Senin, 30 Agustus 2010

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak meloloskan calon presiden (capres) independen pada pemilu 2009 telah mendiskriminasi hak politik warga negara Indonesia (WNI). Lembaga hukum itu telah membuat ‘langkah mundur’ terhadap pengakuan hak asasi manusia di Indonesia. Ditolaknya permohonan para penggugat tersebut menyebabkan hilangnya hak yang seimbang, ‘the right to equality’ dari WNI untuk menjadi presiden.

Dari perspektif hukum nasional, putusan MK mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menolak permohonan dari para penggugat. Putusan itu tidak melanggar norma hukum yang ada, yakni UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan UU No. 42/2008 tentang Pilpres sebagai undang-undang pelaksananya. Kedua sumber hukum tersebut menyebutkan bahwa calon presiden harus diajukan oleh partai politik. Konsekuensinya, putusan MK adalah sah secara hukum nasional.

Lalu, apakah putusan itu benar-benar tidak cacat hukum? Tulisan ini berusaha mengupas ‘kecacatan’ putusan MK dari perspektif hukum internasional. Ini penting karena Indonesia telah menjadi bagian dari komunitas internasional yang berkomitmen untuk mengakui dan menjamin hak politik dan hak lainnya.

Perspektif Hukum Internasional
Salah satu ‘kelemahan’ putusan MK tersebut adalah tidak memperhatikan aturan hukum dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2006. Padahal norma hukum yang ada di Kovenan tersebut mengikat Indonesia setelah tiga bulan sejak instrumen internasional itu diratifikasi oleh pemerintah. Salah satu norma penting didalam Kovenan tersebut adalah diakuinya persamaan hak berpolitik WNI.

Berdasarkan ketentuan dari Kovenan, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi, menjamin dan memastikan ‘to protect, to guarantee and to ensure’ hak berpolitik WNI. Ketiga prinsip dasar penegakan hak asasi manusia itu harus diterapkan dengan memperhatikan prinsip non diskriminasi. Pemerintah harus memperhatikan ketiga prinsip dasar tersebut ketika mengeluarkan kebijakan hukum. Misalnya, pemerintah tidak boleh mendiskriminasi hak dan kebebasan ‘berpolitik’ WNI didalam sistem pemerintahan dan pemilihan umum (pemilu).

Persamaan hak didalam sistem pemerintahan dan hak untuk dipilih dan memilih didalam pemilu diatur didalam pasal 25 (a,b&c) Kovenan. Menurut ketentuan pasal tersebut, semua warga negara dari negara yang meratifikasi Kovenan mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam pemilu tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, bahasa, jenis kelamin, afiliasi politik, pendapat-pendapat atau status lainnya.

Kata ‘status lainnya’ disini harus dimaknai sebagai aturan hukum yang mengatur hak dan kebebasan politik secara luas. ‘Status lainnya’ meliputi hak siapapun untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai presiden, wakil presiden, gubernur, bupati atau anggota legislatif. Tidak boleh ada persyaratan atau hukum apapun yang bisa mengakibatkan hilangnya hak politik seseorang untuk mempunyai hak tersebut diatas.
Memang Kovenan Hak Sipil dan Politik juga memberikan hak kepada Indonesia sebagai negara anggota Kovenan untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang ada di Kovenan.
Pembatasan boleh dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan umum dan menjaga moralitas yang ada di negara tersebut. Namun demikian, pembatasan tersebut tidak boleh berisi unsur-unsur yang diskriminatif. Kebijakan yang diskriminatif bisa mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya hak dan kebebasan seseorang.
Pembatasan yang diatur didalam sebuah kebijakan hukum juga harus memperhatikan tiga prinsip proporsionalitas. Pertama, kebijakan tersebut harus sesuai dengan fungsi perlindungan terhadap hak dan kebebasan manusia. Kedua, kebijakan tersebut tidak boleh mengandung unsur yang memaksa seseorang untuk meninggalkan hak dan kebebasannya. Ketiga, sebuah kebijakan harus memuat aturan yang tegas agar fungsi perlindungan bisa tercapai.

Didalam konteks Pilpres kali ini, ada dua produk hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur atau ‘membatasi’ hak berpolitik WNI. Kedua produk hukum nasional tersebut adalah UUD 1945 pasal 6A ayat (2), 8 dan pasal 13 ayat (1) UU No. 42 tahun 2008. Akan tetapi, kedua sumber hukum tersebut mengandung unsur yang diskriminatif karena melarang hak seseorang untuk maju ke Pilpres tanpa melalui parpol. Oleh karena itu, kedua sumber hukum ini tidak boleh digunakan sebagai dasar pembatasan hak dan kebebasan WNI untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Berdasarkan penjelasan diatas, putusan MK tersebut tidak sah secara hukum. Capres independen harus diakomodir untuk membuktikan bahwa pemerintah telah menjalankan tiga prinsip dasar didalam hak asasi manusia. Selain itu, untuk menunjukan bahwa pemerintah telah berkomitmen menjamin the right to equality dari setiap WNI.

