Minggu, 27 November 2011

WILAYAH-WILAYAH INTERNASIONAL

WILAYAH-WILAYAH INTERNASIONAL


Dalam hukum internasional, ada wilayah-wilayah yang bisa dikategorikan sebagai wilayah tak bertuan yang secara otomatis menjadi wilayah internasional. Tidak ada negara yang boleh mengklaim atau membatasi negara lain untuk memasuki wilayah tersebut.

Selat Internasional

Sebuah wilayah dikatakan sebagai selat internasional dan harus diperuntukan bagi navigasi internasional diantara laut lepas atau zona ekonomi ekslusif dua negara atau lebih. Menurut pendapat dari Pengadilan Internasional, selat internasional adalah situasi geografis sebuah selat yang menghubungkan dua laut lepas atau lebih sehingga menyebabkan wilayah tersebut secar otomatis menjadi navigasi internasional. Artinya, pelayaran dimaksudkan untuk melewati wilayah tersebut untuk menuju ke negara ketiga dan tidak dimaksudkan untuk memasuki wilayah negara yang mempunyai selat tersebut.

Pasal 16 (4) dari Konvensi Laut Teritorial 1958 mengatur bahwa tidak boleh ada penundaan atau larangan bagi pelayaran asing untuk memasuki wilayah selat yang ditujukan untuk navigasi internasional antara laut lepas yang satu dengan laut lepas lainnya.

Contoh kasus
Kapal perang Inggris pada tahun 1949 ditembaki oleh tentara Albania ketika melewati Terusan Corfu di Albania. Beberapa bulan kemudian, Pemerintah Inggris mengirim beberapa kapal perusak untuk dikirim ke Corfu dan dua diantaranya rusak parah karena menabrak ranjau laut yang dipasang oleh Tentara Jerman.

Pengadilan Internasional menegaskan bahwa pada waktu damai, negara-negara mempunyai hak untuk mengirim kapal perang mereka melalui selat yang ditujukan untuk navigasi internasional antara dua laut lepas tanpa adanya otorisasi/ijin dari negara yang mempunyai garis pantai di selat tersebut.

Dalam Kasus Corfu, pengiriman kapal perang Inggris ke selat Corfu melanggar jurisdiksi Albania meskipun pada kasus yang pertama, pelayaran kapal Inggris tidak melanggar hukum internasional.

Laut Lepas

Yang dimaksud dengan laut lepas adalah wilayah yang tidak boleh diklaim masuk dalam wilayah negara manapun. Pasal 87 dari Konvensi 1982 menyatakan bahwa laut lepas adalah wilayah terbuka untuk semua negara dan kebebasan yang ada didalam wilayah tersebut diatur didalam Konvensi dan hukum internasional. Yang termasuk dalam kebebasan didalam laut lepas adalah kebebasan untuk melakukan navigasi internasional, penerbangan yang melewati wilayah negara asal, pemasangan jangkar kapal selam, pemasangan pipa, pembuatan pulau buatan dan instalasi lain yang diperbolehkan dalam hukum internasional, memancing, dan untuk keperluan penelitian.

Pertanyaan mengenai kebebasan untuk melakukan navigasi internasional mulai muncul pasca Perang Irak – Iran dimana ada beberapa kapal sipil yang diserang oleh pemberontah maupun tentara yang terlibat perang. Namun para pihak yang bersengketa bisa melarang masuknya kapal-kapal sipil ke laut lepas yang berbatasan dengan wilayahnya jika ada alasan yang jelas.

Menurut Pasal 51 Piagam PBB, negara-negara yang sedang terlibat perang boleh membatasi atau melarang masuknya kapal-kapal sipil ke laut lepas yang berbatasan dengan wilayahnya untuk keperluan menjaga diri jika ternyata ada kecurigaan bahwa kapal-kapal tersebut turut serta dalam konflik. Jika ternyata kapal yang dicurigai tersebut ternyata tidak ikut dalam konflik, maka pemilik kapal bisa mengajukan kompensasi atas segala kerusakan yang ditimbulkan selama mendapatkan serangan maupun dampak ekonomis dari penundaan atau larangan tersebut.

