Senin, 30 Januari 2012

NEGARA YANG TERSESAT



Salah satu isi laporan dari lembaga Penelitian ‘Pew Forum’ yang berbasis di Washington DC menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai skor sangat tinggi untuk kategori Indeks Pembatasan Negara (Government Restriction Index/GRI) dan Indek Kekerasan Sosial (Social Hostility Index/SHI) menyangkut kebebasan beragama di Indonesia. Penelitian yang dikeluarkan pada akhir 2011 tersebut menempatkan Indonesia dalam peringkat 10 teratas untuk kategori GRI dan 6 untuk kategori SHI.

Tingginya dua kategori tersebut menunjukan bahwa ada pembatasan kolektif terhadap agama-agama yang dianggap menyalahi aturan main atau mengganggu kenyamanan kelompok-kelompok agama mayoritas. Negara dengan kekuasaannya menggunakan instrumen hukum untuk melarang agama yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan. Sedangkan agama mayoritas menggunakan otoritas pemahaman keagamaan mereka untuk melakukan kekerasan. Seringkali juga terjadi perselingkuhan antara negara dan kelompok mayoritas karena masing-masing diuntungkan.

Siapa Sesat?
Kebesaran Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari pluralitas masyarakat, agama  dan budayanya melainkan juga keberhasilannya dalam menghadapi gejolak berbangsa dan bernegara. Para pendahulu bangsa ini begitu arif dalam menyikapi perbedaan meskipun konsekuensi dari konsensus nasional yang dihasilkan terasa begitu menyakitkan. Pluralisme tidak hanya sebatas slogan melainkan dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu tidak ada gejolak sosial dalam merespon hilangnya aturan mendasar dari Piagam Jakarta dari konstitusi. Mereka sadar bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya didapat melalui lumuran darah satu orang pejuang melainkan buah dari perjuangan pemikiran banyak golongan.

Gejolak sosial ketika Pancasila dijadikan asas tunggal oleh Orde Baru tidak berubah menjadi tindakan anarkhis sampai menelan korban jiwa. Karena semua percaya bahwa Pancasila adalah yang ideologi terbaik bagi kesatuan bangsa. Mereka sadar bahwa Pancasila adalah cermin yang harus dilihat untuk membaca dan memahami Indonesia. Semua persoalan baik yang menyangkut duniawi ataupun agama harus harus tunduk kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa.  

Demonstransi pada waktu menolak pengesahan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 pun tidak rusuh. Padahal pemberlakukan undang-undang tersebut bisa dianggap menghina Islam. Betapa tidak, perkawinan menjadi sah jika telah didaftarkan ke negara. Jadi perkawinan yang sudah sah menurut Islam belum sempurna ketika belum diketahui oleh negara. Perceraian pun belum dianggap sah jika tidak ada keputusan dari pengadilan. Ketentuan Islam tentang ‘talak’ yang selama ini menjadi hak milik kaum laki-laki juga diingkari.

Jika dicermati, dua hal tersebut tidak hanya menodai ajaran Islam melainkan negara sudah mengingkari kebenaran Islam. Ketentuan mengenai penyempurnaan perkawinan dan pengesahan tentang perkawinan dan perceraian oleh negara tidak ada bedanya dengan ‘meragukan’ ajaran Islam. Islam dianggap kurang sempurna sehingga negara harus mengintervensi aturan main yang ada didalamnya. Padahal Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam.

Akan tetapi kenapa kelompok yang selama ini mengatasnamakan Islam justru tidak mau melakukan uji materi terhadap undang-undang tersebut? Jika mau adil, mereka keliru jika hanya memusuhi segelintir anak bangsa Indonesia seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, GKI Yasmin dan kelompok-kelompok berbeda lainnya. Penghinaan atau pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak sebanding yang dilakukan oleh pemerintah karena semua umat Islam di Indonesia harus menaati peraturan tersebut. Kelompok minoritas hanya berusaha untuk mempertahankan eksistensi mereka di Indonesia dan tidak pernah meragukan konstitusi maupun ideologi bangsa.

Pemberlakukan peraturan tersebut juga menunjukan bahwa negara tidak memahami definisi mengenai penodaan agama. Jika mau adil, seharusnya undang-undang perkawinan itu juga harus disamakan dengan pasal 156 KHUP dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Bahkan jika perlu undang-undang tentang perkawinan tersebut dihapuskan karena mengingkari tata cara perkawinan dalam Islam. Islam tidak mengatur mengenai pencatatan perkawinan atau pengesahan perceraian oleh pengadilan dari negara yang tidak memberlakukan Syariah Islam. Lalu, siapa yang sebenarnya sesat dalam hal ini?

Kendali ideologi
Kebingungan pemerintah dalam memaknai penodaan agama menunjukan bahwa ideologi dan konstitusi sebagai kendali negara telah kehilangan kuasanya. Pancasila sebagi the living ideology layak untuk dipertanyakan lagi karena ternyata tak kuasa melawan otoritas tafsir keagamaan yang diberlakukan oleh kelompok mayoritas. Seringnya suara-suara sumbang agama yang mengalahkan ideologi dan konstitusi menjadi penanda bahwa konsensus bersama bangsa Indonesia yang dibuat oleh para pendiri bangsa mulai terancam punah.

Pernyataan Menteri Agama dan pemahaman kolektif masyarakat Islam bahwa Syiah atau Ahmadiyah bukanlah Islam juga mencerminkan bahwa bahwa bangsa ini benar-benar telah tersesat. Seorang petugas negara melarang kebebasan warganya tanpa melihat konstitusi dan ideologi menjadi bukti betapa Pancasila hanya sebagai simbol keberadaan Indonesia yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa. Padahal salah satu ciri ideologi adalah kekuatannya untuk mempengaruhi perilaku dan pemikiran sebuah bangsa yang memberlakukannya.

