaan atau larangan bagi pelayaran asing untuk memasuki wilayah selat yang ditujukan untuk navigasi internasional antara laut lepas yang satu dengan laut lepas lainnya.

Contoh kasus
Kapal perang Inggris pada tahun 1949 ditembaki oleh tentara Albania ketika melewati Terusan Corfu di Albania. Beberapa bulan kemudian, Pemerintah Inggris mengirim beberapa kapal perusak untuk dikirim ke Corfu dan dua diantaranya rusak parah karena menabrak ranjau laut yang dipasang oleh Tentara Jerman.

Pengadilan Internasional menegaskan bahwa pada waktu damai, negara-negara mempunyai hak untuk mengirim kapal perang mereka melalui selat yang ditujukan untuk navigasi internasional antara dua laut lepas tanpa adanya otorisasi/ijin dari negara yang mempunyai garis pantai di selat tersebut.

Dalam Kasus Corfu, pengiriman kapal perang Inggris ke selat Corfu melanggar jurisdiksi Albania meskipun pada kasus yang pertama, pelayaran kapal Inggris tidak melanggar hukum internasional.

Laut Lepas

Yang dimaksud dengan laut lepas adalah wilayah yang tidak boleh diklaim masuk dalam wilayah negara manapun. Pasal 87 dari Konvensi 1982 menyatakan bahwa laut lepas adalah wilayah terbuka untuk semua negara dan kebebasan yang ada didalam wilayah tersebut diatur didalam Konvensi dan hukum internasional. Yang termasuk dalam kebebasan didalam laut lepas adalah kebebasan untuk melakukan navigasi internasional, penerbangan yang melewati wilayah negara asal, pemasangan jangkar kapal selam, pemasangan pipa, pembuatan pulau buatan dan instalasi lain yang diperbolehkan dalam hukum internasional, memancing, dan untuk keperluan penelitian.

Pertanyaan mengenai kebebasan untuk melakukan navigasi internasional mulai muncul pasca Perang Irak – Iran dimana ada beberapa kapal sipil yang diserang oleh pemberontah maupun tentara yang terlibat perang. Namun para pihak yang bersengketa bisa melarang masuknya kapal-kapal sipil ke laut lepas yang berbatasan dengan wilayahnya jika ada alasan yang jelas.

Menurut Pasal 51 Piagam PBB, negara-negara yang sedang terlibat perang boleh membatasi atau melarang masuknya kapal-kapal sipil ke laut lepas yang berbatasan dengan wilayahnya untuk keperluan menjaga diri jika ternyata ada kecurigaan bahwa kapal-kapal tersebut turut serta dalam konflik. Jika ternyata kapal yang dicurigai tersebut ternyata tidak ikut dalam konflik, maka pemilik kapal bisa mengajukan kompensasi atas segala kerusakan yang ditimbulkan selama mendapatkan serangan maupun dampak ekonomis dari penundaan atau larangan tersebut.

Contoh Kasus:
Perancis pernah menggunakan wilayah Muroroa Atoll sebagai salah satu wilayah Perancis di Laut Pasifik Selatan. Australia sebagai negara yang berdekatan dengan wilayah tersebut menyatakan Perancis tidak mempunyai hak untuk melakukan uji nuklir karena bisa membahayakan kepentingan Australia. Apalagi pada waktu melakukan uji nuklir Perancis tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada Australia. Pengadilan Internasional tidak memutuskan atas kasus tersebut.

Berdasarkan Perjanjian Larangan Uji Nuklir 1963, uji nuklir di laut lepas maupun di daratan tidak boleh dilakukan. Namun Perancis bukan negara pihak yang menandatangani perjanjian tersebut sehingga tidak terikat secara hukum. Meskipun demikian, pasal 88 dari Konvensi 1982 menyatakan bahwa laut lepas harus digunakan untuk kepentingan damai.

Minggu, 20 November 2011

WILAYAH LAUT

WILAYAH NEGARA
(Malcolm Shaw, 2005. Cambrigde: Cambridge Press: hal. 409-501)

Kedaulatan sebuah negara ditentukan (1) secara internal adanya supremasi pemerintahan dan (2) secara eksternal ditentukan oleh supremasi negara sebagai subjek hukum internasional. Supremasi pemerintahan ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengatur warga negara dan semua hal kebutuhan domestik didalam negerinya. Selain itu juga kemampuan dari pemerintah untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Sedangkan supremasi negara sebagai subjek hukum ditandai dengan adanya pengakuan negara lain atas kedaulatan wilayahnya.

Tanpa wilayah, negara tidak bisa menjadi subjek hukum karena senyatanya negara tersebut tidak nyata. Wilayah adalah unsur fundamental sebuah negara sehingga secara hukum alam wilayah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep kedaulatan negara dalam hukum internasional.

Kedaulatan wilayah mempunyai dua karakter dasar. Yang pertama adalah kedaulatan wilayah yang positif dimana dalam konsep ini negara harus mempunyai kemampuan untuk mengklaim dan menjaga wilayahnya secara berkelanjutan. Sedangkan konsep kedua adalah kedaulatan wilayah negatif dimana dalam konsep ini sebuah negara harus menghormati kedaulatan wilayah negara lain.

Wilayah Laut
Wilayah laut dibedakan kedalam tiga jenis, yakni laut dalam/internal, zona ekonomi ekslusif, dan laut lepas/high sea. Laut dalam meliputi semua wilayah air termasuk sungai dan laut yang masih menjadi bagian dari tepian daratan seperti sungai, selat, dermaga dan wilayah-wilayah lain. Wilayah laut dalam ini berbeda dengan wilayah laut dalam hukum internasional karena tidak memberlakukan keistimewaan terhadap kapal-kapal asing yang masuk dalam wilayah ini.

Secara umum, negara kepulauan boleh memberlakukan jurisdiksi hukumnya terhadap kapal asing yang masuk di wilayah laut dalamnya, meskipun otoritas hukum dari kapal tersebut (yang ditandai dengan bendera yang ada dikapal tersebut) ingin menyelesaikan permasalahan berdasarkan hukumnya sendiri. Kapal asing yang masuk dalam wilayah laut dalam secara otomatis harus tunduk kepada jurisdiksi hukum lokal dari negara yang bersangkutan, kecuali ada perjanjian khusus antar negara. Pengecualian lainnya juga diberlakukan terhadap kapal perang dimana jurisdiksi dari negara yang mempunyai kapal harus diberlakukan terhadap semua kru yang melakukan tindak pelanggaran hukum di kapal tersebut.

Contoh kasus:
Dalam Kasus R v. Anderson pada tahun 1868, pengadilan criminal Inggris menyatakan bahwa seorang warga negara Amerika yang membunuh didalam kapal berbendera Inggris di wilayah laut dalam Perancis menjadi subjek hukum nasional Inggris. Meskipun pada waktu kejadian dia berada didalam wilayah kedaulatan Perancis dan pengadilan Amerika dengan alasan kewarganegaraannya.

Kasus lainnya adalah yang menimpa Wildenhus, seorang warga negara Belgia yang membunuh warga negara Belgia lainnya di kapal berbendera Belgia di Pelabuhan Jersey City Amerika. Mahkamah Agung Amerika menyatakan bahwa Wildenhus harus diadili berdasarkan hukum nasional Amerika karena berada di wilayah laut dalam Amerika.

Pulau
Pulau diartikan dalam Konvensi 1958 tentang Wilayah Laut sebagai daratan yang terbentuk secara alamiah dan dikelilingi oleh lautan/air dengan ketentuan wilayah tersebut harus mempunyai wilayah laut, zona dekat, zona ekonomi ekslusif, dan landas kontinen. Sebagai pengecualian, pasal 121 (3) dari Konvensi 1982 mengatur bahwa sebuah pulau karang yang tidak bisa dihuni dan tidak mempunyai kehidupan ekonomi tidak mempunyai landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif.

Senin, 14 November 2011

Konvensi Wina dan Kasus-Kasus Diplomatik

HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER
MEETING I

Fungsi diplomasi adalah untuk memaksimalkan hubungan baik antar negara yang terus berkembang. Dalam kerangka kehidupan modern yang membutuhkan komunikasi serba cepat, maka diperlukan perwakilan diplomatik di negara-negara yang berdaulat. Namun perlu diperhatikan bahwa pendirian kedutaan atau konsuler di suatu negara sangat bergantung pada kepentingan negara yang akan melakukan hubungan diplomatik.

Beberapa negara bahkan mendirikan banyak konsuler untuk mendukung kepentingan negara di negara penerima. Konsul diperlukan karena tujuan utama pembentukan konsul adalah untuk mengembangkan hubungan antar negara khususnya dibidang perdagangan dan kepentingan-kepentingan lain diluar diplomatik.

Untuk mendukung kerja para perwakilan diplomatik, maka harus ada pemberian status khusus terhadap staff diplomatik. Hal ini menjadi salah satu isu yang kontroversial didalam hukum internasional karena seakan-akan ada negara didalam negara. Bahkan dalam keadaan tertentu, hukum nasional tidak bisa berlaku terhadap perwakilan diplomatik. Hal ini menunjukan bahwa pada kenyataannya unsur sovereignty atau kedaulatan sebuah negara masih dipertanyakan dalam konsep hukum internasional. Hal ini disebabkan karena negara penerima mempunyai tanggungjawab untuk melindungi unsur diplomatik dari kerusakan dan memperbaiki keadaaan tersebut.


Salah satu contoh kasusnya adalah Pendudukan Kedubes Amerika di Teheran Iran oleh demonstran pada tahun 1979. Pendudukan negara atau warga negara terhadap kantor diplomatik merupakan pelanggaran Negara Iran terhadap kedaulatan Amerika Serikat. Demonstran mencuri arsip data dan menyandera 50 staff diplomatik Kedutaan Amerika. Dan oleh karena itu, pada 1980, Pengadilan Internasional, berdasarkan ketentuan Konvensi Wina menyatakan bahwa Iran sebagai negara penerima berkewajiban untuk melakukan tindakan perlindungan terhadap konsulat dan diplomat Amerika jika ingin terus melangsungkan hubungan diplomatik dengan negara lain.