Reformasi Hukum Nasional
Memang, peratifikasian sebuah instrumen internasional bukan berarti bisa meniadakan pelanggaran hak asasi manusia seperti hak politik. Harus ada komitmen dari pemerintah untuk tunduk terhadap aturan yang ada didalam instrumen tersebut. Salah satu ketundukan hukum dari pemerintah terhadap Kovenan adalah dengan mengamandemen produk hukum yang tidak sejalan dengan instrumen internasional tersebut.

Implementasi hak asasi manusia di Indonesia sangat tergantung dari situasi hukum di tingkat domestik. Salah satunya adalah adanya kesesuaian norma antara hukum nasional dan hukum internasional. Selain itu, peran MK sebagai lembaga yang netral untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia juga sangat penting.
Keputusan pemerintah untuk mendirikan MK sebagai lembaga yang berkompeten dan mempunyai otoritas untuk menguji produk perundang-undangan nasional sudah selaras dengan semangat hak asasi manusia. Semua WNI bisa mengajukan judicial review terhadap UU yang dianggap telah mendiskriminasi hak dan kebebasan mereka. Tetapi sayang, putusan MK No. 56/PUU-VI/2008 telah membuat ‘blunder’ yang cukup fatal, menolak capres independen dengan alasan capres independen tidak dikenal didalam hukum nasional.

Sudah selayaknya UU No. 42 tahun 2008 ditiadakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan aturan pasal 6A dari UUD 1945 harus diamandemen untuk menghilangkan kebijakan yang bisa berpotensi mendiskriminasi hak berpolitik WNI dimasa mendatang. Selama ketentuan didalam dua sumber hukum ini tidak diubah, capres independen tidak pernah ada. Apalagi MK juga tidak memperhatikan aturan hukum yang ada di Kovenan Hak Sipil dan Politik yang berfungsi sebagai sumber hukum yang mengikat negara Indonesia.

Sangat disayangkan MK tidak memperhatikan norma didalam Kovenan. Memang suatu Negara seperti Indonesia boleh menganut dualisme hukum, yakni aturan hukum nasional negaranya tidak harus sesuai dengan hukum internasional. Dengan satu syarat aturan hukum internasional tidak mengikat Negara tersebut. Misalnya, UUD 1945 tidak harus sesuai dengan Deklarasi Universal HAM karena sifat deklarasi yang tidak mengikat. Tetapi didalam konteks Kovenan Hak Sipil dan Politik, hukum nasional Indonesia harus sesuai dengan norma yang ada didalam Kovenan tersebut. Ini disebabkan status dari peratifikasian yang telah dilakukan oleh Indonesia bersifat mengikat secara hukum.

KALAHNYA NU ATAU NU SENGAJA DIHABISI?

Akhirnya pasangan Sukarwo-Saifullah Yusuf benar-benar dilantik jadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur masa bakti 2009-2014. Pelantikan itu menandai bahwa pasangan tersebut telah resmi memenangkan Pilkada Jatim. Semua masyarakat Jatim harus mendukung pasangan tersebut selama tidak melanggar Undang-Undang.
Pelantikan tersebut juga menasbihkan bahwa sebagian besar masyarakat NU Jatim lebih menginginkan wakil gubernur. Mereka cukup puas dengan jabatan wakil gubernur yang disandang oleh Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai representasi ‘tulen’ warga NU. Ke-NU-an Gus Ipul tidak diragukan lagi karena dia adalah seorang anak kyai dan mantan ketua GP Anshor. Meskipun ada juga warga NU Jatim yang sebenarnya menginginkan Kofifah menjadi orang nomor satu di Jatim. Kofifah adalah mantan ketua muslimat NU.

Tapi apa mau dikata, suara NU telah tercerai berai di Pilkada kemarin. Salah satu sebabnya adalah representasi orang NU ‘tulen’ yang menyebar ke berbagai pasangan. Mereka adalah orang-orang yang dulunya merawat dan ‘menggembala’ warga NU yang kebanyakan masih terbelakang secara politik, pendidikan dan hukum. Mereka tidak lagi mengawasi, memberi makan, atau mengandangkan gembalaan yang jumlahnya jutaan karena lebih suka menjadi ‘juragan politik.’

Perang Antar Juragan Politik
Ada beberapa juragan politik dari warga NU di Pilkada Jatim kemarin. Masing-masing sepertinya ingin menunjukan bahwa mereka lah yang mempunyai masa paling banyak. Mereka seakan tidak mau lagi memikirkan gembalaannya yang selalu lari pontang panting di setiap even seperti Pilkada dan Pemilu.

Ada Gus Ipul yang dulu ‘menggembala’ anak-anak muda Anshor. Dia bisa menjadi seorang juragan yang mempunyai ‘kekayaan politik’ berupa nama besar karena berangkat dari salah satu organisasi dibawah naungan NU tersebut. Kekayaan Gus Ipul berupa anak-anak muda NU dan Anshor yang jumlahnya ribuan itulah yang menarik minat Sukarwo sebagai kandidat dari non NU untuk meminangnya.