Indonesia harus meniru Turki yang dengan tegas menerapkan ideologi meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Ideologi sekuler Turki yang melarang semua simbol agama di ruang publik tentu berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap hak beragama karena mayoritas penduduk Turki adalah Islam. Bahkan Turki berani menurunkan presiden Necmettin Erbakan pada tahun 1996. Alasannya karena dia beserta partai pengusungnya, Partai Refah sebagai pemenang pemilu ingin mengganti ideologi sekuler Turki dengan Syariah Islam.

Indonesia juga harus menghidupkan kembali konstitusi sebagai pijakan hukum  agar norma derivatif yang berada dibawahnya bisa bersinergi sehingga masyarakat akan selalu melihat konstitusi sebagai landasan berfikir. Hukum harus hirearkhis tanpa ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk melindungi kekuasaan dan kenyamanan kelompok-kelompok tertentu. Karena pemanfaatan peraturan yang ditujukan bukan untuk kepentingan bangsa justru akan menyesatkan bangsa itu sendiri.



Selasa, 24 Januari 2012

HARIMAU ITU TERNYATA PROFESOR

Mimpi bukanlah sesuatu yang tabu dalam agama. Sejarah kelahiran Islam pun juga tidak bisa dilepaskan dari mimpi. Beberapa wahyu yang diterima oleh Nabi Muhammad juga melalui mimpi. Oleh karena itu ada beberapa buku tentang Tafsir Mimpi berdasarkan ajaran Islam. Sejarah para nabi juga terkait dengan mimpi seperti Nabi Musa dengan Firaun. Jadi percaya terhadap mimpi boleh-boleh saja asalkan tidak sampai menjadikan manusia mengingkari kekuasaan Tuhan.

Didalam kepercayaan Jawa, mimpi dipercaya sebagai pertanda. Pertanda terebut bisa baik atau buruk yang akan menimpa sang pemimpi. Tergantung dari mimpinya. Para ahli filusuf Jawa kuno seperti Jayabaya juga bisa meramalkan masa depan Indonesia juga karena dari kekuatannya mengolah bathin dan pikiran untuk menafsirkan fenomena mimpi yang dia alami. Ada banyak pertanda dalam mitologi mimpi Jawa. Misalnya, jika mimpi melihat binatang buas akan mendapatkan berita baik, jika melihat bencana alam akan mendapatkan rejeki, jika hanyut dalam air bah baik air sungai maupun laut akan mendapatkan berita buruk, jika mimpi memotong rambut akan gagal mendapai cita-citanya dan lain sebagainya.

Mimpi dalam psikologi dimaknai sebagai sebuah aktifitas otak bawah sadar yang bekerja selama 24 jam. Jadi dalam pasikologi mimpi adalah sesuatu fenomena yang nyata dan seharusnya setiap manusia yang mempunyai mimpi harus bisa menerjemahkan arti dari mimpi tersebut. Oleh karena itu orang yang bisa menafsirkan mimpi dengan tepat sudah bisa memaksimalkan indera keenam  atau "the sixth sense" nya.  
Nah, mungkin tiga alasan itulah yang sampai saat ini dipercayai Parto untuk selalu menafsirkan mimpi-mimpi yang dia alami. Dia percaya bahwa sebagai manusia normal pasti akan selalu bermimpi. Jadi kalau tidak percaya pada mimpi berarti manusia tersebut sebenarnya telah kehilangan bagian dari sejarahnya sebagai manusia. Namun Parto yang jebolan Pesantren sekaligus banyak membaca buku-buku psikologi tidak percaya begitu saja dengan mimpi yang dia alami. Jika ternyata mimpinya berarti buruk, maka dia tidak mempercainya. Namun dia percaya mimpi tersebut akan membawa kebaikan, dia akan sangat mempercayainya. 

Jadi Parto berusaha menggabungkan mitos Jawa karena dia terlahir sebagai orang Jawa namun dia tidak sampai mendewakan mimpi karena mimpi hanyalah bagian dari kehidupan yang diberikan Tuhan kepadanya.    Selain itu, penolakannya terhadap tafsir mimpi yang jelek dimaksudkan untuk menghilangkan sugesti negatif yang dalam psikologi katanya bisa menghasilkan perilaku dan pemikiran yang negatif pula. 
Mimpi juga tidak mengenal tempat. Orang bisa mimpi dimana saja dan kapan saja. Oleh karena itu Parto pun juga masih bisa bermimpi ketika tidur di London dan hampir tiap malam dia bermimpi dalam tidurnya. 
Suatu malam dia bermimpi melihat seekor harimau yang sangat besar dan mengejarnya. Dia lari sampai akhirnya tercebur ke sungai yang sungainya keruh dan sangat deras. Harimau tersebut masih tetap mengejarnya dan ikut menceburkan dirinya ke sungai tersebut. Parto pun berusaha menyelam sambil berenang dalam air agar sang harimau kehilangan jejak. Kemudian Parto muncul lagi ke permukaan air, ternyata harimau itu masih berada di belakangnya. 

Akhirnya Parto dengan sekuat tenaga berusaha untuk menepi. Tapi karena aliran sungainya sangat deras maka dia kesulitan. Dia tetap berusaha dan tidak menghiraukan Harimau yang mengejarnya. Yang penting dalam pikirannya adalah menepi dan selanjutnya berlari secepatnya. Mumpung harimau itu masih berenang dibelakangnya. 