Beberapa Pasal Konvensi Wina
Pasal 3 dari Konvensi Wina menjelaskan bahwa fungsi utama dari misi diplomatik adalah untuk mewakili atau menjaga kepentingan dan warga negara dari negara pengirim. Selanjutnya Pasal 4 mengatur bahwa negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan sudah dikirimkan ke negara penerima mengenai nama diplomat yang akan bertugas di negara tersebut, termasuk alasan penolakan dari negara penerima.

Pasal 9 memberikan wewenang kepada negara penerima untuk memberlakukan persona non grata terhadap diplomat, meskipun tanpa alasan hukum apapun. Artinya, pemberlakukan persona grata tidak melanggar ketentuan didalam hukum internasional.

Pasal 27 mengatur bahwa negara penerima harus mengijinkan dan melindungi semua kepentingan misi diplomatik termasuk barang bawaan seperti tas (pasal 27 ayat 4) yang tidak boleh dibuka atas dasar alasan apapun. Syaratnya semua barang fisik tersebut harus mempunyai tulisan atau logo resmi diplomatik.

Kasus-Kasus

Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan bahan kajian dalam hukum diplomatik. Diatanya adalah;
Kasus Resolusi DK PBB No. 748 (1992) tentang pemberlakuan sanksi terhadap pejabat diplomatik Libya kepada semua negara. Hal ini disebabkan karena Moamar Khadafi menolak untuk menyerahkan para pelaku bom Lockerbie yang menewaskan ratusan warga Amerika.

Yang kedua adalah Kasus Kampanye Kosovo 8 Mei 1999 dimana Kedutaan China di Belgrade secara tak sengaja dibom oleh pasukan Amerika. Pemerintah Amerika menyatakan secara resmi permintaan maafnya kepada China dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tanpa disengaja.

Pada Desember 1999, kedua negara menyepakati adanya kompensasi atas kerugian yang diderita oleh China sebesar 8 juta dolar. Namun China juga berkewajiban untuk membayar 2.87 juta dolar atas kerusakan Kedutaan Amerika di Beijing, Pemukinan Konsulat Amerika di Chengdu dan Konsulat di Guanzhu karena aksi protes masyarakat China.

Selain itu ada Kasus Dikko yang terjadi pada 5 Juli 1984. Pada peristiwa ini, Dikko adalah mantan Menteri Nigeria yang diculik di London (Stansted Airport) untuk selanjutnya dibawa kembali ke Nigeria. Namun ternyata otoritas bandara menaruh kecurigaan terhadap barang diplomatik karena tas yang dibawa terlalu besar. Atas dasar itulah maka otoritas bandara membuka tas yang ternyata berisi Dikko.

Sebenarnya, semua barang diplomatik tidak boleh dibuka. Screening terhadap barang bawaan diplomatik diperbolehkan dengan batasan tidak dibuka. Namun karena atas dasar peristiwa yang tidak biasa, maka aturan tersebut tidak berlaku dalam kasus Dikko

Minggu, 06 November 2011

TUHANKU DI PURA

Bagiku... Bali tidak hanya menyimpan keindahan alam yang menakjubkan melainkan juga mempunyai misteri yang harus terungkap. Diantara selipan hotel mewah berbintang yang bertebaran di hampir semua pantai dan dataran tinggi Bali, terdapat kehidupan multikultural yang hampir luput dari perhatian para pelancong di Bali.

Saat itu, tahun 1997 merupakan masa-masa transisiku. Menjadi transisi apakah aku bisa meneruskan hidupku secara normal, bisa makan dan menghela nafas setiap hari seperti manusia lainnya. Ataukah aku akan terjebak dalam kubangan kemiskinan yang selama ini membelenggu keluargaku.

Maka aku putuskan untuk pergi ke Pulau Dewata, mengadu pada keagungan Tuhan yang hidup disana, dan juga aku yakini berkeliaran di seantero dunia. Aku yakin Tuhan tidak hidup di tempat-tempat tertentu. Dia maha mengetahui dan tidak pernah membedakan perhatiannya terhadap suatu kelompok tertentu.

Dan aku pun terdampar dengan tidak sengaja di Tanah Lot, sebuah tempat yang terkenal dengan panorama sunset nya yang indah.

Pada saat itu aku bekerja di Kakak sepupuku. dia adalah anak dari budhe ku yang sudah menetap beberapa tahun di Bali, menjadi kontraktor bangunan. Sewaktu kecil kami sering menghabiskan waktu bersama-sama, mandi di sungai, mencari tebu atau kayu bakar di hutan.

Sabtu, 05 November 2011

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Subjek Hukum Internasional

Didalam hukum internasional, individu, perusahaan umum dan swasta, organisasi regional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan negara adalah ‘legal personality’ yang bisa menjadi subjek hukum. Mereka bisa menuntut atau dituntut atas segala tindakan yang telah dilakukan. Mereka bisa melakukan perbuatan hukum karena statusnya sebagai subjek hukum yang mempunyai kemampuan untuk mempunyai, memelihara hak-hak dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan.

Namun semua subjek hukum tersebut harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh komunitas internasional. Misalnya, sebuah perusahaan umum baru bisa dikatakan sebagai subjek hukum internasional jika melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan trans-nasional seperti melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan perusahaan lain dari luar negaranya.

Menurut Lauterpacht sebagai salah satu penganjur Doktrin Positivistik, hanya negara lah yang berhak untuk menjadi subjek hukum internasional. Namun doktrin tersebut sudah tidak berlaku lagi seiring dengan perkembangan jaman yang mengharuskan adanya rekonstruksi ‘subjek hukum’ dalam hukum internasional.

Negara
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara, syarat berdirinya negara adalah; (1) mempunyai penduduk yang tetap, (2) Wilayah yang jelas, (3) Pemerintahan dan (4) mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Adanya populasi yang tetap secara alamiah merupakan persyaratan mutlak dalam mendirikan sebuah negara. Tidak ada satu negara pun yang berdiri tanpa mempunyai penduduk yang tetap. Namun tidak ada ketentuan mengenai jumlah minimal penduduk yang ada. Misalnya, populasi Negara Nauru hanya sekitar 12.000 dan Negara Tuvalu malah lebih sedikit lagi, yakni sekitar 10.000. Tuvalu mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 1 Oktober 1978 dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Sedangkan keanggotaan Tuvalu di PBB dimulai pada tahun 2000 dan menjadi negara anggota ke 189.

Menurut pendapat dari Komisi Arbitrase Konferensi Uni Eropa tentang Yugoslavia, negara didefinisikan sebagai komunitas yang terdiri dari wilayah dan penduduk yang diorganisasikan oleh kekuatan politik yang berdaulat (Malcolm Shaw, 2005: 178)

Terbentuknya negara menjadi krusial karena seringkali hubungan antara kriteria hukum terbentuknya negara bertentangan dengan realitas. Khususnya mengenai kemampuan suatu negara untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain dan lembaga internasional. Namun dinamika perkembangan negara-negara semakin mengharuskan negara untuk tidak hanya mempunyai kemampuan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain melainkan lebih mengedepankan kemampuan untuk meyakinkan organisasi-organisasi internasional khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Eksistensi PBB telah merombak landasan dasar persyaratan berdirinya sebuah negara. Hal ini disebabkan peran PBB yang sangat kuat dalam mempengaruhi komunitas internasional untuk mengakui kedaulatan sebuah negara.

Beberapa entitas justru bisa merdeka dan diakui oleh dunia internasional meskipun belum memenuhi kriteria untuk menjadi negara. Sebaliknya, ada beberapa entitas yang sudah memiliki semua kriteria, namun belum mendapatkan pengakuan dari dunia internasional sebagai negara merdeka.

Kasus Palestina
Palestina merupakan kasus yang sangat kontroversial didalam hukum internasional. beberapa alasannya adalah:
1.Palestina mengklaim sebagai negara merdeka namun kenyataannya tidak mampu mengontrol wilayah yang diklaimnya
2.Palestina mampu mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, yakni diakui oleh semua negara-negara OKI
3.Palestina belum menjadi negara anggota PBB, hanya sebatas negara observer
4.Palestina mempunyai penduduk yang tetap, pemerintahan yang berdaulat tetapi ada dualisme kepemimpinan, yakni Hamas dan Fatah
5.Israel ketika mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka justru diakui oleh mayoritas negara-negara termasuk PBB meskipun batas wilayahnya masih bermasalah dengan negara-negara tetangganya

Senin, 17 Oktober 2011

SEJARAH MIANGAS DALAM KERANGKA TERRA NULLIUS

Terra Nullius berasal dari Bahasa Latin yang berarti Tanah Tak Bertuan. Didalam Hukum Internasional, Terra Nullius berarti wilayah yang tidak pernah menjadi bagian dari negara yang berdaulat atau tidak ada satu negara berdaulat satu pun yang mengklaim atas wilayah tersebut. kedaulatan atas wilayah Terra Nullius bisa dilakukan melalui pendudukan meskipun tindakan itu merupakan pelanggaran terhahdap hukum internasional atau perjanjian internasional.

Terra Nullius Australia
Para imigran Eropa mulai mendiami Australia pada tahun 1788. Pada saat itu, warga Asli Australia, Suku Abogirin sudah mendiami Australia namun tanpa ada dokumen resmi yang menunjukan adanya kemampuan dari Aborigin untuk menguasai Australia secara politis. Salah satu sebabnya adalah para Suku Aborigin tidak mempunyai organisasi masyarakat sehingga para imigran Eropa melalui pemerintah Inggris tidak bisa menemukan pemimpin-pemimpin yang bisa diajak untuk melakukan perjanjian.
Status Australia menjadi Terra Nullius bisa dilacak dari putusan Kasus R v Tommy pada tanggal 28 November 1827 yang mengindikasikan bahwa para warga asli ‘Aborigin’ harus tunduk kepada Hukum Inggris ketika ada kejadian yang melibatkan warga asli dan pemukim Eropa.
Wilayah-wilayah lain yang masuk dalam kategori Terra Nullius secara otomatis adalah planet, bulan, matahari dan laut lepas.