Contoh Kasus:
Perancis pernah menggunakan wilayah Muroroa Atoll sebagai salah satu wilayah Perancis di Laut Pasifik Selatan. Australia sebagai negara yang berdekatan dengan wilayah tersebut menyatakan Perancis tidak mempunyai hak untuk melakukan uji nuklir karena bisa membahayakan kepentingan Australia. Apalagi pada waktu melakukan uji nuklir Perancis tidak memberitahukan terlebih dahulu kepada Australia. Pengadilan Internasional tidak memutuskan atas kasus tersebut.

Berdasarkan Perjanjian Larangan Uji Nuklir 1963, uji nuklir di laut lepas maupun di daratan tidak boleh dilakukan. Namun Perancis bukan negara pihak yang menandatangani perjanjian tersebut sehingga tidak terikat secara hukum. Meskipun demikian, pasal 88 dari Konvensi 1982 menyatakan bahwa laut lepas harus digunakan untuk kepentingan damai.

Minggu, 20 November 2011

WILAYAH LAUT

WILAYAH NEGARA
(Malcolm Shaw, 2005. Cambrigde: Cambridge Press: hal. 409-501)

Kedaulatan sebuah negara ditentukan (1) secara internal adanya supremasi pemerintahan dan (2) secara eksternal ditentukan oleh supremasi negara sebagai subjek hukum internasional. Supremasi pemerintahan ditandai dengan adanya kemampuan untuk mengatur warga negara dan semua hal kebutuhan domestik didalam negerinya. Selain itu juga kemampuan dari pemerintah untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain. Sedangkan supremasi negara sebagai subjek hukum ditandai dengan adanya pengakuan negara lain atas kedaulatan wilayahnya.

Tanpa wilayah, negara tidak bisa menjadi subjek hukum karena senyatanya negara tersebut tidak nyata. Wilayah adalah unsur fundamental sebuah negara sehingga secara hukum alam wilayah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari konsep kedaulatan negara dalam hukum internasional.

Kedaulatan wilayah mempunyai dua karakter dasar. Yang pertama adalah kedaulatan wilayah yang positif dimana dalam konsep ini negara harus mempunyai kemampuan untuk mengklaim dan menjaga wilayahnya secara berkelanjutan. Sedangkan konsep kedua adalah kedaulatan wilayah negatif dimana dalam konsep ini sebuah negara harus menghormati kedaulatan wilayah negara lain.

Wilayah Laut
Wilayah laut dibedakan kedalam tiga jenis, yakni laut dalam/internal, zona ekonomi ekslusif, dan laut lepas/high sea. Laut dalam meliputi semua wilayah air termasuk sungai dan laut yang masih menjadi bagian dari tepian daratan seperti sungai, selat, dermaga dan wilayah-wilayah lain. Wilayah laut dalam ini berbeda dengan wilayah laut dalam hukum internasional karena tidak memberlakukan keistimewaan terhadap kapal-kapal asing yang masuk dalam wilayah ini.

Secara umum, negara kepulauan boleh memberlakukan jurisdiksi hukumnya terhadap kapal asing yang masuk di wilayah laut dalamnya, meskipun otoritas hukum dari kapal tersebut (yang ditandai dengan bendera yang ada dikapal tersebut) ingin menyelesaikan permasalahan berdasarkan hukumnya sendiri. Kapal asing yang masuk dalam wilayah laut dalam secara otomatis harus tunduk kepada jurisdiksi hukum lokal dari negara yang bersangkutan, kecuali ada perjanjian khusus antar negara. Pengecualian lainnya juga diberlakukan terhadap kapal perang dimana jurisdiksi dari negara yang mempunyai kapal harus diberlakukan terhadap semua kru yang melakukan tindak pelanggaran hukum di kapal tersebut.

Contoh kasus:
Dalam Kasus R v. Anderson pada tahun 1868, pengadilan criminal Inggris menyatakan bahwa seorang warga negara Amerika yang membunuh didalam kapal berbendera Inggris di wilayah laut dalam Perancis menjadi subjek hukum nasional Inggris. Meskipun pada waktu kejadian dia berada didalam wilayah kedaulatan Perancis dan pengadilan Amerika dengan alasan kewarganegaraannya.