Setelah beberapa lama terhanyut dalam aliran air sungai dan sambil berusaha menepi, akhirnya Parto berhasil meraih akar-akar pohon yang banyak tumbuh di bibir sungai tersebut. Diraihnya akar-akar tumbuhan tersebut dan dia berlari sekuat tenaga untuk menjauh dari sungai dan harimau yang mengejarnya.
Tak terasa olehnya bahwa nafasnya terengah-engah karena kecapaian. Setelah dia berlari cukup jauh....tiba-tiba dia terbangun dari tidurnya. Dilihatnya jam yang ada di hpnya telah menunjukan jam 6 pagi. 
Ahh, lagi-lagi aku bermimpi...gumam Parto dalam hati. 

Tapi dia masih berbaring sambil menerawang melihat keatas dan tidak lekas beranjak dari tempat tidurnya. Ada dua hal yang ada dalam pikirannya. Kenapa harimau itu mengejarnya dan kenapa dia sampai harus tercebur dalam sungai yang alirannya deras dan airnya keruh. Parto yang sudah seringkali menafsirkan mimpinya pasti sedang berfikir keras tentang terceburnya dia ke sungai tersebut. Dia percaya bahwa jika dia tidak bisa menggapai akar-akar pohon dan kemudian keluar dari sungai, maka dia akan mendapatkan kegagalan yang besar. Mungkin dia tidak akan lulus studi doktoralnya. 

Keberhasilannya keluar dari sungai juga tidaklah mudah. Dia perlu waktu yang lama dan energi yang luar biasa. Parto yakin akan ada berita yang akan membenani dirinya namun dia juga percaya bisa keluar dari beban tersebut.

Barulah Parto sadar bahwa hari itu dia ada janji dengan pembimbingnya, Profesor Mashood Baderin di sore hari. Dia harus bersiap untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan muncul selama diskusi dengannya. 

Sore hari tepat jam 15.00 waktu SOAS, Parto sudah berada di SOAS dan langsung menuju ke kantor Profesor Mashood Baderin, seorang pofesor berkebangsaan Nigeria yang sudah banyak dikenal oleh pemerhati hak asasi manusia. Hari itu adalah pertemuan pertama Parto dengan sang profesor. 
Assalamualaikum.......Parto masuk ke ruangan Profesor Mashood yang pintunya tidak ditutup.
Waalaikumsalam, silahkan duduk!! jawab Profesor Mashood yang penampilannya lebih mirip seperti penyanyi jazz karena dia hanya memakai kaos yang dirangkap dengan jaket tanpa lengan. 
Dalam pertemuan itu Parto hanya menjelaskan rencana penelitian doktoralnya dan beberapa hal yang sudah dia bicarakan dengan Profesor Menski beberapa hari lalu. Lalu Profesor Mashood hanya menekankan bahwa penelitian itu adalah miliknya Parto. Dia tidak berhak untuk mengubahnya namun hanya memberikan saran perbaikan terhadap bagian-bagian yang musti diperbaiki. 

Dalam pertemuan yang tidak lebih dari 20 menit tersebut, lalu Parto memberanikan diri untuk bertanya mengenai rencananya untuk melakukan upgrading atau peralihan status dari mahasiswa doktoral menjadi kandidat doktor. Untuk dialihkan statusnya, mahasiswa cuma diminta untuk menulis bab pertama dari disertasi yang biasanya hanya berisi pendahuluan, metodologi penelitian dan kerangka teori dalam jumlah sekitar 10.000 kata. Parto tentu merasa yakin bisa memenuhinya walaupun harus kerja keras.
Apakah saya bisa melakukan upgrading status saya bulan Juni ini Prof? tanya Parto singkat dan padat. 
Heemmm....Profesor Mashood tidak langsung menjawab namun justru Parto sendiri yang menjawab pertanyaan tersebut.

Tergantung ya prof!? Parto menyela keheningan Prof Mashood. 

Iya, tergantung dari kemajuan yang kamu lakukan. Jawab Profesor Mashood. Seketika itu juga Parto menjadi sangat senang karena kalau bekerja keras pasti angka 10.000 itu sangat mudah apalagi Parto sudah terbiasa menulis. Cuma membacanya yang agak berat karena model tulisan disertasi di Inggris banyak diisi oleh kutipan-kutipan. Nyaris tidak ada ruang untuk plagiarisme. 

Namun sebenarnya aturan disini..kalau mau upgrade status itu normalnya butuh tiga semester. Jadi saya tidak tahu pasti bagaimana tentang status upgrade kamu karena kamu mulai bulan Januari 2012. Berarti kalau menuruti prosedur kamu bisa upgrade di bulan Oktober 2012. Profesor Mashood menjelaskan kasus yang diajukan Parto dengan tidak begitu yakin. Mungkin karena dia kasihan atau karena memang belum pernah ada mahasiswa yang seperti Parto, ingin upgrade hanya dalam waktu enam bulan.


Tapi yang penting kamu email saya tentang proposal risetmu beserta kerangka disertasi. Nanti baru kita bisa konsultasi lebih jauh secara bebas. Profesor Mashood menjelaskan dua hal tersebut untuk menegaskan bahwa semua masih bisa terjadi.


"Ok, kalau begitu besok akan saya email dokumen-dokumen yang diperlukan." Jawab Parto. 
Dan pertemuan itu pun berakhir. Parto menyimpulkan bahwa tasfir mimpi yang dialaminya malam kemarin telah terjawab. Ternyata dia memang dihadapkan dalam situasi yang tidak begitu menguntungkan, namun juga belum tentu merugikan. Dia meyakini bahwa Harimau dalam mimpinya tersebut adalah Profesor Mashood Baderin yang belum memberikan jawaban yang pasti sehingga dia harus bekerja keras dulu untuk menyelesaikan kerangka teori dan metodologi penelitian dalam disertasinya.