Kasus Pulau Miangas ‘Palmas’
Kasus Pulau Miangas masuk ke Pengadilan Internasional pada tahun 1932. Dua negara yang mengajukan Kasus Tersebut adalah Amerika dan Belanda. Kasus Miangas menjadi salah satu kasus paling berpengaruh terkait dengan konflik wilayah kepulauan.
Miangas pada saat diperebutkan adalah pulau yang mempunyai nilai ekonomis sangat rendah namun mempunyai lokasi strategis. Miangas mempunyai panjang sekitar 3km, lebar 1km dan mempunyai populasi sekitar 750 warga. Lokasi Miangas berada di perbatasan Indonesia dan Philipina, tepatnya sebelah Selatan Mindanao Philipina yang masuk wilayah protektorat Amerika dan di sebelah Utara Pulau Nanusa Indonesia yang masuk wilayah Netherlands East Indies.
Pada tahun 1989, Spanyol menyerahkan Philipina sebagai akibat kekalahan Spanyo dalam Perang Spanyol-Amerika, ke Amerika melalui Perjanjian Paris 1989 dimana Miangas masuk dalam wilayah Philipina. Namun pada tahun 1906, Amerika mengetahui bahwa Belanda juga mengklaim Miangas. Kemudian kedua belah pihak setuju untuk membawa kasus tersebut ke Pengadilan Arbitrase Internasional. Kedua negara meminta Pengadilan Arbitrase Internasional untuk memutuskan apakah Miangas masuk dalam wilayah Belanda ataukah Amerika. Adapun isu hukumnya adalah apakah Miangas menjadi hak milik penemu pertama (Spanyol) meskipun tidak menunjukan otoritas ‘kekuasaan’ nya terhadap wilayah tersebut, ataukah Miangas menjadi wilayah negara yang secara berkelanjutan menunjukan kedaulatan terhadapnya.

Alasan-Alasan Hukum
1 Amerika mengklaim berhak atas Miangas karena mendapatkan status kepemilikan dari penemu pertama ‘Spanyol.
2 Spanyol menemukan Miangas sebagai Terra Nullius sehingga berhak atas kepemilikan terhadap pulau tersebut.
3 Hakim Arbitrase berpendapat bahwa tidak ada hukum internasional yang mengakui adanya transfer wilayah melalui pemindahan kekuasaan.
4 Spanyol tidak mempunyai bukti hukum penguasaan terhadap Miangas meskipun dia sebagai penemu pertama karena tidak secara permanen melakukan kekuasaan terhadap Miangas seperti tidak mendirikan bendera diatasnya.
5 Amerika mengklaim bahwa Miangas masuk kedalam wilayah Philipina karena letaknya lebih dekat ke Philipina daripada ke Inddonesia ‘Terra Prima’ dimana benua atau pulau terdekat dari wilayah yang disengketakan mempunyai hak atas wilayah tersebut.
6 Belanda melakukan penguasaan terhadap Miangas secara berkelanjutan sejak tahun 1677 sampai kasus tersebut disidangkan di Pengadilan Arbitrase.
7 Belanda telah melakukan negosiasi perjanjian dengan raja-raja lokal di Miangas sejak abad 17 termasuk persyaratan mengenai syiar agama Kristen

Hasil putusan Pengadilan Arbitrase adalah menyatakan Miangas masuk dalam Wilayah Belanda/Indonesia

Selasa, 11 Oktober 2011

Dimanakah Cinta Itu...?

ada seorang murid yang bertanya kepada gurunya.
Guru, aku ingin mendapatkan cinta, dimanakah aku bisa menemukannya?
sang guru kemudian menjawab;
pergilah ke hutan yang lebat, pilih satu pohon yang menurutmu paling tinggi, teruslah berjalan kedepan tanpa menoleh ke belakang.
setelah keluar dari hutan, datanglah kepadaku.
kemudian sang murid pergi ke hutan........dia bingung karena semua pohon sangat tinggi, sambil berjalan dia terus melihat-lihat pohon yang dia inginkan. sampai akhirnya dia tidak sadar telah keluar dari hutan tanpa membawa satu pohonpun.
lalu sang murid pun datang ke guru tanpa membawa apa-apa.
kemudian sang murid meminta kepada gurunya untuk memberikan satu kesempatan lagi. dan gurunya menjawab;
untuk menemukan cinta, pergilah ke lahan jagung yang luas, petiklah jagung yang paling besar. setelah mendapatkan jagung, datanglah kepadaku.
lalu sang murid pun bergegas pergi ke lahan gandung yang dekat dengan rumahnya.
kali ini dia tidak mau keluar dari lahan jagung tanpa membawa apapun.
setelah masuk lahan, dia pun melihat banyak jagung yang besar. kemudian dia memutuskan untuk memetik salah satu diantara jagung yang besar.
setelah itu dia datang ke guru dan berkata;
wahai guruku, aku telah membawa jagung yang paling besar dari lahan jagung di depan itu.
kemudian sang guru bertanya;
apakah kamu yakin itu jagung paling besar?
tidak guru, tapi aku tidak mau kesini tanpa membawa jagung. jawab sang murid.
nah, itulah cinta.....jawab sang guru.
cinta tidak bisa dipilih. dia ada di lubuk hatimu yang paling dalam, cinta berada didalam keyakinan setiap manusia.

.......jember, 12 Oktober 2011

Selasa, 19 Juli 2011

Washington DC

Kesan pertama adalah Kota tempat Obama bekerja ini sangat panas sekali, lebih panas daripada Jember. Memang Amerika dikenal sebagai negara yang mempunyai perbedaan suhu yang sangat ekstrem. Jika di musim panas, panas suhunya bisa melebihi panasnya negara-negara tropis. Di belahan Timur Amerika bahkan udaranya sangat lembab karena anginnya sangat tipis. Namun jika musim dingin, saljunya bisa lebih tebal dari salju di negara-negara Eropa. Belum lagi serangan badai tornado dan angin yang seringkali menyertai hujan.

Saat ini Washington DC bisa dikatakan sebagai jantungnya dunia. Bagaimana tidak, di kota yang terletak di District of Columbia menjadi pusat kendali keamanan dan perekonomian dunia. Disitu terdapat kantornya Bank Dunia, tempat dimana Mbak Sri ngantor semenjak lengser sebagai menteri keuangan Indonesia. Selain itua da International Monetary Fund/IMF, Capitol Hill sebagai markasnya anggota konggres Amerika dan White House nya Presiden Obama. Dua yang terakhir selalu bahu membahu dalam mengurusi keamanan internasional.

Namun ternyata, Washington juga menyimpan persoalan sosial yang beragam. Amerika sebagai negara modern tentu tidak mempunyai polusi sebanyak Indonesia. Tetapi macet menjadi pemandangan sehari-hari. Meskipun sistem transportasi sudah sangat memadai, toh masih belum mampu mengakomodasi hasrat orang-orang Amerika untuk berkendara bebas hambatan.

Selain itu, segregasi atau pemisahan di masyarakat masih terasa. Ya, komunitas kulit hitam masih belum begitu bisa menyatu dengan tetangganya yang berkulit putih. belum lagi masalah imigran Meksiko yang terus berdatangan setiap tahun.

Dalam satu kunjungan ke American University, Prof Steven Taylor, menjawab pertanyaan saya mengenai posisi orang-orang Yahudi di Amerika. Beliau mengatakan dengan jujur bahwa siapapun harus berhati-hati jika ingin mengkritisi orang-orang Yahudi di Amerika. Mereka mempunyai posisi yang sangat penting bukan karena menjadi anak emas, melainkan karena berbagai institusi penting di Amerika didirikan dan disumbang oleh orang-orang Yahudi, termasuk American University tempatnya bekerja.


Washington DC, 17 Juli 2011

Jumat, 06 Mei 2011

MENEGAKAN KONSTITUSI YANG RAPUH

Pengakuan hak asasi manusia di Indonesia pasca reformasi memang mengalami lompatan besar seperti terlihat dalam amandemen kedua UUD 1945. Namun disisi lain, reformasi yang membuka kran kebebasan juga telah menyuburkan ideologi-ideologi radikal yang mengancam pemenuhan hak asasi manusia, kesatuan dan kedaulatan Indonesia.

Kedua paradigma yang berseberangan tersebut membuat Indonesia saat ini masuk dalam jurang kompetisi antar dua kubu, moderat dan radikal. Namun sayangnya kelompok moderat hanya pandai berbasa-basi dalam forum akademik tanpa mampu mengimplimentasikan mimpi mereka ke ranah nyata. Mereka tidak mampu menyadarkan masyarakat yang sampai saat ini masih permisif terhadap ideologi radikal.

Sebaliknya, kelompok radikal tidak pernah berbasa-basi. Mereka sangat aktif membangun dan mengembangkan gerakam mereka di berbai sektor formal dan informal. Sasaran mereka juga merata dari masyarakat miskin di pedesaan, perkotaan sampai pada para cendekiawan dan dari golongan kaya.

Kita tidak bisa membayangkan wajah Indonesia dalam sepuluh tahun mendatang jika gerakan radikal semacam ini terus dibiarkan. Serangan sporadis dari kelompok radikal dalam berbagai bentuk seperti gerakan politik, aktifitas sosial sampai teror bom bisa membuat bopeng wajah pluralisme Indonesia yang dulu begitu diagungkan oleh para pendiri bangsa.

Loophole atau Blackhole?
Gerakan radikal dalam berbagai bentuknya telah membobol supremasi konstitusi. Aturan mengenai manifestasi reformasi dn demokrasi yang menghargai kebebasan dan persamaan hak disalahtafsirkan menjadi hak tanpa batas. Sikap keras mereka yang menghasilkan perilaku bar-bar dan suka menghakimi pihak-pihak yang berbeda merupakan pengingkaran yang nyata terhadap konstitusi.

Konstitusi kita sudah menyatakan bahwa ada beberapa prasyarat yang harus diperhatikan bagi siapapun yang menuntut hak mereka sebagai warga negara seperti yang diatur didalam pasal 28J UUD 1945. Prasyarat ini memberikan kekuasaan kepada pemerintah untuk mengintervensi atau membatasi perlilaku masyarakat. Namun ternyata pembatasan yang sering aktif diberlakukan hanyalah ‘berdasarkan pertimbangan nilai-nilai agama.’ Pemerintah terkesan membiarkan tindakan yang melanggar hak fundamental orang lain, keamanan, keselamatan dan kepentingan umum.

Masyarakat juga terlalu reaktif terhadap kasus-kasus yang bersinggungan dengan nilai agama. Bahkan anggota DPR yang biasanya selalu ngotot tidak mau disalahkan harus terburu-buru lengser dari kursi empuk DPR karena tersandung pornografi.