Kasus lainnya adalah yang menimpa Wildenhus, seorang warga negara Belgia yang membunuh warga negara Belgia lainnya di kapal berbendera Belgia di Pelabuhan Jersey City Amerika. Mahkamah Agung Amerika menyatakan bahwa Wildenhus harus diadili berdasarkan hukum nasional Amerika karena berada di wilayah laut dalam Amerika.

Pulau
Pulau diartikan dalam Konvensi 1958 tentang Wilayah Laut sebagai daratan yang terbentuk secara alamiah dan dikelilingi oleh lautan/air dengan ketentuan wilayah tersebut harus mempunyai wilayah laut, zona dekat, zona ekonomi ekslusif, dan landas kontinen. Sebagai pengecualian, pasal 121 (3) dari Konvensi 1982 mengatur bahwa sebuah pulau karang yang tidak bisa dihuni dan tidak mempunyai kehidupan ekonomi tidak mempunyai landas kontinen dan zona ekonomi ekslusif.

Senin, 14 November 2011

Konvensi Wina dan Kasus-Kasus Diplomatik

HUKUM DIPLOMATIK DAN KONSULER
MEETING I

Fungsi diplomasi adalah untuk memaksimalkan hubungan baik antar negara yang terus berkembang. Dalam kerangka kehidupan modern yang membutuhkan komunikasi serba cepat, maka diperlukan perwakilan diplomatik di negara-negara yang berdaulat. Namun perlu diperhatikan bahwa pendirian kedutaan atau konsuler di suatu negara sangat bergantung pada kepentingan negara yang akan melakukan hubungan diplomatik.

Beberapa negara bahkan mendirikan banyak konsuler untuk mendukung kepentingan negara di negara penerima. Konsul diperlukan karena tujuan utama pembentukan konsul adalah untuk mengembangkan hubungan antar negara khususnya dibidang perdagangan dan kepentingan-kepentingan lain diluar diplomatik.

Untuk mendukung kerja para perwakilan diplomatik, maka harus ada pemberian status khusus terhadap staff diplomatik. Hal ini menjadi salah satu isu yang kontroversial didalam hukum internasional karena seakan-akan ada negara didalam negara. Bahkan dalam keadaan tertentu, hukum nasional tidak bisa berlaku terhadap perwakilan diplomatik. Hal ini menunjukan bahwa pada kenyataannya unsur sovereignty atau kedaulatan sebuah negara masih dipertanyakan dalam konsep hukum internasional. Hal ini disebabkan karena negara penerima mempunyai tanggungjawab untuk melindungi unsur diplomatik dari kerusakan dan memperbaiki keadaaan tersebut.


Salah satu contoh kasusnya adalah Pendudukan Kedubes Amerika di Teheran Iran oleh demonstran pada tahun 1979. Pendudukan negara atau warga negara terhadap kantor diplomatik merupakan pelanggaran Negara Iran terhadap kedaulatan Amerika Serikat. Demonstran mencuri arsip data dan menyandera 50 staff diplomatik Kedutaan Amerika. Dan oleh karena itu, pada 1980, Pengadilan Internasional, berdasarkan ketentuan Konvensi Wina menyatakan bahwa Iran sebagai negara penerima berkewajiban untuk melakukan tindakan perlindungan terhadap konsulat dan diplomat Amerika jika ingin terus melangsungkan hubungan diplomatik dengan negara lain.

Beberapa Pasal Konvensi Wina
Pasal 3 dari Konvensi Wina menjelaskan bahwa fungsi utama dari misi diplomatik adalah untuk mewakili atau menjaga kepentingan dan warga negara dari negara pengirim. Selanjutnya Pasal 4 mengatur bahwa negara pengirim harus memastikan bahwa persetujuan sudah dikirimkan ke negara penerima mengenai nama diplomat yang akan bertugas di negara tersebut, termasuk alasan penolakan dari negara penerima.

Pasal 9 memberikan wewenang kepada negara penerima untuk memberlakukan persona non grata terhadap diplomat, meskipun tanpa alasan hukum apapun. Artinya, pemberlakukan persona grata tidak melanggar ketentuan didalam hukum internasional.