Selain itu, kata ‘Gus’ didepan kata Ipul, sebagai nama panggilan Saifullah Yusuf turut berperan didalam menjadikannya sebagai seorang juragan. Kata Gus di dunia pesantren NU adalah sebutan khas yang selalu disandang oleh anak seorang kyai. Tidak sembarang orang yang boleh memakai kata itu. Kekayaan politik seorang ‘Gus’ ditentukan oleh seberapa banyak santri dan alumni yang dipunyai oleh bapaknya.
Kemudian ada Ali Maschan Musa sebagai ‘juragan’ dari semua juragan NU di tingkat Jawa Timur. Statusnya sebagai ketua PNWU Jatim membuat kekayaannya tidak tanggung-tanggung, yakni seluruh warga Nahdliyin Jatim yang jumlahnya sampai puluhan juta. Kekayaan yang berlimpah itulah yang membuat Sunaryo kepincut untuk meminangnya.

Selain itu, Ali Maschan juga seorang kyai. Dari segi jabatan struktural, dia membawahi juragan-jurangan kecil tingkat kabupaten dan kecamatan di seluruh Jawa Timur. Dari segi non struktural, statusnya sebagai seorang kyai juga mampu menjadikannya sebagai seorang juragan yang sangat kaya. Dengan satu syarat, dia mempunyai kharisma yang kuat untuk menembus batas-batas wilayah juragan (kyai) lainnya. Anehnya, kenapa Ali Maschan yang mempunyai kekayaan lebih banyak dari Sunaryo mau menerima pinangan sebagai wakil gubernur.

Sebenarnya juragan yang paling berani adalah Khofifah. Sebagai juragan dari juragan dari muslimat NU se Indonesia, Khofifah cukup yakin bahwa muslimat NU Jatim merupakan sapi gemuk untuk meraup suara. Hasilnya, dia bisa melawan pasangan KARSA meskipun harus mengakui kekalahan di Pilkada putaran kedua.

Juragan Politik Memecah NU

Terpencarnya juraga-juragan NU dan tidak adanya mekanisme untuk menyatukan mereka membuat warga NU hanya bisa berlarian tanpa arah. Padahal warga NU yang mayoritas tinggal di pedesaan dengan akses politik yang terbatas membutuhkan seorang juragan yang bisa mengarahkan mereka. Dan salah satu juragan yang seharusnya melakukan itu adalah PBNU atau PWNU Jatim.

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu ciri khas warga NU adalah sikap dan perilaku mereka yang sangat menghormati para pemimpinnya. Warga NU khususnya yang ada di pedesaan kebanyakan masih mengikuti pemimpin lokal seperti kyai dan pemimpin lainnya. Terpencarnya suara NU di beberapa pasangan disebabkan karena tidak adanya wadah yang mampu menampung suara-suara tadi.

Terpecahnya suara NU ke beberapa pasangan itu telah membuat NU seperti sapi gemuk yang dibuat ‘bancakan’ atau pesta oleh para juragan politik. Celakanya, para juragan NU yang bersaing seakan tidak peduli dengan bancakan tersebut. Justru mereka seperti juragan sapi yang menikmati daging sapi mereka.

Hasilnya, kekalahan juragan NU untuk memimpin Jatim juga merupakan kekalahan warga NU Jatim secara keseluruhan. Tidak saja masyarakat arus bawah melainkan juga para juragan politik NU seperti orang-orang diatas.

Seharusnya NU bisa mempunyai orang nomor satu di Jatim. Pilkada juga tidak harus diulang jika suara NU tidak menjadi ‘bancakan’ para juragan. Tetapi kenapa suara itu tidak bisa bersatu. Apakah ini menunjukan bahwa NU adalah kumpulan orang-orang yang bodoh atau terlalu ‘cerdiknya’ orang-orang yang membodohi NU?

Sekarang semua harus legowo menerima konsekuensi perpolitikan dalam demokrasi. Tidak ada istilah ‘draw’ didalam Pilkada atau Pemilu bahkan didalam sejarah demokrasi di dunia. Jika draw, maka harus diadakan pemilihan ulang sampai ada pihak benar-benar kalah dan yang menang. Itulah yang membedakan sistem demokrasi dengan sistem otoriter dan diktator.

ASEAN MERETAS MASA DEPAN ASIA TENGGARA

Para menteri luar negeri se Asia Tenggara telah menorehkan sejarah baru. Mereka telah sepakat untuk membuat piagam HAM ASEAN yang bisa menjadi payung hukum penegakan HAM di kawasan yang sangat heterogen ini. Para menlu juga sepakat membentuk badan dan komisi HAM untuk memaksimalkan implementasi dari piagam tersebut (Kompas, 22/07/09).

Kesepatakan ini merupakan wujud dari komitmen negara anggota ASEAN yang tertuang didalam KTT ASEAN ke 14 di Bangkok awal tahun lalu. Salah satu isi dari KTT itu adalah keinginan ASEAN untuk membuat Piagam HAM. Jika piagam dan rencana tersebut bisa dilaksanakan, maka ASEAN sangat patut disejajarkan dengan Uni Eropa dalam hal penegakan HAM. Sampai saat ini, Uni Eropa adalah organisasi kawasan yang paling sukses dalam menegakan hak asasi manusia di wilayahnya.

Piagam HAM ASEAN akan menjadi instrumen HAM yang berlaku di semua negara anggota. Artinya, piagam tersebut haruslah dibentuk atas dasar konsensus para menlu dengan mempertimbangkan prinsip HAM internasional. Tujuannya untuk menyatukan perspektif dan penegakan HAM di kawasan Asia Tenggara yang sangat heterogen.