Sangat disayangkan jika kita hanya reaktif terhadap perilaku yang dianggap tidak agamis namun begitu permisif terhadap tindakan yang telah nyata mengancam kedaulatan negara. Seharusnya masyarakat dan pemerintah juga memberhatikan konsideran yang lebih penting, yakni keamanan negara untuk menangkal gerakan-gerakan yang telah secara nyata menihilkan Pancasila dan NKRI. Jika masyarakat dan pemerintah terus membiarkan embrio radikalisme berkembang, maka hal ini bisa mengubah citra Indonesia yang pluralis menjadi ekstremis.

Permasalahan ini semakin komplek karena Konstitusi kita tidak memberikan ruang yang luas bagi Mahkamah Konstitusi RI untuk mengawasi pergerakan kelompok radikal seperti yang dilakukan oleh MK Turki. Konstitusi juga tidak memberikan hak bagi warga negara untuk menuntut pembubaran organisasi yang telah mengganggu hak-hak mereka. Seharusnya kemapanan kehidupan pluralisme yang sudah berlangsung bertahun-tahun di negara ini bisa dianggap sebagai bagian integral dari hak-hak warga negara. Masyarakat harus punya hak untuk menuntut siapa saja yang merusak pluralisme ke Mahkamah Konstitusi melalui mekanisme komplain konstitusi.

Celah-celah konstitusi tersebut harus disulam oleh pemerintah jika ingin menyadarkan masyarakat tentang bahaya radikalisme. Mekanisme komplain konstitusi bisa memberikan masyarakat untuk ikut berperan dalam menangkal bahaya radikalisme sekaligus memberbaiki kondisi hak asasi manusia di Indonesia.

Butuh Ketegasan
Indonesia harus belajar dari negara lain dalam hal menangkal ideologi radikal yang mengancam kedaulatan negara. Sampai saat ini sudah ada beberapa negara yang pernah melakukan pembatasan dan bahkan berani membubarkan organisasi dan bahkan partai politik yang dianggap mengancam kedaulatan negara. Salah satunya adalah Turki yang membubarkan Partai Refah atau Partai Kesejahteraan pada tahun 1997.

Partai Kesejahteraan Turki adalah partai pemenang pemilu tahun 1995 dan diprediksi akan mendapatkan 67 % suara dalam pemilu berikutnya. Namun setelah berkuasa, para pemimpin partai tersebut menganjurkan rakyat Turki untuk mengenakan simbol-simbol agama di ruang-ruang publik dan akan menerapkan Hukum Islam di Turki. Padahal Mahkamah Konstitusi Turki sudah menegaskan bahwa hal tersebut bertentangan dengan ideologi Turki yang sekuler.

Atas dasar itulah Mahkamah membubarkan Partai Kesejahteraan Turki karena dianggap mengusung ideologi yang bertentangan dengan ideologi sekuler Turki. Pembubaran diperlukan karena partai tersebut dianggap sebagai embrio berkembangnya ideologi dan gerakan politik yang bisa mengancam kedaulatan negara karena ingin menerapkan supremasi hukum berdasarkan Al Quran, bukan berdasarkan Konstitusi Turki. Fakta itulah yang membuat Mahkamah Konstitusi Turki membubarkan Partai Kesejahteraan atas dasar kebutuhan yang sangat mendesak atau public order.

Pembatasan juga pernah dilakukan oleh Tony Blair pada tahun 2005 yang melarang Partai Hizbuth Tahrir di Inggris karena salah satu tujuan partai tersebut adalah ingin menegakan Hukum Islam di semua negara. Spanyol juga pernah melarang Partai Batasuna karena partai tersebut mendukung gerakan separatis Basque di negara Matador tersebut.

Konstitusi Jerman mengatur bahwa negara berhak untuk melarang gerakan kelompok atau partai politik yang bisa mengancam kedaulatan negara meskipun gerakan mereka relatif masih lemah. Alasannya karena meskipun lemah, gerakan ini tidak hanya mengancam kedaulatan negara melainkan bisa mengganggu hak-hak dasar warga negara lainnya.

Larangan yang dilakukan oleh Blair, Spanyol, Jerman dan Mahkamah Konstitusi Turki semata ditujukan untuk menegakan supremasi konstitusi dan kedaulatan negara. Jika Turki bisa membubarkan Partai Refah sebagai pemenang pemilu, kenapa Indonesia justru tidak berkutik melawan organisasi yang tidak mewakili suara mayoritas. Padahal mereka telah secara nyata mengingkari keberadaan Pancasila, mengganggu ketertiban umum dan bahkan membayakan kedaulatan negara

MENEGAKAN KONSTITUSI YANG RAPUH

Sabtu, 02 April 2011

Sistem Perkuliahan Pasca Sarjana

Sistem Perkuliahan Peradilan Pidana dan Hak Asasi Manusia Program Pasca Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jember

1. Perkuliahan dilaksanakan dalam bentuk seminar dimana mahasiswa melakukan presentasi dari materi modul perkuliahan. Setelah presentasi akan ada diskusi dan pembahasan lebih lanjut dari dosen dan mahasiswa.
2. Presentasi dilakukan oleh dua mahasiswa.
3. Setiap presenter harus menulis paper presentasi (sekitar dua lembar) yang dibagikan kepada dosen dan mahasiswa lainnya. Mahasiswa juga bisa menggunakan power point/viewer ketika presentasi.
Penilaian
Penilaian didasarkan pada:
1. Keaktifan mahasiswa dalam mengikuti setiap perkuliahan, diskusi dan presentasi (30 %)
2. Daya kritis dan kemampuan mengelaborasi sebuah tema presentasi (20 %)
3. Karya akademik mahasiswa berupa paper/essay (50 %)

Ketentuan penulisan paper/essay
1. Tema bebas yang berkaitan dengan materi perkuliahan Hak Asasi Manusia
2. Essay tidak perlu menuliskan rumusan masalah dan standar baku skripsi, melainkan tulisan lepas dengan mengedepankan kaidah tulisan akademik
3. Yang dimaksud dengan kaidah akademik adalah menyajikan sumber bacaan/referensi yang dipercaya, menggunakan kata baku Bahasa Indonesia, dan bukan berupa resume perkulihan atau saduran dari sebuah bacaan
4. Yang dimaksud dengan referensi yang dipercaya adalah buku, jurnal, opini atau berita di koran, majalah atau media massa cetak lainnya, bukan berasal dari Wikipedia, blog maupun facebook.
5. Panjang tulisan maksimal 15 lembar atau sekitar 3000 kata yang diakhiri dengan sebuah kesimpulan
6. tulisan menggunakan sistem referensi footnote baik Harvard, Chicago, Cambridge maupun sistem referensi lainnya.

Sistem Penilaian
1. Proporsi penilaian paling besar (50%) ada pada substansi dan kesesuaian tema dengan materi perkuliahan beserta penjelasannya.
2. Nilai untuk tingkat keterbacaan atau alur penjelasan tema (30%)
3. Nilai untuk reliabilitas sumber bacaan yang digunakan seperti buku, jurnal dll (20&)

Rabu, 23 Maret 2011

PANDUAN UJIAN DAN SISTEM PENILAIAN MAHASISWA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS JEMBER

Panduan Ujian Mahasiswa dan Sistem Penilaian (Berlaku Bagi Semua Mata Kuliah)

Ujian Paper/Essay:
Panduan penulisan
1. Tema bebas yang berkaitan dengan materi perkuliahan
2. Essay tidak perlu menuliskan rumusan masalah dan standar baku skripsi, melainkan tulisan lepas dengan mengedepankan kaidah tulisan akademik
3. Yang dimaksud dengan kaidah akademik adalah menyajikan sumber bacaan/referensi yang dipercaya, menggunakan kata baku Bahasa Indonesia, dan bukan berupa resume perkulihan atau saduran dari sebuah bacaan
4. Yang dimaksud dengan referensi yang dipercaya adalah buku, jurnal, opini atau berita di koran, majalah atau media massa cetak lainnya, bukan berasal dari Wikipedia, blog maupun facebook.
5. Panjang tulisan maksimal 5 lembar atau sekitar 1000 kata yang diakhiri dengan sebuah kesimpulan (satu paragraph)
6. Sistem referensi footnote menggunakan sistem referensi Harvard, yakni Nama Pengarang. Tahun Penerbitan. Judul Buku. Tempat Penerbitan: Penerbit. Hal.

Sistem Penilaian
1. Proporsi penilaian paling besar (50%) ada pada substansi dan kesesuaian tema dengan materi perkuliahan beserta penjelasannya.
2. Nilai untuk tingkat keterbacaan atau alur penjelasan tema (30%)
3. Nilai untuk reliabilitas sumber bacaan yang digunakan seperti buku, jurnal dll (20&)

Selamat mengerjakan..!!!

‘Ketika orang tua belum rela untuk mati dan orang-orang muda sangat kesulitan untuk lahir, maka saat itulah monster akan muncul…….’ ( Antonio Gramsy)

Minggu, 13 Maret 2011

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM UNI AFRIKA

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DIDALAM KERANGKA UNI AFRIKA
Malcolm Shaw, 2003. International Law, Edisi 5. Cambridge. hal 930-933

Uni Afrika didirikan pada tahun 1963. Pasal XIX Piagam Afrika mengandung prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai, yakni menekankan pentingnya negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Untuk menjalankan mekanisme tersebut, Uni Afrika membentuk sebuah komisi khusus arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi namun sayangnya komisi tersebut tidak mempunyai jurisdiksi absolut terhadap penyelesaian sengketa di negara-negara anggota. Salah satu sebabnya adalah negara-negara Afrika lebih suka memakai mekanisme penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditawarkan oleh Organisasi Uni Afrika.

Salah satu contohnya adalah penyelesaian perbatasan antara Maroko dan Algeria dimana Organisasi Uni Afrika mendirikan Komisi Ad Hoc yang berisi tujuh negara Afrika untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada tahun 1964 tersebut. Selain itu, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan Komisi Ad Hoc untuk menyelesaikan sengketa antara Somalia dengan Ethopia. Namun demikian Komisi tersebut gagal menyelesaikan konflik meskipun Komisi menegaskan prinsip non intervensi kedaulatan negara anggota.