London, 24 Januari 2012


Sabtu, 21 Januari 2012

PROFESOR...AGAMAMU APA?


Parto sangat beruntung belajar di SOAS. Kampus ini terkesan tidak angker bagi mahasiswa asing karena ragam kulit dari mahasiswa dan ilmuwannya sangat beragam. Namun dia juga masih belum lupa akan kejadian kartu masuk surganya yang sangat menakutkan.

SOAS menawarkan keunikan tersendiri bagi mahasiswa internasional. Tidak hanya dari kajian namun juga pembimbingnya. Banyak pembimbing yang bukan asli dari Inggris, mereka adalah professor-profesor ternama dari berbagai negara yang sengaja direkrut oleh SOAS. Ada yang dari India, Afrika, Timur Tengah, China, Jepang dan negara-negara Eropa lainnya. Oleh karena itu Parto tidak merasa terintimidasi oleh bahasa.

Namun Parto masih mengelus dada dan berfikir keras, “Kenapa dari sekian banyak professor disini tidak ada yang dari Indonesia..”

Oleh karena itu Parto berhayal suatu hari nanti dia akan menjadi professor tamu yang mengajar di SOAS. Jabatan professor sangat istimewa di SOAS. Tidak hanya karena gajinya yang tinggi, namun juga haknya untuk meneliti yang sangat didukung oleh kampus. Tak heran jika semua professor di SOAS punya karya ilmiah yang sangat banyak.

Salah satunya dalah Profesor Mashood Baderin, seorang ahli hukum Islam yang kepakarannya tidak hanya diakui di dunia Islam melainkan juga di dunia internasional. Parto sangat beruntung karena Profesor Baderin menjadi supervisornya. Dia juga mendapat supervisor kedua, yakni seorang profesor yang sangat ahli di bidang perbandingan hukum, yakni Profesor Menski. Dia orang Inggris asli. Namun logat bahasanya sudah tidak menunjukan logat Inggris yang susah dipahami melainkan sudah seperti orang non Inggris. Bahasanya begitu mudah dipahami karena logatnya justru lebih mirip logat orang Perancis. Justru perubahan logat tersebut menunjukan kalau Profesor Menski benar-benar telah mendunia karena dia telah melanglang buana ke berbagai negara khususnya Asia Selatan.

Profesor Menski adalah seorang yang begitu hangat bagi Parto. Bahkan ketika pertama kali bertemu dengan Parto di ruang kerjanya, Profesor Menski rela memberikan buku karangannya tentang Perbandingan Hukum Internasional kepada Parto secara gratis. Padahal buku tersebut sangat tebal dan tentu sangat mahal untuk ukuran dompet Parto. Dengan beasiswa yang pas-pasan tentu mendapatkan buku di Inggris merupakan anugerah yang luar biasa.

Buku yang beredar di Inggris semuanya asli. Harganya pun juga sangat mahal. Rata-rata buku teks untuk bidang hukum harganya bisa mencapai 500ribu. Kalau buku tersebut laris bahkan bisa mencapai 1 juta rupiah.

Oleh karena itu, sambutan Profesor Menski yang memberikan bukunya menjadi kenangan tersendiri bagi Parto. Apalagi Profesor Menski bilang bahwa buku itu adalah hadiah bagi Parto yang sudah rela datang jauh-jauh dari Indonesia.

Tidak hanya itu, dengan logatnya yang khas seperti orang non British, Profesor Menski mempersilahkan Parto untuk datang ke kantornya kapanpun juga. Dia juga akan meminta koleganya yang sekantor dengannya untuk menerima Parto. 

"Semua orang disini tidak menghendaki kamu disini To. Tapi kamu istimewa dan kamu telah membayar iuran kampus, maka kamu boleh kesini kapan saja. Kamu boleh membaca semua referensi yang ada disini".

Profesor Menski begitu bersemangat mengatakan hal tersebut kepada Parto yang masih malu-malu untuk menjawab. Parto cuma mesam-mesem dan melihat sekeliling ruangan kantor seukuran 4x4m yang dinding-dindingnya dipenuhi dengan buku yang tertata rapi.

“Terima kasih Profesor. Ini merupakan utang saya kepada Profesor Menski karena saya harus bekerja keras untuk bisa mendapatkan karya terbaik.” Jawab Parto sambil mengangguk-anggukan kepala tanda hormat.

“Ya, saya sangat berharap kamu bisa menerbitkan disertasimu temanya sangat menarik.” Jawab Profesor Menski diplomatis.

“Hemm… Lalu apakah saya boleh bertemu dengan Profesor Baderin? Tanya Parto ragu-ragu. Dia khawatir pertanyaan ini akan menyinggung perasaannya.

“Ya..ya, kamu memang harus bertemu dengan Profesor Baderin karena dialah pembimbingmu yang pertama. Saya Cuma pembimbing kedua. Saya tidak berhak untuk menentukan langkah selanjutnya.”

Parto tidak langsung merespon jawaban Profesor Menski begitu bersahaja. Jauh dari kesan menyeramkan yang selama ini dia dengar tentang professor-profesor di Indonesia. Boro-boro ngasih buku, ditelpun baik-baik aja kadang professor Indonesia bisa mengeluarkan tanduknya. Bahkan kalau memberikan saran juga seenaknya saja.

“Terima kasih Profesor. Saya besok akan menghubungi Profesor Baderin untuk minta bertemu. Semoga beliau tidak sibuk.” Jawab Parto.