Lalu, mungkinkah konsensus tersebut bisa terwujud di tengah heterogenitas negara-negara ASEAN?

Tak bisa dipungkiri bahwa rencana pembuatan piagam itu sering terbentur perbedaan perspektif dan penegakan HAM diantara negara anggota. Permasalahan ini muncul karena ada negara yang mempunyai catatan penegakan HAM yang masih sangat rendah dan ada juga negara yang sudah melindungi HAM secara komprehensif. Dalam sepuluh tahun terakhir, Indonesia bisa digolongkan sebagai negara yang mengakui dan melindungi HAM warga negaranya.

TANTANGAN PIAGAM HAM ASEAN
Ada beberapa masalah krusial yang harus diselesaikan oleh negara-negara ASEAN didalam merumuskan Piagam HAM ASEAN. Pertama, ASEAN mengakui konsep relativisme budaya di masing-masing negara anggota. Klausul ini dibuat untuk mengakomodir perbedaan hukum nasional di negara-negara. Misalnya, ada negara yang berpaham sekuler seperti Indonesia dan ada juga negara yang menerapkan Syariah Islam. Tentu perbedaan hukum tersebut sangat mungkin mengakibatkan perbedaan konsep HAM.

Kedua, Piagam HAM ASEAN akan melarang semua jenis intervensi terhadap kedaulatan negara-negara anggota. Ketentuan ini ingin menyesuaikan dengan Piagam PBB yang melarang semua jenis intervensi dari negara asing terhadap kedaulatan sebuah negara. Piagam ASEAN melarang semua jenis intervensi meskipun suatu negara anggota telah secara nyata melanggar HAM. Jika demikian, maka penegakan HAM di ASEAN akan sangat ditentukan oleh kemampuan dan kenetralan Komisi ASEAN.

Ketiga, ASEAN mempunyai negara anggota dengan kemampuan ekonomi yang sangat beragam. Ada Myanmar dan Timor Leste sebagai negara termiskin di Asia dan juga ada Singapura sebagai salah satu negara modern di Asia. Tentu perbedaan kemakmuran ini akan menyulitkan ASEAN dalam merumuskan hak sosial dan ekonomi.
Keempat, adanya perbedaan yang sangat mencolok di bidang penegakan HAM. Ada beberapa anggota ASEAN termasuk Indonesia yang sudah mulai tinggal landas didalam penegakan HAM. Negara-negara ini sudah mulai memperhatikan dengan serius isu-isu HAM. Sebaliknya, masuknya Myanmar sebagai negara dengan sistem pemerintahan yang masih otoriter bisa mengganggu perjalanan fase kedua ASEAN.

Lalu, mungkinkah ASEAN bisa mencapai satu konsensus untuk merumuskan Piagam HAM dengan permasalahan yang ada?

Salah satu alternatifnya adalah meniru konsep HAM di Piagam Afrika yang bersifat responsif terhadap kondisi sosial budaya masyarakat. Piagam HAM Afrika melahirkan konsep hak kolektif masyarakat di bidang ekonomi, yang mana piagam tersebut mengatakan bahwa kemiskinan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM mendasar.
Piagam ASEAN harus mampu menjawab persoalan utama HAM di kawasan Asia Tenggara. Misalnya, hak buruh migran, perempuan, kelompok minoritas atau hak fundamental lainnya. Jika tidak, ASEAN harus berani memberikan kewenangan yang lebih kepada Badan HAM ASEAN untuk mengintervensi negara yang melanggar piagam.

PENTINGNYA BADAN HAM ASEAN
Tentu sangat sulit menerapkan HAM internasional karena aturan hukumnya sangat umum. Selain itu, adanya conflict of laws antara prinsip HAM dan kedaulatan negara membuat penegakan HAM di negara-negara sulit diterapkan. Prinsip HAM menjamin hak dan kebebasan setiap individu sedangkan prinsip kedaulatan memberikan privilege kepada pemerintah untuk mengatur negara.

Oleh karena itu, diperlukan sebuah lembaga regional yang bisa memanifestasikan HAM internasional melalui mekanisme konsensus regional di kawasan. Selain itu, konsensus regional HAM bisa memaksimalkan prinsip HAM internasional karena lebih bisa merepresentasikan kondisi sosial masyarakat setempat.

Kesepakatan ASEAN untuk mendirikan Badan HAM bisa dikatakan sebagai langkah awal untuk menegakan HAM di kawasan regional ini. Penegakan HAM merupakan manifestasi penting dari sistem demokrasi liberal yang dianut oleh beberapa negara anggota ASEAN. Adanya Badan HAM ASEAN sebagai ‘legal body monitoring system’ bisa mengawasi perilaku negara-negara yang selama ini semena-mena terhadap HAM.
Badan HAM ASEAN mutlak diperlukan untuk menyelesaikan persoalan HAM di kawasan Asia Tenggara. Selain itu, Badan HAM ASEAN bisa menjadi pioneer bagi badan regional HAM di Asia karena selama ini, benua terbesar ini justru tidak mempunyai lembaga regional HAM.