Didalam konflik Sahara Barat, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan komite pada Juli 1978. Namun komite tersebut juga gagal menyelesaikan sengketa yang ada. Sedikit kesuksesan diperoleh ketika Organisasi Uni Afrika berusaha untuk menyelesaikan perang sipil di Chad. Berdasarkan penjelasan diatas, mekanisme penyelesaikan sengketa didalam kerangka Uni Afrika lebih menitik beratkan pada peran Organisasi Uni Afrika dengan mendirikan Komisi atau Komite Ad Hoc daripada menerapkan Piagam Afrika tentang mediasi, konsiliasi, arbitrase dan negosiasi.

Berdasarkan sejarah diatas, Organisasi Uni Afrika menerapkan mekanisme baru seperti mekanisme menjaga konflik, manajemen konflik, dan resolusi konflik pada tahun 1993. Mekanisme baru ini digunakan untuk mengantisipasi potensi konflik yang ada. Mekanisme tersebut terdiri dari dua badan utama; organ pusat dan divisi manajemen konflik. Organ pusat terdiri dari 16 negara yang dipilih setiap tahun, yang bertindak sebagai biro atau wakil dari masing-masing negara. Namun demikian, organ pusat ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa yang terjadi di beberapa negara di Afrika seperti Genosida Rwanda, Konlfik Burundi, dan Kongo.

Untuk mengimplimentasikan aturan yang ada didalam Piagam Afrika, Organisasi Uni Afrika membuat protokol pendukung mengenai pendirian Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika yang resmi didirikan pada tanggal 9 Juli 2002. Instrumen ini digunakan oleh Organisasi Uni Afrika untuk mendirikan Dewan Keamanan dan Perdamaian sebagai organ independen untuk menjaga, mengatur dan menyelesaikan konflik yang terjadi di negara-negara anggota. Dewan ini dalam kerjanya dibantu oleh Komisi Organisasi Uni Afrika. Salah satunya adalah dengan mengangkat lima pakar yang dipilih oleh ketua Komisi dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada semua negara anggota.

Kelima pakar tersebut bersama-sama dengan Dewan Keamanan Uni Afrika berhak melakukan pengawasan melalui pusat pengawasan dan observasi yang dikenal dengan ‘kamar situasi’ yang terletak di Direktorat Pusat Manajemen Konflik Uni Afrika. Tugas utama dari dewan ini (gabungan antara lima pakar dan dewan keamanan) adalah untuk menjaga dan menerapkan norma-norma yang ada didalam Piagam Afrika seperti penghormatan terhadap aturan hukum dan hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan integritas territorial dari semua negara anggota. Untuk menjaga independensi dewan, maka setiap anggota dipilih secara bergiliran berdasarkan prinsip persamaan perwakilan negara-negara.

Fungsi dari dewan ini termasuk juga menjalankan fungsi promosi perdamaian, keamanan dan stabilitas politik di kawasan Afrika. Sedangkan konsep peacemaking terdiri dari penggunaan mekanisme jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyidikan dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini sesuasi dengan Pasal 9 Protokol Piagam Afrika yang menyatakan bahwa dewan harus berinisiatif dan melakukan tindakan yang diperlukan berkaitan dengan situasi dan potensi konflik dan harus menggunakan kebijakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut baik secara intervensi kolektif dewan maupun melaui persetujuan ketua dewan, the panel of wise, atau melaui mekanisme kolaborasi regional.

Protokol Piagam Afrika berlaku efektif di negara anggota setelah mereka meratifikasi instrumen tersebut.

Kamis, 03 Maret 2011

MENGGUGAT KONTRADICTIO INTERMINIS KONSTITUSI

Kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas yang menyimpang dari kebiasaan umum masih akan terus terjadi. Saya yakin bahwa kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah di Pandeglang Banten bukanlah merupakan kekerasan yang terakhir. Masih banyak potensi konflik horizontal di masyarakat yang bisa muncul terkait dengan perbedaan tafsir agama. Salah satu alasan utamanya adalah adanya ‘contradictio interminis,’ yakni pertentangan norma yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945.

Di satu sisi, UUD 1945 menjamin hak beragama secara penuh didalam Pasal 28E ayat (1) dan 29 ayat (1). Kedua aturan tersebut ditegaskan lagi dengan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Namun ternyata ada pasal lain didalam Konstitusi yang bertentangan dengan tiga pasal tersebut, yakni Pasal 28J ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada undang-undang termasuk pertimbangan nilai-nilai agama.

Nah, klausula ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ inilah yang menyebabkan terjadinya pembatasan hak dan kebebasan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari mainstream agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan tersebut selalu didominasi oleh kelompok mayoritas sehingga menyebabkan kelompok minoritas kehilangan suaranya. Artinya klausula tersebut juga menciptakan ketimpangan persamaan hak diantara pemeluk agama.

Sebagai konstitusi, tentu pertentangan yang ada didalam UUD 1945 ini bisa mengakibatkan efek domino konflik hukum di Indonesia. Sampai saat ini masih ada beberapa norma derivatif yang saling bertentangan seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP tentang ancaman penjara bagi penganjur agama ‘sesat’ termasuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah.

Jalan Tengah, No!
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan konflik terkait dengan eksistensi kelompok tersebut. Jalan tengah tersebut merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari adanya contradictio interminis Konstitusi. Artinya, keluarnya SKB tersebut adalah sah berdasarkan Pasal 28J ayat (2) Konstitusi meskipun pada dasarnya pelarangan terhadap syiar Ahmadiyah mengandung aturan yang diskriminatif karena hanya melarang penyebaran Ahmadiyah.

Atas dasar itulah SKB bersifat constitutionally unconstitutional. Menjadi unconstitutional karena SKB membatasi hak dan kebebasan warga negara untuk meyakini agamanya. Selain itu juga mengandung norma diskriminatif karena hanya melarang syiar Ahmadiyah sedangkan agama-agama lain justru semakin marak melakukan kontes syiar agama di berbagai ruang publik termasuk membanjiri syiar agama di berbagai media massa elektronik.

Sedangkan alasan SKB menjadi produk hukum yang constitutional karena ditetapkan berdasarkan aturan hukum yang ada, yakni Pasal 28J ayat 2. Memang SKB ditujukan untuk mengatur kehidupan beragama dan menjaga harmonisasi agama-agama di Indonesia. Negara juga mempunyai hak untuk membatasi manifestasi keagamaan atau hak dan kebebasan lainnya demi terciptanya ketertiban, keselamatan dan keamanan nasional.

Namun harus diingat bahwa yang menjadi subjek dalam usaha pemenuhan hak asasi manusia bukanlah nilai-nilai agama melainkan status manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pertimbangan pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan agama justru menjadi paradoksi penegakan hak asasi manusia karena pihak-pihak yang tidak mematuhi ‘etika’ berdasarkan agama mayoritas secara otomatis kehilangan hak dan kebebasannya. Lalu apa yang membedakan status penganut Ahmadiyah dengan penganut agama lainnya padahal mereka sama-sama manusia ciptaan Tuhan?

Ada lagi keputusan hukum yang constitutionally constitutional terkait kasus penodaan agama, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Undang-Undang tersebut digugat karena dianggap sebagai ‘biang kerok’ terhadap terjadinya kekerasan agama yang selama ini banyak terjadi. Namun ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) lebih suka mengacu kepada ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ untuk menolak judicial review tersebut sehingga mengakibatkan keputusan tersebut constitutional.

Namun MK lupa bahwa pemenuhan hak asasi manusia bukanlah berdasarkan nilai-nilai agama karena pertimbangan seperti ini hanya akan mengakibatkan perbuatan tirani kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam hal perlindungan hak beragama, yang menjadi subjek adalah kelompok minoritas karena kelompok inilah yang sering menjadi korban. Artinya, ketika masih ada klausula ‘pertimbangan nilai-nilai’ maka sejatinya kelompok minoritas telah kehilangan hak dan kebebasannya.

Jika demikian, lalu apa bedanya Indonesia dengan negara-negara otoriter lainnya yang sering mengekang hak dan kebebasan warga negaranya? Ironisnya, contradictio interminis didalam Konstitusi justru terjadi setelah era reformasi, yakni muncul di amandemen kedua. Artinya reformasi sebenarnya juga menyisakan persoalan yang sangat mungkin berdampak sangat panjang selama pasal tersebut tidak diamandemen.

Salah Kaprah
Memang semua negara mengenal pembatasan terhadap implementasi hak dan kebebasan setiap manusia. Misalnya Pengadilan Turki justru membubarkan Partai Refah, yakni partai pemenang Pemilu 1995 karena salah satu tujuannya adalah ingin mengganti Konstitusi Turki yang sekuler dengan Syariah Islam. Artinya ada bahaya yang mengancam keamanan negara Turki sehingga pembubaran Partai Refah adalah sah meskipun setiap orang Islam berhak untuk melaksanakan Syariah Islam sebagai salah satu manifestasi keagamaan mereka.

Pemerintahan Tony Blair juga melarang Partai hizbut Tahrir di Inggris karena salah satu tujuannya adalah ingin menerapkan Syariah Islam di semua negara. Namun pemeluk agama-agama di negara kerajaan tersebut masih bebas untuk menjalankan aktifitas keagamaan mereka selama tidak mengganggu ketertiban umum maupun membahayakan keamanan negara.

Yang terjadi di Indonesia adalah justru anti-thesis dari kedua contoh tersebut. Hal ini disebabkan konflik hukum yang ada didalam Konstitusi dan norma derivatif di Indonesia menyebabkan buramnya ketentuan mengenai siapa yang lebih berhak dinyatakan sebagai pihak yang hak dan kebebasannya dilanggar oleh pihak lain. Konsekuensinya, ada kelompok-kelompok yang tidak segan untuk mengganggu ketertiban umum atau mengintervensi hak orang lain untuk mengklaim hak dan kebebasan mereka.

Di sisi lain ada kelompok-kelompok yang tidak pernah membahayakan keamanan, keselamatan maupun mengganggu hak orang lain justru menjadi pesakitan yang harus disembuhkan. Jika menolak, mereka wajib diperangi atau bahkan ‘halal’ dibunuh. Ironisnya selama ini mayoritas masyarakat bahkan aparatur pemerintah tidak mempermasalahkan tindakan anarkhis mereka dan justru semakin memojokan para korban meskipun mereka sudah terbujur kaku menjadi mayat. Hal ini menyebabkan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas karena perilaku permisif masyarakat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.