Pasal 27 mengatur bahwa negara penerima harus mengijinkan dan melindungi semua kepentingan misi diplomatik termasuk barang bawaan seperti tas (pasal 27 ayat 4) yang tidak boleh dibuka atas dasar alasan apapun. Syaratnya semua barang fisik tersebut harus mempunyai tulisan atau logo resmi diplomatik.

Kasus-Kasus

Ada beberapa kasus yang bisa dijadikan bahan kajian dalam hukum diplomatik. Diatanya adalah;
Kasus Resolusi DK PBB No. 748 (1992) tentang pemberlakuan sanksi terhadap pejabat diplomatik Libya kepada semua negara. Hal ini disebabkan karena Moamar Khadafi menolak untuk menyerahkan para pelaku bom Lockerbie yang menewaskan ratusan warga Amerika.

Yang kedua adalah Kasus Kampanye Kosovo 8 Mei 1999 dimana Kedutaan China di Belgrade secara tak sengaja dibom oleh pasukan Amerika. Pemerintah Amerika menyatakan secara resmi permintaan maafnya kepada China dan mengatakan bahwa peristiwa tersebut tanpa disengaja.

Pada Desember 1999, kedua negara menyepakati adanya kompensasi atas kerugian yang diderita oleh China sebesar 8 juta dolar. Namun China juga berkewajiban untuk membayar 2.87 juta dolar atas kerusakan Kedutaan Amerika di Beijing, Pemukinan Konsulat Amerika di Chengdu dan Konsulat di Guanzhu karena aksi protes masyarakat China.

Selain itu ada Kasus Dikko yang terjadi pada 5 Juli 1984. Pada peristiwa ini, Dikko adalah mantan Menteri Nigeria yang diculik di London (Stansted Airport) untuk selanjutnya dibawa kembali ke Nigeria. Namun ternyata otoritas bandara menaruh kecurigaan terhadap barang diplomatik karena tas yang dibawa terlalu besar. Atas dasar itulah maka otoritas bandara membuka tas yang ternyata berisi Dikko.

Sebenarnya, semua barang diplomatik tidak boleh dibuka. Screening terhadap barang bawaan diplomatik diperbolehkan dengan batasan tidak dibuka. Namun karena atas dasar peristiwa yang tidak biasa, maka aturan tersebut tidak berlaku dalam kasus Dikko

Minggu, 06 November 2011

TUHANKU DI PURA

Bagiku... Bali tidak hanya menyimpan keindahan alam yang menakjubkan melainkan juga mempunyai misteri yang harus terungkap. Diantara selipan hotel mewah berbintang yang bertebaran di hampir semua pantai dan dataran tinggi Bali, terdapat kehidupan multikultural yang hampir luput dari perhatian para pelancong di Bali.

Saat itu, tahun 1997 merupakan masa-masa transisiku. Menjadi transisi apakah aku bisa meneruskan hidupku secara normal, bisa makan dan menghela nafas setiap hari seperti manusia lainnya. Ataukah aku akan terjebak dalam kubangan kemiskinan yang selama ini membelenggu keluargaku.

Maka aku putuskan untuk pergi ke Pulau Dewata, mengadu pada keagungan Tuhan yang hidup disana, dan juga aku yakini berkeliaran di seantero dunia. Aku yakin Tuhan tidak hidup di tempat-tempat tertentu. Dia maha mengetahui dan tidak pernah membedakan perhatiannya terhadap suatu kelompok tertentu.

Dan aku pun terdampar dengan tidak sengaja di Tanah Lot, sebuah tempat yang terkenal dengan panorama sunset nya yang indah.

Pada saat itu aku bekerja di Kakak sepupuku. dia adalah anak dari budhe ku yang sudah menetap beberapa tahun di Bali, menjadi kontraktor bangunan. Sewaktu kecil kami sering menghabiskan waktu bersama-sama, mandi di sungai, mencari tebu atau kayu bakar di hutan.

Sabtu, 05 November 2011

SUBJEK HUKUM INTERNASIONAL

Subjek Hukum Internasional

Didalam hukum internasional, individu, perusahaan umum dan swasta, organisasi regional maupun internasional, lembaga swadaya masyarakat, dan negara adalah ‘legal personality’ yang bisa menjadi subjek hukum. Mereka bisa menuntut atau dituntut atas segala tindakan yang telah dilakukan. Mereka bisa melakukan perbuatan hukum karena statusnya sebagai subjek hukum yang mempunyai kemampuan untuk mempunyai, memelihara hak-hak dan melakukan kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan.