Badan HAM tersebut juga sangat penting didalam konteks hukum internasional. Pasalnya, keputusan hukum dari Badan tersebut bisa menjadi ‘jurisprudensi’ didalam hukum internasional seperti halnya Pengadilan HAM Eropa. Artinya, keputusan Badan HAM ASEAN yang merepresentasikan pendapat masyarakat Asia bisa memberikan perspektif baru didalam HAM internasional.

Rabu, 25 Agustus 2010

Pidanakan Nikah Siri, Hapuskan Poligami

Hubungan antara agama dan hak asasi manusia seringkali problematik. Misalnya, ajaran Islam mengharuskan kewajiban kolektif berupa keimanan sedangkan doktrin hak asasi manusia terfokus pada kebebasan individu. Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang mengusik kedua nilai tersebut. Nikah siri memang sudah sah secara agama, namun praktik tersebut seringkali mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Sudah selayaknya nikah siri dilarang karena banyak merugikan kaum perempuan. Belum lagi masalah status hukum anak hasil pernikahan siri yang tidak jelas.

Banyak laki-laki melakukan nikah siri dengan tujuan untuk berpoligami. Mereka hanya sekedar mencari kepuasan seks semata atau tidak mau terbebani secara ekonomi dan hukum. Jika sudah bosan, mereka akan meninggalkan istri sirinya untuk melakukan nikah siri lagi dan begitu seterusnya. Toh pihak istri tidak bisa menuntut apa-apa karena memang pernikahan mereka tidak dicatatkan.

Nikah siri secara tersirat diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. UU tersebut mengijinkan laki-laki untuk berpoligami, namun mereka tidak bisa mencatatkan pernikahan kedua atau ketiganya secara administratif selama masih terikat dengan istri pertama. Oleh karenanya, pemerintah juga harus mengandemen UU tersebut untuk menyesuaikan dengan rancangan peraturan yang baru. Pemerintah harus menjamin tidak aka nada conflict of laws yang bisa dijadikan celah munculnya praktik nikah siri dan poligami.

Wahyu Suci
Keinginan pemerintah untuk memidanakan pelaku nikah siri adalah untuk menegakan kesetaraan gender. Kesetaraan gender sebagai manifestasi prinsip non diskriminasi menegaskan bahwa ‘semua manusia’ mempunyai hak dan kebebasan yang sama tanpa pengecualian. Nikah siri merupakan satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena mengakibatkan hilangnya persamaan hak kaum perempuan. Meskipun nikah selalu dilandasi rasa saling suka, namun mereka yang melakukan poligami telah merendahkan martabat kaum hawa.

Poligami diskriminatif karena secara de facto menciptakan ketimpangan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Mengijinkan laki-laki untuk berpoligami dan membatasi perempuan untuk bermonogami merupakan bentuk diskriminasi yang nyata terhadap hak kaum hawa. Peraturan yang melegalkan praktik tersebut mengindikasikan buruknya prinsip non diskriminasi bagi perempuan. Negara telah gagal untuk melindungi hak perempuan karena hanya dijadikan sebagai Jugun Ianfu kaum laki-laki.

Tindakan permisif dari berbagai pihak untuk terus melegalkan poligami merupakan sebuah pelanggaran terhadap kaum hawa. Ketidak kepedulian mereka karena terlibat dalam praktik poligami juga mencerminkan rendahnya moralitas masyarakat. Oleh karena itu, poligami dan nikah siri telah mengakibatkan pelanggaran secara tersistematis terhadap kaum perempuan.

Jika diamnya negara karena poligami dianggap sebagai ajaran agama yang sakral, maka sejatinya manifestasi keagamaan tersebut juga telah menodai prinsip non diskriminasi dan persamaan hak sebagai ‘wahyu suci’ didalam hak asasi manusia. Kesakralan prinsip tersebut sama dengan kesucian ajaran agama dimana pelanggaran terhadapnya merupakan ‘dosa yang sangat besar.’

Perempuan harus dilindungi tidak melihat jenis kelamin atau status mereka sebagai korban melainkan karena perempuan adalah juga manusia seperti halnya laki-laki. Mereka harus mempunyai martabat, hak dan kebebasan yang sama. ‘Keikhlasan’ istri untuk dipoligami juga tidak boleh dijadikan alasan untuk menerapkan poligami karena yang menjadi persoalan bukanlah keikhlasan mereka melainkan persamaan martabat antara perempuan dan laki-laki.

Memang semua manusia bebas untuk beragama dan memanifestasikan ritual keagamaannya. Namun, mereka harus memperhatikan prinsip dasar lainnya, yakni hak mereka tidak boleh diterapkan jika mengganggu hak dan kebebasan fundamental manusia lainnya.

Jahiliyah Modern
Penghapusan terhadap poligami dan pemidanaan pelaku nikah siri merupakan revitalisasi perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Dalam sejarahnya, perempuan di awal Islam dijadikan manusia kelas dua. Ribuan bayi perempuan dibunuh dan perempuan dijadikan pemuas nafsu tindakan bar-bar kaum Quraisy. Oleh karenanya, melegalkan praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan juga merupakan tindakan jahiliyah di era modern.