MENGURAI BENANG KUSUT HAK BERAGAMA DI INDONESIA

Kekerasan atas nama agama masih sering terjadi pasca reformasi dan cenderung semakin destruktif. Bahkan para penyerang seakan tidak takut lagi terhadap aparat keamanan dan mengesampingkan hukum yang berlaku. Salah satu caranya adalah dengan melakukan intimidasi secara berkelompok layaknya gangster. Mereka bergerak secara terorganisir karena jejaring sosial diantara para anggota sangat solid.

Tulisan ini berusaha mengingatkan kita pada sejarah perdebatan hak beragama sekaligus mengurai persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Dilema
Hak beragama merupakan hak yang paling kontroversial. Silang pendapat berbagai pihak mengenai hak tersebut sudah terjadi semenjak diundangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Persoalan tidak hanya terjadi di negara-negara Islam melainkan juga melibatkan lain seperti Uni Soviet dan China. Artinya, persoalan hak beragama selalu bersinggungan dengan tafsir agama, ideologi atau budaya di negara-negara. Persoalan mengenai hak beragama semakin rumit karena sampai sekarang wacana tenang unviersalisme dan relativisme hak asasi manusia masih menjadi perdebatan.

Para penganjur relativisme hak asasi manusia berpendapat bahwa aturan mengenai moralitas berbeda-beda sehingga mengakibatkan hilangnya validitas universalisme hak asasi manusia. Universalisme hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan khususnya jika bersinggungan dengan intisari dari sebuah budaya. Amartya Sen mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan manifestasi dari etika yang berkembang di sebuah masyarakat. Artinya, hak asasi manusia akan mudah diimplementasikan di sebuah negara jika normanya berkaitan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Konsep relativisme ini menjaga ‘kedaulatan budaya’ dimana setiap budaya mempunyai jurisdiksi yang tidak boleh mengintervensi antara satu dengan lainnya.

Sebaliknya, para penganjur universalisme seperti Martha Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia tidak dapat dinegosiasikan untuk melindungi standar universal dalam mengimplementasikan hak asasi manusia di negara-negara. Ketiadaan standar universal bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seseorang khususnya kelompok-kelompok yang lemah secara hukum dan politik. Oleh karena itu konsep universalisme hak asasi manusia membungkam budaya atau agama yang sebenarnya telah mempunyai pemahaman tentang sebuah nilai termasuk hak beragama.

Di Indonesia, dua konsep tersebut telah memecah masyarakat menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah yang sangat ekstrem menolak konsep universalisme hak asasi manusia termasuk hak beragama. Mereka sangat represif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara keyakinan dan seringkali menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Kelompok konservatif ini sangat ekslusif sehingga menolak semua perubahan yang dianggap bukan berasal dari tradisi atau budaya mereka. Meskipun kelompok ini di Indonesia masih sedikit, namun sepak terjangnya sering berdampak besar karena memang ditujukan untuk menunjukan eksistensi mereka kepada masyarakat.

Kelompok kedua adalah yang menerima universalisme hak asasi manusia selama hak tersebut tidak mengganggu inti dari keyakinan mereka. Pada dasarnya kelompok ini tidak mau terlibat dalam aksi kekerasan meskipun mereka menolak hak dan kebebasan yang dianggap membahayakan keyakinan mereka. Jika terjadi kekerasan, ‘kelompok tengah’ ini lebih suka menawarkan pemecahan masalah tanpa kekerasan namun substansi dari tawaran tersebut tetap mengurangi hak dan kebebasan kelompok lain.

Kelompok ketiga adalah mereka yang bisa menerima perbedaan dalam bentuk apapun karena meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Namun ironisnya sebagian besar dari kelompok liberal ini cenderung permisif terhadap terjadinya pelanggaran sehingga suara mereka jarang didengar oleh pemerintah. Sedangkan sebagian kecil lainnya justru sangat aktif menyuarakan universalisme. Agresifitas kelompok liberal ini juga menjadi salah satu alasan munculnya revivalisme kelompok pertama yang merasa kemapanannya mulai terjajah.

Menegakan Hukum
Persoalan mengenai hak beragama di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan perdebatan sudah terjadi sesaat setelah Indonesia merdeka terkait Piagam jakarta. Yang menjadi ironi adalah perdebatan tempo dulu jarang tidak berujung pada aksi kekerasan.

Perdebatan juga terjadi di era Orde Baru ketika Presiden Soeharto menawarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Kelompok Islam Konservatif menanggap bahwa UU tersebut telah mereduksi Hukum Islam karena ketentuan batas minimal untuk menikah adalah umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Artinya, ketentuan itu bertentangan dengan hukum Islam karena batas minimal menikah adalah ketika seorang Muslim sudah akil balig, yakni sekitar umur 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun.

Penolakan juga didasarkan pada aturan mengenai tata cara perceraian karena perceraian ditentukan oleh pengadilan, bukan berdasarkan ketentuan ‘talak’ yang ada didalam Islam. Toh UU yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan anggota DPR itu bisa diundangkan karena ketegasan rejim Orde Baru.

Kini tidak ada yang mempermasalahkan UU Perkawinan made in Orde Baru tersebut yang sudah merubah beberapa ketentuan didalam Hukum Islam. Bahkan saya yakin kelompok konservatif yang akhir-akhir ini sering melakukan kekerasan juga tidak menolak UU tersebut. Namun kenapa justru mereka sangat defensif membela keyakinan versi mereka sampai harus membunuh orang yang berbeda keyakinan?

Salah satu sebabnya karena kelompok tengah yang sebagian besar berasal dari kaum intelektual tidak berani mengambil peran sebagai mediator diakar rumput. Meskipun berbagai kegiatan pluralisme dan kerukunan antar umat beragama sering diadakan, namun penyebaran idenya tidak sampai ke arus bawah. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap sebuah nilai yang kontroversial sangat lambat.

Semoga kita tidak perlu memunculkan Orde Baru versi abad 21 atau menunggu empat dekade untuk menerima hak beragama yang seharusnya bisa dimiliki oleh semua warga negara tanpa diskriminasi. Kita tidak harus mengganti atau mengurangi keyakinan kita untuk mengakui perbedaan. Justru memberikan sedikit ruang pemahaman yang berbeda bagi kelompok lain bisa menambah keimanan kita terhadap sebuah agama.

Memahami Sistem Kenegaraan China

CHINA

Pada awalnya China merupakan negara feodal. Namun tradisi tersebut semakin berkurang setelah tahun 1840 dimana China menjadi negara yang semi feodal. Feodalisme China semakin terkikis setelah Dr. Sun Yat Sen melakukan revolusi China untuk mengganti China sebagai negara republik pada tahun 1911 meskipun rakyat China masih mempraktikan imperialisme dan feodalisme.

Akhirnya imperialisme dan feodalisme hanya menjadi catatan sejarah China ketika Mao Zedong sebagai pemimpin Partai Komunis China melakukan revolusi untuk membersihkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme pada tahun 1949. Eksploitasi manusia yang sering terjadi di China sebelum Mao telah dihilangkan dan diganti dengan sistem sosialis yang menempatkan kaum pekerja dan masyarakat bawah sebagai subjek pembangunan China. Sampai saat ini tujuan dari pemerintah China adalah meningkatkan institusi yang berbasis paham sosialis, menggabungkan demokrasi dengan sosialisme, meningkatkan sistem hukum sosialis termasuk memodernkan sistem perekonomian.

Sampai saat ini China menganut sistem demokrasi sosialis dan sistem hukum sosialis yakni perpaduan antara ideologi sosialis dan demokrasi sebagai bagian dari upaya mengembangkan atau memodernkan Sosialisme di China. Artinya, China tidak menutup diri dari perubahan. Oleh karena itu sistem ekonomi di Negara Tirai Bambu tersebut merupakan perpaduan antara Sosialisme dan Kapitalisme untuk memodernkan industri, pertanian, pertahanan nasional, ilmu dan teknologi.

Untuk membentuk sosialisme yang kuat, China menekankan pentingnya bergantung pada kelas pekerja, masyarakat umum dan kaum intelektual. Kelas pekerja merepresentasikan adanya persamaan hak dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Sedangkan kaum intelektual berusaha untuk mengadopsi nilai-nilai dari luar tanpa harus menghilangkan identitas sosialisme China.

Ideologi Sosialisme China diatur dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi China yang menyatakan bahwa Negara China adalah Negara Sosialis dibawah naungan sistem demokrasi yang dipimpin oleh para kelas pekerja dan aliansi para kelas pekerja dan masyarakat bawah. Ayat 2 lebih jauh menegaskan bahwa semua usaha yang membahayakan Sosialisme China tidak diperbolehkan.

Warga negara China bisa menyalurkan hak politik mereka melalui organ-organ negara seperti kongres nasional rakyat China atau kongres yang bersifat lokal (pasal 2 ayat 1). Pasal 3 ayat 2 mengatur bahwa para anggota yang menjadi peserta kongres dipilih melalui ekanisme pemilihan umum. Kedua macam kongres tersebut digunakan oleh warga negara China untuk menentukan prinsip sentralisme demokrasi. Beberapa tugasnya adalah menciptakan lembaga administratif dan hukum dimana mereka harus bertanggungjawab terhadap rakyat.

Pasal 3 ayat 4 Konstitusi China menerapkan konsep desentralisasi dimana pembagian fungsi kekuasaan antara lembaga negara pusat dan daerah diatur melalui prinsip pembagian kekuasaan yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara daerah untuk mengatur kekuasaan lokal dibawah naungan kekuasaan pusat.

Salah satu ciri khas Sosialisme China adalah sistem ekonomi berdasarkan paham sosialisme dimana produksi dikuasai secara penuh oleh kelas pekerja dan warga negara dimana pemerintah hanya bertugas melakukan konsolidasi terhadap pembangunan ekonomi nasional.

Pasal 10 Konstitusi mengenai kepemilikan lahan mengatur bahwa tanah-tanah yang ada di kota dikuasai oleh negara. Sedangkan lahan-lahan pertanian di desa dan daerah sub urban dikuasai secara bersama-sama. Namun negara bisa mengambil alih lahan untuk kepentingan umum berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Perusahaan atau lembaga non pemerintah tidak bisa membeli tanah kecuali dengan alasan yang rasional.