Namun semua subjek hukum tersebut harus memenuhi persyaratan sebagaimana yang telah ditentukan oleh komunitas internasional. Misalnya, sebuah perusahaan umum baru bisa dikatakan sebagai subjek hukum internasional jika melakukan perbuatan yang dikategorikan sebagai perbuatan trans-nasional seperti melakukan perjanjian kerjasama perdagangan dengan perusahaan lain dari luar negaranya.

Menurut Lauterpacht sebagai salah satu penganjur Doktrin Positivistik, hanya negara lah yang berhak untuk menjadi subjek hukum internasional. Namun doktrin tersebut sudah tidak berlaku lagi seiring dengan perkembangan jaman yang mengharuskan adanya rekonstruksi ‘subjek hukum’ dalam hukum internasional.

Negara
Menurut Pasal 1 Konvensi Montevideo tentang Hak dan Kewajiban Negara, syarat berdirinya negara adalah; (1) mempunyai penduduk yang tetap, (2) Wilayah yang jelas, (3) Pemerintahan dan (4) mempunyai kemampuan untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.

Adanya populasi yang tetap secara alamiah merupakan persyaratan mutlak dalam mendirikan sebuah negara. Tidak ada satu negara pun yang berdiri tanpa mempunyai penduduk yang tetap. Namun tidak ada ketentuan mengenai jumlah minimal penduduk yang ada. Misalnya, populasi Negara Nauru hanya sekitar 12.000 dan Negara Tuvalu malah lebih sedikit lagi, yakni sekitar 10.000. Tuvalu mendapatkan kemerdekaannya dari Inggris pada tanggal 1 Oktober 1978 dan menjadi negara persemakmuran Inggris. Sedangkan keanggotaan Tuvalu di PBB dimulai pada tahun 2000 dan menjadi negara anggota ke 189.

Menurut pendapat dari Komisi Arbitrase Konferensi Uni Eropa tentang Yugoslavia, negara didefinisikan sebagai komunitas yang terdiri dari wilayah dan penduduk yang diorganisasikan oleh kekuatan politik yang berdaulat (Malcolm Shaw, 2005: 178)

Terbentuknya negara menjadi krusial karena seringkali hubungan antara kriteria hukum terbentuknya negara bertentangan dengan realitas. Khususnya mengenai kemampuan suatu negara untuk menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain dan lembaga internasional. Namun dinamika perkembangan negara-negara semakin mengharuskan negara untuk tidak hanya mempunyai kemampuan menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain melainkan lebih mengedepankan kemampuan untuk meyakinkan organisasi-organisasi internasional khususnya Perserikatan Bangsa-Bangsa.

Eksistensi PBB telah merombak landasan dasar persyaratan berdirinya sebuah negara. Hal ini disebabkan peran PBB yang sangat kuat dalam mempengaruhi komunitas internasional untuk mengakui kedaulatan sebuah negara.

Beberapa entitas justru bisa merdeka dan diakui oleh dunia internasional meskipun belum memenuhi kriteria untuk menjadi negara. Sebaliknya, ada beberapa entitas yang sudah memiliki semua kriteria, namun belum mendapatkan pengakuan dari dunia internasional sebagai negara merdeka.

Kasus Palestina
Palestina merupakan kasus yang sangat kontroversial didalam hukum internasional. beberapa alasannya adalah:
1.Palestina mengklaim sebagai negara merdeka namun kenyataannya tidak mampu mengontrol wilayah yang diklaimnya
2.Palestina mampu mengadakan hubungan diplomatik dengan negara lain, yakni diakui oleh semua negara-negara OKI
3.Palestina belum menjadi negara anggota PBB, hanya sebatas negara observer
4.Palestina mempunyai penduduk yang tetap, pemerintahan yang berdaulat tetapi ada dualisme kepemimpinan, yakni Hamas dan Fatah
5.Israel ketika mendeklarasikan diri sebagai negara merdeka justru diakui oleh mayoritas negara-negara termasuk PBB meskipun batas wilayahnya masih bermasalah dengan negara-negara tetangganya