Larangan poligami dan nikah siri mungkin dilihat sebagai usaha untuk menghilangkan salah satu ajaran Islam. Namun sebenarnya prinsip non diskriminasi tersebut ingin melindungi martabat perempuan seperti yang terjadi di era awal munculnya Islam di Arab. Beberapa negara Islam seperti Syiria, Maroko, Pakistan, Irak dan Yaman telah mengakui persamaan gender dalam skala yang lebih luas karena telah menghapus poligami. Tentu merupakan sebuah kemunduran jika Indonesia masih memberlakukan tradisi jahiliyah tersebut.

Indonesia telah mengalami kemajuan dibidang hak asasi manusia sejak runtuhnya rejim orde baru. Jangan sampai prestasi tersebut ternoda oleh tafsir-tafsir keagamaan digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk memuaskan nafsu mereka belaka. Pemidanaan terhadap nikah siri merupakan angin surga bagi perempuan yang selama ini tersubordinasi oleh kekuasaan laki-laki. Peraturan tersebut juga telah menambal berbagai celah hukum yang selama ini digunakan oleh kaum laki-laki untuk beristri lebih dari satu orang.

Jika selama ini kita ‘diam’ terhadap praktik poligami ditengah hiruk pikuk reformasi hukum, sudah saatnya reformasi menunjukan taringnya untuk menggugat semua bentuk diskriminasi terhadap hak perempuan.

Ironi Hak Beragama di Indonesia

Setelah sekian lama tidak terdengar, penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah pecah lagi. Kejadian tersebut sangat disayangkan karena SKB Ahmadiyah telah melarang berbagai bentuk kekerasan atau syiar Ahmadiyah dengan ancaman pidana. Meskipun substansi SKB diskriminatif, namun pemerintah harus tegas melaksanakan hukum yang telah diundangkan agar hak beragama di Indonesia tidak semakin simpang siur.

Hak beragama di berbagai negara memang menghadapi permasalahan yang sangat kompleks. Pelanggaran terhadap hak fundamental tersebut juga sangat beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada pelanggaran yang dilakukan oleh negara melainkan juga individu maupun kelompok masyarakat. Alasannya juga beragam seperti hukum yang diskriminatif, konflik ideologi, sekularisme, terorisme, dan lemahnya perlindungan bagi minoritas di suatu negara.

Pada tahun 2000, 33 persen dari total populasi dunia hidup dibawah rejim yang melarang kebebasan beragama sedangkan 39 persen lainnya mengalami pelanggaran sebagian dari hak tersebut (Khanif, 2010). Berbeda dengan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang lebih banyak terjadi di negara-negara dibawah rejim otoriter, hak beragama bisa terjadi di negara manapun, baik di negara miskin, berkembang, modern atau bahkan di negara demokratis. Pelanggaran terhadap hak beragama juga bisa terjadi di negara-negara yang tidak mengenal agama seperti China.

Indonesia Lebih Baik?
Terlepas dari serangkaian pelanggaran yang ada, perlindungan terhadap manifestasi keagamaan di Indonesia sebenarnya lebih baik daripada di negara-negara lain. Hal ini tercermin dari berbagai macam kegiatan keagamaan yang sangat semarak dimana-mana dan mungkin menjadi yang paling dinamis di dunia. Ini tercermin dari banyaknya pendirian tempat ibadah, kegiatan keagamaan dan pemakaian simbol-simbol agama di berbagai tempat. Ragam jenis simbol keagamaan bahkan telah merambah industri musik, media massa, mode dan pariwisata.

Kegiatan keagamaan sudah merambah kota-kota metropolitan semacam Jakarta. Agama mulai menembus batas-batas sektarianisme, berbaur dengan modernisme yang menjamur di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Simbol-simbol agama tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk ditampilkan, namun telah menjadi mode yang digandrungi oleh semua kalangan masyarakat. Pada akhirnya, ruang-ruang publik dan sektor swasta juga tak kuasa menahan derasnya pengaruh agama dan segala atribut yang melekat padanya.

Perlindungan terhadap hak beragama juga bisa dilihat dari perayaan hari raya agama. Sebagai salah satu manifestasi hak beragama, perayaan hari raya mendapatkan prioritas tersendiri di Indonesia. Hal ini dikarenakan pelaksanaan dari hak tersebut bisa mengamputasi penerapan hukum yang lain. Masyarakat bisa memakai jalan raya sebagai fasilitas publik untuk melakukan ritual keagamaan atau mengendarai kendaraan bermotor tanpa harus memakai helm ketika memakai pakaian resmi keagamaan.

Masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa kehidupan beragama mereka lebih baik daripada masyarakat Perancis atau Swiss. Masyarakat di kedua negara tersebut tidak bisa leluasa memanifestasikan keyakinan mereka di sembarang tempat karena negara melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di ruang-ruang publik dengan alasan untuk melindungi paham sekularisme negara dari pengaruh agama. Mereka tentu tidak bisa menyaksikan acara-acara keagamaan di telivisi atau mengadakan ritual keagamaan di ruang publik.

Nasib yang lebih buruk dialami oleh para mahasiswa di Turki yang terpaksa harus mencukur jenggot mereka karena pemerintah setempat ingin melindungi negara dari bahaya terorisme. Setelah peristiwa 9/11, terorisme menjadi isu global yang berdampak pada larangan untuk menonjolkan simbol-simbol keagamaan yang identik dengan terorisme. Ketakutan tersebut telah memunculkan setereotipe negatif terhadap beberapa manifestasi keagamaan yang berdampak pada perlakuan diskriminatif terhadap penganut agama.