Perbincangan Parto dengan Profesor Menski membuat dia tergagap oleh dua realita yang saling berseberangan. Di Indonesia, mahasiswa biasanya akan tunduk kepada professor karena dialah pemilik menara gading. Tak sembarang orang yang boleh naik keatasnya tanpa seijinnya. Apalagi kalau naik tanpa permisi, bah!! Bisa dikatakan tak bermoral, tak punya sopan santun dan sumpah serapah lainnya. Bahkan ada professor yang menyalahkan tata cara berbusana mahasiswa yang dianggap kurang sopan.

Tapi disini, dialah yang seakan-akan berada di menara gading itu. Dia merasa menjadi manusia dan mahasiswa seutuhnya karena dilayani dengan sepenuh hati. Disinilah nurani santrinya keluar lagi…..lalu kenapa dulu waktu masih belajar di sekolah guru seakan-akan tidak pernah salah dan tidak mau disalahkan. Guru juga harus dilayani dengan baik. Bukankah mereka itu semuanya adalah orang Islam yang seharusnya mengerti tentang sopan santun yang diajarkan dalam Islam?

Dalam perjalanan pulang dari pertemuan tersebut, Parto berfikir keras dan ingin mengetahui apa agama yang dianut oleh Profesor Menski!!!

London

TENGGELAM DI PUSARAN BUMI

Eropa Barat dalam konteks hak asasi manusia ibarat Ka'bah, begitu sakral. Kesucian tersebut tidak hanya terkait dengan praktik hak asasi manusia yang sudah berjalan baik di berbagai kawasan tersebut melainkan juga perdebatan yang lahir dari para pemikir dari kawasan ini begitu mempengaruhi ilmuwan kontemporer. Sebut saja misalnya ahli filsafat Kant, John Rawl, Stuart Mill, Isaiah Berlin dan banyak lagi. Selain itu, kritik dari banyak ilmuwan terhadap isu-isu mutakhir yang terjadi di Eropa juga terus bermunculan. Mereka sangat kritis terhadap diskriminasi yang terjadi, bukan hanya yang menyangkut hak-hak warga pribumi namun juga kelompok minoritas seperti Muslim.

Muslim Eropa adalah salah satu minoritas yang seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif di beberapa negara Eropa. Kebijakan Nicholas Sarkhozy terhadap perempuan Muslim di Perancis banyak ditentang oleh negara-negara tetangganya. Arogansi Geerzt Wilders, seorang politisi beraliran radikal di Belanda juga menuai protes, tidak hanya oleh kalangan umat Islam, melainkan juga warga Belanda. Dinamika dan perdebatan itu begitu terbuka terhadap kritik dan tidak ada tindakan anarkhis terhadap kritik tersebut.

Itulah yang diimpikan oleh Parto. Dia yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar jika dinamika kehidupan Eropa dengan segala atribut positifnya bisa memperkaya khazanah keilmuan di nusantara.

Parto merupakan sosok yang ambisius untuk melihat ramalan Joyoboyo dimana dia meramalkan bahwa kelak Indonesia akan menjadi bangsa yang besar. Meskipun dia seorang santri, namun baginya tak ada salahnya mempercayai sebuah ramalan yang bisa membawa kebaikan. Toh dengan mempercayainya berarti dia akan berusaha untuk khusnuzon terhadap bangsa dan semua rakyat Indonesia.

Oleh karena itu Parto selalu haus akan perdebatan-perdebatan ilmiah untuk menguak tabir rahasia kemanusiaan yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Dia masih ragu apakah agama, terutama Islam yang selama ini diyakininya hadir sebagai biang keladi kerusuhan di negaranya, Indonesia. Ataukah hanya orang-orang yang berpikiran sempit saja yang menjebak agama dalam kepentingannya sehingga mereka berlaku anarkhis atas dasar agama.

Parto sangat ingin melihat bagaimana masyarakat Eropa menjembatani perdebatan antara agama dan paham sekularisme yang selama ini menjadi berkah di Eropa. Dia ingin tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa di Eropa, dimana orang Muslim menjadi minoritas, dia justru melihat Islam. Namun sebaliknya dia tidak melihat Islam di Timur Tengah meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pilihan Parto untuk belajar di Pusat Kajian Asia dan Oriental, atau lebih dikenal dengan singkatan SOAS, sebuah kampus elit di pusat kota London yang banyak mengkaji agama, budaya dan hukum di Asia dan Afrika memang sangat tepat. Namun kampus ini tidak layak disebut sebagai Kampus Inggris, lebih layak disebut sebagai markas berkumpulnya orang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai markas karena kampus ini begitu terasa sempit karena banyaknya mahasiswa yang dimilikinya. Padahal luasnya tidak lebih dari 2 hektar. Bangunan yang paling besar adalah perpustakaan, hampir memakan separo dari total luas wilayah kampus.

Perpustakaan SOAS merupakan perpustakan terbaik di Inggris khusus untuk koleksi Asia dan Afrika, bahkan mungkin di dunia sekalipun. Koleksinya tidak terbatas pada buku-buku berbahasa Inggris melainkan buku dari berbagai bahasa seperti Bahasa Indonesia dan bahkan Bahasa Jawa. Dengan bangunan empat lantai yang dipenuhi dengan koleksi dari berbagai negara, perpustakaan SOAS seperti pusat gravitasi dunia dunia. Semua ada disitu dan tinggal milih mau pergi ke negara mana.