Namun pasal 11 juga mengatur bahwa negara melindungi sektor ekonomi swasta dengan cara mengatur, membantu, dan mengawasi kegiatan ekonomi tersebut dengan cara melakukan kontrol administratif. Sektor ekonomi swasta merupakan komplementer dari sistem ekonomi sosialis China. Namun kegiatan ekonomi tersebut sangat terbatas dan negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan tersebut secara ketat. Ketentuan ini untuk menjaga sistem sosialis yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menguasai kepemilikan lahan.

Pasal 24 ayat 2 Konstitusi China secara jelas menyatakan bahwa negara melarang semua bentuk kapitalisme, feudalisme, dan semua ideologi yang menyamainya. Salah satu caranya adalah negara mendukung adanya kecintaan warga negara terhadap tanah air, rakyat, buruh, ilmu, sosialisme dan juga mengajarkan rakyat akan pentingnya semangat patriotisme, colektifisme, internasionalisme dan komunisme dalam kerangka dialektika dan sejarah materialisme.
Dear students,

tulisan ini hanya diperuntukan bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Hukum Diplomatik Konsuler. Silahkan dibaca dan diperhatikan tata cara presentasi dan sistem penilaian. kegagalan dalam memahami atau mengikuti tata cara ini kemungkinan bisa menyebabkan mahasiswa mendapatkan nilai yang 'kurang memuaskan.'

Presentasi Diplomatik Konsuler

Kelompok I
Menguraikan kasus larangan terbang ddi wilayah udara Libya oleh NATO

Kelompok II
Menjelaskan peran dan fungsi Duta Besar Indonesia dalam kasus Negosiasi Indonesia ke FIFA mengenai Kasus PSSI

Kelompok III
Menguraikan Kasus Penyelesaikan Kasus David, seorang mahasiswa Indonesia yang tewas di Singapura

Kelompok IV
Menjelaskan Proposal Perjanjian Ekstradisi antara Singapura dan Indonesia

Kelompok V
Menjelaskan Kasus Perlindungan Hukum dari Kedutaan Indonesia terhadap TKI di Malaysia dan Saudi Arabia

Kelompok VI
Menjelaskan fungsi dan Peran Duta Besar Negara-Negara ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di kawasan Asia Tenggara

Kelompok VII
Memilih salah satu kasus yang terkait dengan peran dan fungsi Duta Besar

Tata cara presentasi, penulisan dan penilaian
1. Masing-masing anggota kelompok menjelaskan isi dari naskah yang dipresentasikan
2. Panjang makalah maksimal 7 halaman
3. Naskah ditulis dengan time new roman 12, spasi 1.5, rata kanan kiri, page setup 3 kiri, 3 kanan, 4 atas, dan 3 bawah
4. Tulisan tidak boleh mengandung unsur plagiarisme
5. Menggunakan sistem referensi footnote
6. penilaian didasarkan pada keaktifan mahasiswa dalam presentasi dan tanya jawab

Selamat bekerja

Selasa, 22 Februari 2011

Inquiry dan Konsiliasi

INQUIRY
Malcolm Shaw, 2005. International Law Edisi 5th. Hal. 923-925

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui inquiry dilakukan jika tidak ada titik temu diantara pihak. Caranya adalah dengan meminta observer independent untuk melakukan investigasi mengenai persoalan yang ada. Inquiry merupakan alternatif arbitrase dalam menyelesaikan sengketa internasional. mekanisme inquiry dibahas pertama kali pada Konferensi Hague 1899.

Mekanisme inquiry pernah dilakukan secara sukses dalam kasus Dogger Bank 1904 ketika Kapal Perang Rusia menembak Perahu Nelayan Inggris yang diduga sebagai akibat dari torpedo Kapal Jepang. Pada saat itu, komisi inquiry yang beranggotakan empat petugas kapal perang Inggris, Rusia, Perancis dan Amerika, ditambah dengan satu anggota diluar dari petugas tersebut, yakni orang Austro-Hungarian berhasil menyelesaikan sengketa tersebut secara damai. Komisi inquiry menyimpulkan bahwa tidak ada pembenaran terhadap serangan Rusia tersebut. Oleh karena itu, kedua belah pihak sepakat bahwa Rusia harus membayar ganti rugi sebesar 65.000 pounds kepada Inggris.

Sejak saat itu mekanisme inquiry terus dikembangkan sampai sekarang. Salah satu negara yang sangat intensif mengembangkan mekanisme ini adalah Amerika Serikat dimana 48 perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Amerika selama 1913-1940 selalu menyebutkan adanya mekanisme inquiry untuk menyelesaikan sengketa diantara kedua negara.

KONSILIASI

Proses konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang terlibat secara langsung dalam investigasi. Mekanisme konsiliasi juga melibatkan proses mediasi dan inquiry. Namun hasil dari konsiliasi hanya merupakan saran yang bersifat tidak mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa. Artinya, para pihak boleh memakai hasil dari konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa atau mencari mekanisme baru yang dianggap bisa memuaskan para pihak yang terlibat. Hal inilah yang membedakan konsiliasi dengan arbitrase karena hasil dari arbitrase bersifat mengikat secara hukum para pihak yang bersengketa.

Sifat tidak mengikat konsiliasi menyebabkan mekanisme ini sangat jarang digunakan oleh negara-negara. namun sifat fleksibilitasnya bisa memungkinkan pencapaian penyelesaian sengketa secara damai karena para pihak dituntut untuk terus bernegosiasi. Meskipun jarang dipakai, namun ada banyak perjanjian multilateral yang mencantumkan mekanisme konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa diantara negara anggota. Diantaranya Perjanjian Amerika mengenai Penyelesaian Sengketa secara Damai tahun 1948, Konvensi Eropa tentang Penyelesaian Sengketa secara Damai tahun 1957, Protokol Komisi Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase dari Piagam Organisasi Afrika tahun 1964, Konvensi Wina tahun 1969, Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dan Konvensi Perlindungan Lapisan Ozon.

Dalam teknik konsiliasi, komisi berjumlah lima orang dimana dua orang masing-masing dipilih oleh negara yang bersengketa. Sedangkan tiga orang lainnya dipilih oleh warga negara dari pihak ketiga. Mekanisme konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa dilakukan selama enam bulan secara informal dan tidak dipublikasikan untuk umum. Meskipun demikian, mekanisme konsiliasi tetap memperhatikan aspek hukum dan fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.

Salah satu contoh sengketa yang menggunakan mekanisme konsiliasi adalah Islandia-Norwegia mengenai sengketa batas laut kontinental di Pulau Jan Mayen. Komisi konsiliasi menyarankan kepada kedua negara untuk melakukan eksplorasi bersama karena kedua negara saling mengklaim mempunyai jurisdiksi terhadap pulau tersebut. Proposal yang diajukan oleh komisi konsiliasi ini tentu tidak akan pernah ada didalam putusan pengadilan seperti yang terjadi di Sipadan dan Ligitan.

Senin, 21 Februari 2011

Inquiry dan Konsiliasi

INQUIRY
Malcolm Shaw, 2005. International Law Edisi 5th. Hal. 923-925

Mekanisme penyelesaian sengketa melalui inquiry dilakukan jika tidak ada titik temu diantara pihak. Caranya adalah dengan meminta observer independent untuk melakukan investigasi mengenai persoalan yang ada. Inquiry merupakan alternatif arbitrase dalam menyelesaikan sengketa internasional. mekanisme inquiry dibahas pertama kali pada Konferensi Hague 1899.

Mekanisme inquiry pernah dilakukan secara sukses dalam kasus Dogger Bank 1904 ketika Kapal Perang Rusia menembak Perahu Nelayan Inggris yang diduga sebagai akibat dari torpedo Kapal Jepang. Pada saat itu, komisi inquiry yang beranggotakan empat petugas kapal perang Inggris, Rusia, Perancis dan Amerika, ditambah dengan satu anggota diluar dari petugas tersebut, yakni orang Austro-Hungarian berhasil menyelesaikan sengketa tersebut secara damai. Komisi inquiry menyimpulkan bahwa tidak ada pembenaran terhadap serangan Rusia tersebut. Oleh karena itu, kedua belah pihak sepakat bahwa Rusia harus membayar ganti rugi sebesar 65.000 pounds kepada Inggris.

Sejak saat itu mekanisme inquiry terus dikembangkan sampai sekarang. Salah satu negara yang sangat intensif mengembangkan mekanisme ini adalah Amerika Serikat dimana 48 perjanjian bilateral yang ditandatangani oleh Amerika selama 1913-1940 selalu menyebutkan adanya mekanisme inquiry untuk menyelesaikan sengketa diantara kedua negara.

KONSILIASI

Proses konsiliasi melibatkan pihak ketiga yang terlibat secara langsung dalam investigasi. Mekanisme konsiliasi juga melibatkan proses mediasi dan inquiry. Namun hasil dari konsiliasi hanya merupakan saran yang bersifat tidak mengikat kepada pihak-pihak yang bersengketa. Artinya, para pihak boleh memakai hasil dari konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa atau mencari mekanisme baru yang dianggap bisa memuaskan para pihak yang terlibat. Hal inilah yang membedakan konsiliasi dengan arbitrase karena hasil dari arbitrase bersifat mengikat secara hukum para pihak yang bersengketa.

Sifat tidak mengikat konsiliasi menyebabkan mekanisme ini sangat jarang digunakan oleh negara-negara. namun sifat fleksibilitasnya bisa memungkinkan pencapaian penyelesaian sengketa secara damai karena para pihak dituntut untuk terus bernegosiasi. Meskipun jarang dipakai, namun ada banyak perjanjian multilateral yang mencantumkan mekanisme konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa diantara negara anggota. Diantaranya Perjanjian Amerika mengenai Penyelesaian Sengketa secara Damai tahun 1948, Konvensi Eropa tentang Penyelesaian Sengketa secara Damai tahun 1957, Protokol Komisi Mediasi, Konsiliasi, dan Arbitrase dari Piagam Organisasi Afrika tahun 1964, Konvensi Wina tahun 1969, Konvensi Hukum Laut tahun 1982, dan Konvensi Perlindungan Lapisan Ozon.

Dalam teknik konsiliasi, komisi berjumlah lima orang dimana dua orang masing-masing dipilih oleh negara yang bersengketa. Sedangkan tiga orang lainnya dipilih oleh warga negara dari pihak ketiga. Mekanisme konsiliasi untuk menyelesaikan sengketa dilakukan selama enam bulan secara informal dan tidak dipublikasikan untuk umum. Meskipun demikian, mekanisme konsiliasi tetap memperhatikan aspek hukum dan fakta-fakta yang ditemukan dilapangan.