Masyarakat Indonesia juga tidak perlu cemas ketika ceramah agama. Mimbar-mimbar keagamaan di Indonesia terbuka lebar bagi siapapun. Bahkan tak jarang kita dengar ceramah agama atau demonstrasi yang berisi umpatan, caci maki dan menebar kebencian terhadap kelompok agama lain. Berbeda dengan nasib Malcolm Ross, seorang guru SD di Kanada yang beragama Kristen. Dia harus menghadapi tuntutan pengadilan karena mengajarkan kepada murid-muridnya untuk membenci Agama Yahudi yang dianggap membahayakan eksistensi Agama Kristen (Khanif, 2010).

Ironi
Yang menjadi ironi di Indonesia adalah ketika hak untuk memanifestasikan keagamaan begitu sangat semarak, namun justru kekerasan terhadap hak beragama juga semakin banyak terjadi. Padahal sebelum era reformasi, kekerasan terhadap hak beragama nyaris tidak pernah terdengar. Kekerasan yang akhir-akhir ini sering terjadi menunjukan bahwa kelompok mayoritas ingin mendominasi panggung kehidupan beragama di Indonesia dan melihat eksistensi minoritas sebagai ancaman yang harus dihilangkan.

Pemerintah juga salah kaprah dalam melindungi hak tersebut. Di satu sisi, pemerintah menganakemaskan manifestasi keagamaan, bahkan sampai harus permisif terhadap pelanggaran terhadap peraturan hukum lainnya. Namun sebaliknya justru tidak bisa melindungi hak untuk meyakini sebuah agama sebagai hak yang tidak boleh dikurangi atau dibatalkan dalam situasi apapun.

Sayangnya, Mahkamah Konstitusi juga ‘belum’ berani melakukan terobosan hukum karena menolak peninjauan kembali UU No. 1/PNPS/1965 yang telah banyak mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap agama. Nyali MK masih belum sepadan dengan Mahkamah Agung Zimbabwe yang memutuskan kalung tradisional yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat tradisional negara itu untuk mengusir rasa takut adalah termasuk manifestasi dari agama Rastafarian (Khanif, 2010).

Kesimpulannya, selama masih ada manusia yang meyakini suatu agama, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mempunyai catatan tanpa noda mengenai hak beragama. Namun bukan berarti bisa dijadikan pembenar bagi kita semua untuk melakukan pelanggaran. Melainkan harus dijadikan catatan untuk bisa meminimalisir pelanggaran yang ada karena semua manusia mempunyai hak yang sama untuk menentukan keyakinan mereka sendiri-sendiri.

Penulis adalah staff pengajar fakultas hukum universitas jember

GHILO DAN MASA DEPAN PALESTINA

“Those who can make you believe absurdities can make you commit atrocities." Voltaire

Sudah bertahun-tahun warga Palestina terserak di pengungsian di berbagai Negara karena agresi Israel. Selain itu banyak warga Palestina, khususnya di Gaza yang harus menerima stereotipe negatif sebagai gerombolan teroris. Setereotipe ini sangat berbahaya karena terorisme adalah musuh semua negara yang harus dikikis habis. Dua masalah tersebut membuat mayoritas warga Palestina rentan kehilangan hak-hak fundamentalnya seperti hak hidup dan bertempat tinggal.

Dari tahun ke tahun, Israel juga telah mengikis tanah-tanah Palestina. Kaum Yahudi ortodoks Israel berkeyakinan bahwa tanah tersebut adalah wilayah Judea dan Samara yang dijanjikan oleh Mesiah sebagaimana yang ditulis didalam Torah. Tidak ada yang berhak hidup disana kecuali kaum Yahudi sebagai kaum yang terpilih. Oleh sebab itu keyakinan absurd tersebut telah mengakibatkan jutaan warga Palestina terusir secara sporadis, bahkan mengakibatkan pengungsian terbesar dan terlama dalam sejarah berdirinya UNHCR.

Namun bukan berarti warga Palestina yang berada di Tepi Barat dan Gaza bernasib lebih baik. Justru mereka lebih rentan karena bersinggungan secara langsung dengan Israel. Keyakinan tentang ‘the promised land’ membuat Israel terus berusaha mengusir mereka secara tersistematis. Salah satunya adalah ditetapkannya UU No. 329, 1649, dan 1650 yang memberikan kekuasaan secara penuh bagi Angkatan Bersenjata Israel (IDF) untuk mendeportasi, menghukum dan bahkan membunuh pihak-pihak yang dianggap menyusup ke wilayah-wilayah Israel.

Ghilo

UU yang disahkan pada 13 April lalu tersebut ingin menyeterilkan wilayah Judea dan Samaria dari warga Palestisna. Wilayah tersebut membentang dari sebelah Barat Sungai Jordan sampai ke Laut Mediterania. Artinya, UU tersebut tidak mencantumkan secuilpun wilayah yang bisa ditinggali oleh warga Palestina seperti yang diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 181. Padahal menurut resolusi tersebut, warga Palestina berhak mendapatkan 62 % dari total wilayah.