Mahasiswa SOAS juga didominasi oleh ras kulit berwarna dari Asia, Afrika dan Amerika. Oleh karena itu SOAS bisa dikatakan sebagai jembatan dunia karena disinilah pemikiran dari berbagai pakar bertemu dan didiskusikan. Perdebatan di SOAS sangat unik. Berbeda dengan kampus-kampus disekitarnya semacam LSE atau King College. Didalam berbagai kegiatan akademik, mahasiswa dan ilmuwan SOAS lebih mewakili suara-suarat negara-negara berkembang. Islam diproyeksikan sebagai sebuah agama yang damai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, Afrika mempunyai sistem hukum tersendiri yang harus diberi ruang untuk berbicara, Asia dengan kompleksitasnya menunjukan khazanah budaya yang harus diperhatikan.

Kajian mengenai monisme atau sistem tunggal yang merujuk pada budaya Eropa berusaha diruntuhkan oleh para ilmuwan SOAS. Mahasiswa juga dianjurkan untuk melihat realitas yang ada di negara-negaranya untuk mengkaji penelitiannya dan menghimbau bahwa mekanisme internasional merupakan pilihan kedua.
    
Disinilah Parto mulai kebingungan. Baru tiga tahun lalu dia lulus dari Manchester dan mulai mengenal tentang hak asasi manusia yang berkiblat di Eropa Barat dan Amerika. Ketika itu dia sangat yakin bahwa itulah mekanisme paling sempurna untuk memperbaiki dinamika kemanusiaan di Indonesia. Lalu kini dia diminta untuk kembali melihat Indonesia. Bagaimana Pancasila harus dibumikan dan bagaimana UUD 45 yang lolos dari jebakan maut Piagam Jakarta harus direvitalisasi lagi, bukan diingkari begitu saja dalam menegakan hak asasi manusia.

Dan Parto pun mulai tenggelam dalam pusaran arus yang terus menyeretnya dalam gua-gua pertanyaan yang begitu terasa gelap. Dia tidak yakin kapan akan keluar dari gua-gua tersebut dan kalaupun toh bisa keluar, dia juga tidak yakin apakah dunia yang dia lihat bisa terlihat jelas atau justru semakin samar-sama.

London, 21 Januai 2012

 

Kamis, 12 Januari 2012

KARTU MASUK SURGA


Sekelumit pengalaman yang mengesankan di SOAS, University of London. 

Kemarin, Hari Senin sehabis dapat kartu perpus, besoknya (Selasa) saya mau masuk ke SOAS ternyata ga bisa. Aku bolak balik kartu tersebut diatas kaca pembaca tetap ga ada tanda panah. Petugas yang duduk di pintu masuk itu kan ga pernah tersenyum. Kemudian dia melihat aku yang kebingungan karena meskipun kartu telah ditempelkan ke kaca pembaca di pintu masuk, ee...ternyata ga bunyi 'tit' alias pertanda pintu terbuka....
Aku melihat ke orang tersebut sambil membolakbalikan kartu!!

You did it correct..., dia berkata dengan ketus sambil melihat kearahku tanpa ekspresi. Seolah-olah dia sudah mengetahui kesalahanku tapi tidak mau mengatakannya.
"You did it correct!" dia menambahkan lagi seakan tidak sabar ingin cepat menyelesaikan kejadian tersebut.

Aku seperti ikan yang terperangkap jaring, tidak tahu jalan keluar dan hanya bermain-main dengan berbagai macam pertanyaan.  Tapi belum sempat aku bertanya dia bertanya duluan;
What can i do for you? dengan suara cepat dan tanpa ekspresi. 
Jawabku, Why my card doesn't work? 
Tanpa ba bi bu petugas tersebut bertanya lagi, have your card been registered? Aku kebingunan karena ga tau apa yang dimaksud. Pikiranku kembali ke Hari Senin ketika aku register in person di Vernon Square dan kemudian aku mendapatkan kartu registrasi yang distempel empat kali dan kemudian kartu tersebut aku serahkan ke bagian pembuatan kartu di perpustakaan. Jadi aku bingung kenapa orang ini masih bertanya tentang registrasi kartu. Apakah registrasiku kemarin masih bermasalah sehingga aku belum bisa masuk. Padahal katanya kartu tersebut bisa digunakan straight away di perpustakaan dan menunggu beberapa menit untuk bisa digunakan di pintu masuk SOAS. Nah, bukankah 24 jam setelah aku mendapatkan kartu itu sudah lebih dari beberapa menit. Pikiranku masih belum bisa membongkar sistem dan teknologi yang begitu canggih di SOAS.

Eehmmm, i got this card yesterday...! Jawabku diplomatis. Ini jawaban klasik yang diajukan oleh kebanyakan orang Indonesia jika mereka tidak tahu persis jawaban atas sebuah pertanyaan.
Tapi alamak...ternyata diplomasi ala Indonesia itu tidak jalan di SOAS. Bahkan si petugas tersebut bertanya lagi dengan lebih ketus dan serius.
...Just answer "yes" or "no"! OMG.....
Aku benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan pertanyaan seperti itu. Karena ga mau berlarut-larut dan takut dimarahi, maka aku jawab saja, No Sir!

Kemudian petugas tersebut menunjuk ke sebuah buku registrasi yang diletakan disampingnya. Tanpa bergerak sedikitpun dari tempat duduknya dia berkata;

You should register here!  Dia juga menjelaskan apa saja yang harus aku tulis dibuku tersebut. Namun lagi-lagi dia tidak bergerak sedikitpun dari tempat duduknya.
Kemudian aku melihat ada beberapa nama yang sudah registrasi, lengkap dengan nomor induk mahasiswa dan nomor kartunya. Tanpa pikir panjang akhirnya aku isi mengikuti kolom-kolom yang disediakan.....

Tanpa aku sadari ternyata petugas tersebut melihat aku mengisi borang isian registrasi kartu tersebut.