Salah satu contoh sengketa yang menggunakan mekanisme konsiliasi adalah Islandia-Norwegia mengenai sengketa batas laut kontinental di Pulau Jan Mayen. Komisi konsiliasi menyarankan kepada kedua negara untuk melakukan eksplorasi bersama karena kedua negara saling mengklaim mempunyai jurisdiksi terhadap pulau tersebut. Proposal yang diajukan oleh komisi konsiliasi ini tentu tidak akan pernah ada didalam putusan pengadilan seperti yang terjadi di Sipadan dan Ligitan.

Minggu, 20 Februari 2011

Oleh-Oleh dari Tammasat University

Tammasat University sekilah seperti kampus-kampus perkotaan di Indonesia. Lokasinya tidak begitu luas, mirip seperti Atma Jaya di bilangan Sudirman atau Trisakti di Grogol Jakarta. Namun yang membedakan adalah kita tidak akan menemukan sampah di Tammasat. bahkan toilet yang dikebanyakan kampus di Indonesia berbau pesing dan bahkan beberapa ada yang tidak bisa terpakai tidak akan bisa ditemukan di Tammasat. Ya, Universitas yang pernah dijadikan basis demonstrasi kelompok kaos kuning pendukung PM Abisit tersebut adalah salah satu universitas top Thailand bersama Mahidol dan Culalongkorn.

nama besar Tammasat bisa dilihat dari beberapa pusat studi yang ada di universitas tersebut dan salah satunya adalah Pusat Studi German - Asia Tenggara yang kemarin mengundang saya untuk hadir di konferensi tentang konstitusi tanggal 17 Februari lalu.

Universitas yang tepat berada di pinggir sungai tersebut sangat ideal bagi mahasiswa yang suka jalan-jalan termasuk penyuka kuliner. (bersambung)

Senin, 14 Februari 2011

Silabus Hukum dan HAM

Silabus Hukum dan Hak Asasi Manusia

Meeting I
Pengertian Kebebasan
menjelaskan berbagai macam definisi kebebasan dalam instrumen hak asasi manusia serta pendapat para ahli.
referensi:
Al Khanif. 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. LBM Press Yogyakarta

Meeting II
Dimensi Hak Asasi Manusia didalam instrumen hak asasi manusia internasional
menjelaskan dinamika pengertian hak asasi manusia beserta dimensinya dalam berbagai instrumen hak asasi manusia.
referensi:
Al Khanif. 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. LBM Press Yogyakarta
Alston, Philip et all. 2008. International Human Rights Law in Context 3rd Edition. New York: Oxford University Press

Meeting III
Hak Asasi Manusia didalam Islam (Deklarasi Kairo)
menganalisis berbagai persamaan dan perbedaan konsep hak asasi manusia didalam Islam dengan instrumen internasional
referensi:
Al Khanif. 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. LBM Press Yogyakarta
An-Na’im, Abdullahi Ahmed. 1990. Toward an Islamic Reformation, Civil Liberties, Human Rights, and International Law. New York: Syracuse University Press
Mayer, Ann Elizabeth. 1999. Islam and Human Rights, Tradition and Politics. Colorado: West view Press Inc

Meeting IV
Hak Asasi Manusia di Indonesia
Menjelaskan berbagai persoalan HAM didalam hukum nasional
referensi:
Al Khanif. 2010. Hukum dan Kebebasan Beragama di Indonesia. LBM Press Yogyakarta.
UUD 1945 Amandemen II

Silabus Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Silabus Hukum Penyelesaian Sengketa Internasional

Meeting I
Negosiasi dan Mediasi
1. Menjelaskan mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan negosiasi dan mediasi serta menganalisis kasus-kasus yang ada.
referensi: Malcolm Shaw. 2005. International Law Edisi 5. Cambridge University Press Hal. 914 - 923

Meeting II
Inquiry dan Konsiliasi
Menjelaskan tata cara mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan Inquiry dan Konsisilasi serta menganalisis kasus-kasus yang ada.
referensi: Malcom Shaw. 2005. International Law Edisi 5. Cambridge University Press. hal. 925 - 927

Presentasi Mahasiswa terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa


Meeting III
Institusi Internasional dan Penyelesaian Sengketa
Menjelaskan peran Perserikatan Bangsa-Bangsa, organisasi Arab, ASEAN dan beberapa organisasi internasional lainnya dalam Menyelesaikan sengketa internasional dan menganalisis kasus-kasus yang ada
referensi: Malcom Shaw. 2005. International Law Edisi 5. Cambridge University Press. hal. 928 - 950

Presentasi Mahasiswa terkait dengan mekanisme penyelesaian sengketa

Meeting IV
Penyelesaian Sengketa dengan Kekerasan
Menguraikan norma-norma yang ada didalam Konvensi Jenewa I tentang Hukum Perang.
Menganalisis kasus-kasus pelanggaran perang yang ada
referensi: Komentar ICRC dan dokumen-dokumen hukum perang internasional

Presentasi Mahasiswa terkait dengan penyelesaian sengketa dengan kekerasan

Meeting V
Penegakan Hukum Perang berdasarkan Konvensi Jenewa III tentang tawanan perang
Menganalisis kasus-kasus yang berkaitan dengan Konvensi Jenewa III
referensi: Komentar ICRC dan dokumen-dokumen hukum perang internasional

Presentasi Mahasiswa terkait dengan tawanan perang

Meeting VI
Menganalisis norma-norma hukum yang ada didalam Konvensi Jenewa IV tentang pihak-pihak yang dilindungi dalam hukum perang.
referensi: komentar ICRC dan dokumen-dokumen hukum perang internasional

penyerahan essay/paper mahasiswa

Minggu, 13 Februari 2011

Negosiasi dan Mediasi

PENYELESAIAN SENGKETA SECARA DAMAI
Al Khanif, S.H., M.A., LL.M


Ketentuan mengenai cara-cara penyelesaian secara damai diatur didalam Piagam PBB Pasal 2 ayat (3) yang menyatakan bahwa ‘setiap negara anggota harus menyelesaikan sengketa internasional dengan cara-cara damai sehingga perdamaian dan keamanan internasional tidak terganggu.’ Ketentuan ini ditegaskan lagi oleh Deklarasi 1970 tentang Prinsip-Prinsip Hukum Internasional mengenai Hubungan Baik antar Negara dengan menyatakan ‘setiap negara sebisa mungkin menyelesaikan sengketa internasional dengan melakukan negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, maupun mekanisme penyelesaian hukum diwilayah regional.’

Namun hukum internasional tidak mengatur metode khusus dalam menyelesaikan sengketa internasional secara damai. Oleh karena itu setiap negara bebas untuk menentukan jenis mekanisme penyelesaian sengketa yang diinginkan. Meskipun demikian ada beberapa ketentuan mengenai metode ini didalam konvensi regional negara-negara seperti Perjanjian Amerika tentang Penyelesaian Damai (Pakta Bogota), Organisasi-Organisasi Negara Amerika tahun 1948, dan Konvensi Eropa tentang Penyelesaian Sengketa Damai,

NEGOSIASI
Mekanisme penyelesaian sengketa berdasarkan negosiasi melibatkan personel diplomatik negara-negara yang terlibat. Hal ini disebabkan mekanisme negosiasi pada dasarnya adalah untuk menyamakan pendapat mengenai konflik yang ada. Mekanisme negosiasi tidak melibatkan pihak ketiga seperti organisasi-organisasi regional maupun internasional semacam ASEAN atau PBB. Negosiasi merupakan cara penyelesaian sengketa yang paling memuaskan kedua belah pihak karena mereka selalu terlibat dalam negosiasi tanpa ada intervensi dari pihak diluar sengketa.

Satu hal yang bisa membahayakan mekanisme ini adalah kondisi sosio-politik di negara yang terlibat. Hal ini disebabkan karena sengketa selalu memunculkan anti trust di internal negara terhadap negara lain yang terlibat dalam sengketa tersebut. (Kasus Usman dan Harun)

Jika ternyata sengketa terus berlangsung dan bisa mengancam keamanan dan perdamaian internasional, maka pihak-pihak yang terlibat harus berusaha untuk menggunakan cara-cara penyelesaian lainnya yang melibatkan pihak ketiga seperti institusi regional maupun internasional.

MEDIASI DAN JASA-JASA BAIK
Mekanisme ini melibatkan pihak ketiga baik perseorangan, negara, sekelompok negara, atau organisasi internasional untuk menekan para pihak yang bersengketa maju ke meja perundingan. Namun penekanan yang dilakukan hanya untuk membujuk negara-negara yang terlibat sengketa untuk menyelesaikan sengketa berdasarkan kemauan dan kesepakatan mereka sendiri. Sedangkan mekanisme penyelesaiannya tidak diatur secara khusus.

Teknisnya, jasa-jasa baik menekankan pentingnya pihak ketiga untuk mempengaruhi pihak yang berlawanan untuk melakukan negosiasi sedangkan mediasi menerapkan partisipasi aktif didalam proses negosiasi yang melibatkan negara ketiga. Artinya, jasa-jasa baik digunakan oleh salah satu negara yang terlibat untuk mempengaruhi negara lain yang terlibat sengketa. Salah satu contoh penggunaan jasa-jasa baik adalah yang dilakukan oleh Uni Soviet dalam mendamaikan India dan Pakistan pada tahun 1965. Selain itu juga keterlibatan Sekretaris Negara Amerika dalam Konflik Timur Tengah 1973-1974 dengan cara menawarkan proposal perdamaian (road map).

Meskipun Jasa-Jasa Baik pada umumnya melibatkan negara, namun Sekjend PBB juga bisa terlibat dalam mekanisme tersebut. Contohnya keterlibatan Sekjend PBB di Afghanistan 1988 dimana berdasarkan Perjanjian Genewa, Sekjend PBB bisa menggunakan jasa-jasa baiknya kepada negara-negara yang terlibat. Selain itu juga ada Resolusi Dewan Keamanan PBB No. 367 (1975) yang meminta Sekjend PBB untuk menyelesaikan Konflik Siprus. Keterlibatan Sekjend PBB dalam menyelesaikan sengketa internasional berdasarkan jasa-jasa baik juga bisa melibatkan perwakilan dari organisasi-organisasi regional.