Salah satu sebab utama lahirnya UU tersebut adalah adanya ‘Industri Ghilo’ Israel. Ghilo adalah lingkungan pemukiman Yahudi yang harus dilindungi, tentunya dari aksi-aksi terorisme berupa serangan roket dari kelompok perlawanan Palestina. Lokasi Ghilo mayoritas berada di wilayah Palestina atau di pinggiran wilayah Israel yang berbatasan dengan wilayah Palestina. Artinya mayoritas Ghilo adalah illegal karena didirikan di wilayah Palestina. Namun justru Ghilo inilah yang digunakan oleh Israel untuk mempertahankan diri dari serangan terorisme.

Selain itu, sebagian ‘ghilo’ adalah lahan-lahan kosong yang akan digunakan oleh Israel untuk membangun pemukiman Yahudi. Beberapa media massa seperti CNN melaporkan bahwa jumlah ‘ghilo’ bisa mencapai puluhan bahkan ratusan. Artinya, lahan-lahan kosong tersebut siap untuk dibangun pemukiman Yahudi dimana orang-orang yang menempatinya adalah imigran Yahudi dari luar Israel. Untuk menarik minat mereka, pemerintah Israel menyediakan kredit perumahan yang sangat lunak.

Israel memang sangat pintar memainkan kartu truf ‘anti semitisme’ agar tetap menyala. Yang menjadi perhatian utama Israel bukanlah nyawa warga Palestina, namun bagaimana mereka bisa meyakinkan dunia internasional akan pentingnya menjaga industri Ghilo. Salah satu caranya adalah membangun citra positif di dunia internasional bahwa Israel berhak memindahkan warga Palestina yang berada disekitar ‘ghilo’ karena keberadaannya bisa mengancam warga Israel. Akibatnya, wilayah Palestina selalu menyusut dari tahun ke tahun. Misalnya, Nablus yang disebut sebagai Schechem dalam Torah kini telah berubah menjadi pemukiman Yahudi.

Israel juga memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina yang berada di wilayahnya. Kebijakan ini diterapkan untuk menekan warga Palestina yang bersikeras bertahan di wilayah Israel agar terpaksa pindah ke wilayah Palestina. Tujuannya untuk menciptakan tanah tanpa tuan atau ‘absentee’ agar Israel mempunyai dasar hukum untuk menguasainya. Israel ingin mengulangi kesuksesan tahaun 1948 ketika negara tersebut mendeklarasikan kemerdekaannya. Pada saat itu, status wilayah Palestina adalah sebagai wilayah tak bertuan setelah Inggris mencabut mandatnya terhadap wilayah tersebut.

Harmonisasi

Industri Ghilo Israel menunjukan adanya harmonisasi keyakinan agama dengan kebijakan negara yang tidak ada tandingannya di dunia. Perpaduan tersebut telah berulang kali ‘mementalkan’ semua jenis putusan hukum lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional dan PBB. Selain itu, harmonisasi agama dan politik tersebut membuat Israel sangat kuat didalam negeri karena didukung oleh mayoritas warga negaranya. Sedangkan di luar negeri, Israel sangat lihai dalam mempengaruhi negara lain dan lembaga internasional agar berpihak kepada mereka.

Tidak itu saja, ternyata kebijakan pemerintah Israel yang ditujukan untuk melindungi kedaulatan negara juga mendapat pengakuan, baik secara ‘de facto ataupun de jure’ dari Kristen Evangelis. Dalam Film ‘The Israeli Lobby,’ Pastor John Hagee, pemimpin Persatuan umat Kristen Amerika untuk Israel menyatakan bahwa Penganut Kristen Evangelis harus mendukung berdirinya Israel karena Bibel telah memerintahkan kepada penganutnya untuk mengakui negara Israel. Tentu negara Israel yang berdiri diatas wilayah Palestina. Oleh karena itu, pihak-pihak yang tidak mengakui berdirinya Israel juga dianggap anti Kristen.

Kedekatan Israel dengan Amerika, sebagai pihak yang sangat menentukan dalam proses perdamaian antara Palestina dan Israel, juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kristen Evangelis di perpolitikan Negari Paman Sam tersebut. Ada hubungan yang erat antara penganut Yahudi dan Kristen Evangelis di lembaga-lembaga pemerintahan Amerika seperti yang terdapat di American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC). yang selama ini menjadi mesin untuk menggerakan semangat harmonisasi politik dan agama Israel.

Kasus ini menunjukan bahwa kepecayaan yang absurd telah mengakibatkan manusia menjadi serakah. Pada akhirnya mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi umat manusia. Usaha untuk mendirikan negara Palestina bisa dilakukan jika kita bisa menghilangkan keyakinan tentang the promised land. Dua payung suci organisasi internasional, yakni PBB dan Mahkamah Internasional harus bisa meyakinan dunia bahwa harus ada upaya untuk melindungi hak-hak fundamental warga Palestina. Jika tidak, sangat mungkin warga Palestina akan menjadi satu-satunya warga di dunia yang tidak mempunyai Negara yang berdaulat.

Penulis adalah alumnus Hukum Perang dan HAM Internasional Univ. Lancaster UK dan Direktur Ethics and Human Rights Institute.

BNI Cab UGM no. Rek. 0039082344

Telp. 081234592734