You did it wrong.....You..did it wrong!! 
Dia mengatakan kalimat itu dua kali untuk menegaskan bahwa aku benar-benar telah membuatnya kesal. Tapi pikirku, aku malah lebih kesal lagi karena orang itu karena dia tidak mau membantu sama sekali.
Dia ambil kartuku dan kemudian mengisikan data-dataku kedalam borang isian registrasi tersebut. Setelah itu dia menempelkan sebuah benda, mirip dompet ke kaca pembaca di pintu masuk dan kemudian aku dengar bunyi yang paling aku sukai...."tit." Petugas tersebut akhirnya mempersilahkan aku masuk sembari masih mengisi data-dataku di borang tersebut. 

Akhirnya aku berhasil melewati pintu itu. Rasanya seperti berhasil melewati siratal mustakim, melewati neraka untuk membuka pintu surga.
Tapi, pikirku, Bagaimana caranya sebuah buku yang ditulis dengan tangan bisa mengidentifikasi kartu perpustakaan yang elektronik. Benda yang ditempelkan oleh si petugas itu juga ga bisa membaca kartuku karena aku tidak melihat dia memencet nomor atau men-scan kartu perpusku??? Ahh, aku kok seperti para pejabat Indonesia yang gagap dengan Mobil Esemka. Yang penting masuk dulu, perkara besok ada masalah atau tidak, itu perkara nanti.

Minggu, 08 Januari 2012

GOOD LUCK MR. GROSKY


Saya mendapat email dari teman saya sekitar tahun 2005 lalu, ternyata masih tersimpan di folder email saya. Berikut adalah isi dari email tersebut, sedikit bercanda tapi penuh makna. 

Pada tanggal 20 Juli 1969, komandan Apollo 11 Lunar Module, Neil Armstrong menjadi manusia pertama yang menjejakkan kakinya di Bulan.

Kata-kata pertamanya setelah menjejakkan kakinya adalah "That's one small step for man, one giantleap for mankind" yang disiarkan dan didengarkan oleh jutaan pemirsa TV di seluruh bumi. Kemudian persis sebelum dia kembali mendarat di bumi, dia melontarkan kalimat yang cukup menggelitik "Good Luck, Mr. Gorsky."


Pada saat itu, orang-orang di NASA berpikir itu hanyalah semacam sindiran halus untuk menunjuk rival mereka yaitu kosmonot- kosmonot Soviet. Namun, setelah dicek & ricek ... tidak ada nama Gorsky di badan antariksa Amerika maupun Soviet.



Bertahun-tahun setelah itu ternyata masih banyak masyarakat yang penasaran dan mempertanyakan arti kata-kata Armstrong "Good luck Mr. Gorsky". Tetapi setiap kali ditanyakan, Armstrong hanya tersenyum penuh arti. Pada tanggal 5 Juli 1995 di Tampa Bay, Florida, pada acara wawancara pers seusai pidato, seorang reporter kembali mengajukan pertanyaan yang sudah berusia 26 tahun itu kepada Armstrong. Saat itulah, pada akhirnya Armstrong merespon pertanyaan itu. Karena Mr. Gorsky telah 

wafat, Armstrong berani menjawab pertanyaan itu.


Ceritanya begini, pada tahun 1938 ketika Armstrong masih kanak-kanak, dia sedang bermain bola dengan tetangganya di kebun belakangrumahnya. Suatu ketika, temannya menendang bola terlalu keras sehingga bola itu mendarat di halaman sebuah rumah yang tidak jauh dari situ, dan berada persis di bawah jendela kamar tidur. Sang empunya rumah adalah Mr & Mrs Gorsky. Ketika Armstrong kecil sedang merunduk mengambil bola tersebut dia mendengar teriakan Mrs. Gorsky sedang marah ke Mr. Gorsky. Dan bentakan itu yang membuat Armstrong kecil tidak bisa melupakannya seumur hidup: "Sex! You want sex?! You'll get sex when the kid next door walks 

on the moon!"

lONDON, 8 JANUARI 2012

Jumat, 06 Januari 2012

PAROCHIALISME HUKUM DALAM PERADILAN SANDAL JEPIT





Sejarah hukum dan lembaga peradilan di Indonesia memasuki babak baru. Setelah menjadi mainan para mafia hukum, kini hukum dan payung suci penegak keadilan tersebut justru direndahkan oleh hakim. Betapa tidak, harga lembaga peradilan ternyata hanya senilai sandal jepit. Mereka juga menjual keadilan tidak lebih mahal dari setandan pisang, sekarung kapuk, ataupun seikat rumput. Putusan terhadap kasus-kasus tersebut menyiratkan bahwa lembaga peradilan mempunyai pemahaman yang ‘parochial’ atau sempit terhadap hukum sehingga mengakibatkan keadilan semu.

Alih-alih berniat menegakan keadilan, justru pemahaman hukum mereka yang sangat ‘parochial’ tersebut telah mendemonisasi keadilan. Masyarakat tak mempercayai lagi bahwa peradilan adalah payung suci keadilan. Tak salah jika kemudian ada kiriman sandal ke pihak kepolisian sebagai aksi protes terhadap peradilan sandal tersebut. Bahkan media asing juga ikut memberitakan tentang simbol baru keadilan di Indonesia berupa sandal!

Substansi
Saya tidak tahu apakah hakim yang memutus perkara pencurian sandal jepit tersebut tidak pernah membaca atau memang sengaja melupakan pentingnya memahami hukum secara holistik. Hukum harus dimaknai secara luas, tidak hanya seperti yang tertulis dalam perundang-undangan karena itu hanya sebagian kecil dari hukum. Hukum tertulis pada dasarnya bukanlah hukum yang dibuat oleh negara, melainkan hukum yang diterima oleh negara. Karena sifatnya yang pasif, maka negara tidak bisa serta merta memberlakukan hukum baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal dinamika masyarakat bergerak lebih cepat daripada hukum.

Dalam konteks kegaduhan hukum seperti sekarang ini, dimana kesalahan dan kebenaran semakin samar, lembaga pembuat perundang-undangan kehilangan integritas dan independensi lembaga peradilan mulai dipertanyakan, maka sudah seharusnya hakim mampu menggali hukum yang berkembang di masyarakat. Hukum memang harus tetap memperhatikan norma tertulis namun dimensi hukum yang tidak tertulis jauh lebih besar. Oleh karena itu, pemberitaan media massa, pengiriman sandal ke kepolisian dan penolakan masyarakat terhadap peradilan kasus pencurian sandal jangan dianggap angin lalu. Itulah hukum yang harus dipahami.

Pendapat yang meyakini bahwa hukum, hakim dan lembaga peradilan harus terbebas dari polusi sosial sejatinya telah mengalami rabun dini untuk melihat fenomena hukum yang sebenarnya. Mereka juga buta jika hanya menganggap bahwa hukum adalah apa yang tertulis. Anggapan teresbut adalah penjajahan terhadap hukum sehingga dinamika gerak hukum di Indonesia tidak mampu merespon pelanggaran hukum yang ada. Tidak heran jika kemudian korupsi semakin menjadi-jadi dan modus operandi kejatan semakin beragam.

Memang hukum tertulis merupakan kekuasaan yang menciptakan dua pendulum besar di masyarakat, yakni adanya kepastian dan keamanan. Namun harus dimengerti bahwa yang suci dari hukum bukanlah aturannya melainkan nilai keadilannya. Oleh karena itu kekuasaan hukum yang diberlakukan selama ini telah mengakibatkan kegagalan karena hanya memberikan ruang kepada pihak yang mampu bernegosiasi dan mengabaikan pihak lain.

Hukum tertulis memang bagus untuk urusan bisnis. Namun ketika harus berhadap-hadapan dengan realitas kemanusiaan, maka keadilan harus dicari diakarnya, bukan hanya melihat hukum yang ada di cabang atau ranting pohon yang berupa tulisan norma-norma hukum dalam perundang-undangan.  Hal ini penting untuk melihat kejahatan sebagai sebuah realitas plural karena terkait dengan berbagai dimensi. Begitu pula putusan pengadilan terhadap kejahatan tersebut seharusnya juga melihat berbagai faktor yang ada.

Hukum juga harus dibedakan antara hukum sebagai sebuah disiplin peraturan dan hukum sebagai sebuah aktifitas. Oleh karena itu proses mengadili lebih penting daripada hukum yang tertulis dan itulah sebabnya hakim mempunyai kekuasaan mutlak untuk menafsirkan hukum. Namun jika sang penafsir mempunyai kedangkalan pengetahuan, maka yang terjadi adalah parochialisme hukum yang berdampak pada kegagalan untuk menciptakan keadilan substantif.

Pluralisme Hukum
Hakim harus mengentahui bahwa hukum ada dimana-mana, selalu dinamis dan mengikuti perkembangan sosial di masyarakat. Meminjam istilahnya Prof Menski (2006), hukum seperti layang-layang, selalu terbang mengikuti angin dan tidak statis karena hukum hidup dalam masyarakat. Jika kita merasa tidak menemukan keadilan dalam hukum tertulis, sudah seharusnya kita mencari dimensi lain hukum yang belum terungkap.

Memahami hukum tidak bisa lepas dari tiga elemen dasar, yakni aturan tertulis atau dimensi normatif, kondisi sosial masyarakat sebagai dimensi sosio-legal dan etika, moralitas dan nilai-nilai agama sebagai dimensi hukum alam. Ketiga elemen tersebut membentuk sebuah dinamika gerak yang dinamakan pluralisme hukum dan menjadi alat utama untuk memunculkan keadilan substantif. Pluralisme hukum bisa menjawab teka teki integritas peradilan karena hakim tidak hanya mendasarkan putusan mereka dari norma tertulis, melainkan juga mengakomodir etika dan moralitas yang berlaku di masyarakat.

Pluralisme hukum di Indonesia sangat diperlukan mengingat infrastruktur hukum sudah kian lemah dalam merespon perilaku kejahatan. Mereka tidak hanya diserang dari luar melainkan juga digerogoti dari dalam sehingga menjadi seperti macan ompong di kebun binatang. Peradilan bukan sebagai prosesi hukum yang sakral melainkan seringkali hanya dijadikan tontonan dan masyarakat tidak menginginkan apapun dari peradilan itu kecuali sebuah akhir yang lucu.

Plurisme hukum juga diperlukan karena selama ini ada segregasi antara ahli hukum dan pengamat sosial. Pengamat sosial tidak percaya lagi dengan lembaga hukum yang dinilai terus menerus mendemonstrasikan parochialisme hukum sehingga menyebabkan penyempitan keadilan. Padahal jurang antara fenomena kejahatan dan pemahaman hukum semakin lebar dan bisa membahayakan terhadap tegaknya keadilan.

Lembaga peradilan tidak boleh terbelenggu oleh parochialisme hukum dengan hanya melihat dan memahami hukum tertulis karena hanya melahirkan prosesi hukum murahan seperti peradilan sandal jepit. Oleh karena itu hakim jangan hanya reaksioner, melainkan juga harus revolusioner dengan berani mematahkan tradisi penafsiran hukum positif demi menciptakan keadilan substantif.

 London, 6 Januari 2012