Saya terharu ketika membaca petikan-petikan dari bukunya Dahlan Iskan, 'Ganti Hati' yang mengulas kehidupannya sebagai CEO Jawa Pos dan saat-saat dia transplantasi hati di Tiongkok. Terharu karena Dahlan Iskan, yang pernah dinobatkan sebagai salah satu CEO terbaik Asia versi salah satu majalah terbitan luar negeri tersebut ternyata orang yang sangat santun terhadap bawahannya. Meskipun diawal bukunya dia mengatakan orang yang perfeksionis, tetapi diakhir atau ketika dia terbaring sakit setelah muntah darah di tahun 2005 mulai menyadari bahwa office boy layak dihormati seperti layaknya seorang direktur.
ketika saya di IALF Jakarta sebelum berangkat ke UK, saya juga mendapat email dari seorang teman yang menurut saya merupakan sebuah teguran bagi orang-orang yang gila pangkat dan jabatan. inti dari email tersebut adalah 'kenapa kita lebih suka mengenal nama seorang manager daripada mengingat nama office boy atau tukang kebun di perusahaan kita.' apa sih bedanya antara kedua orang tersebut. kl ga salah pesan ini dikutip dari buku Chicken Soup for the Soulnya Mark Victor Hansen.
beberapa hari yang lalu, saya membaca sebuah buku 'The Soul of Law' karangan Benjamin Sell, seorang pakar hukum dan pengacara.
di bukunya tersebut dia mengisahkan karir pertamanya sewaktu kuliah sebagai 'pekerja serabutan' - tukang loper surat di perusahaan yang tugasnya cuma mengantar dan menerima surat. tempat kerjanya cuma seluas 3X3 m. ketika dia mengantar surat-surat tersebut ke bagian-bagian di perusahaan, tidak ada yang mengatakan 'hello,'... 'goodmorning,' atau ucapan-ucapan lainya kecuali 'thank you' dari orang yang telah menerima surat. bahkan kalau sedang berjalan di sebuah ruangan yang besar, orang-orang administrasi yang kebanyakan pengacara tersebut 'terkesan' lebih suka men'cueki'nya.
beberapa tahun kemudian, dia kembali bekerja di perusahaan tersebut bukan untuk menjadi tukang loper surat tetapi sebagai pengacara. selang beberapa bulan kemudian karirnya meningkat menjadi salah satu pengacara top dan sejak saat itulah dia menjadi orang terkenal. meskipun demikian, dia masih ingat betul ketika menjadi peloper surat beberapa tahun silam. dan ini menyisakan pertanyaan yang mendalam,
Sell heran kenapa dulu waktu menjadi peloper surat tidak ada orang yang 'say hello' atau gudmorning kepadanya atau bahkan terkesan mencueki dirinya. berbanding terbalik dg sekarang dimana orang 'malah' cenderung ingin mengucapkan say hello duluan. apa bedanya Sell sekarang dengan Sell dulu? padahal dia menganggap bisa juga pengacara-pengacara tersebut tidak lebih baik kualitasnya daripada peloper surat.
akhirnya dia menyimpulkan bahwa yang membedakan hanyalah 'perspective' dari orang-orang disekelilingnya yang dia sebut sebagai 'aristocrate prejudice' dimana anggapan ini akan menempatkan orang-orang tertentu sebagai golongan atas/aristokrat yang dipandang lebih tinggi dari orang dibawahnya. padahal tidak ada yang membedakan dari segi kualitas kepribadian dan pola pikir. tidak ada ukuran mutlak bagi seseorang untuk mendapatkan 'aristocrate prejudice' selain anggapan-anggapan dari orang lain di sekitarnya.
lalu, apa yang membedakan penghormatan kepada direktur dan sikap acuh dengan office boy? satu hal yang sangat mungkin bisa dijadikan ukuran adalah perspektif kita tentang sebuah nilai.
jas, mobil, gelar, jabatan, dasi, dan mungkin merek telah menjadi sebuah nilai yang harus diperhatikan. itu dianggap sebagai sebuah simbol yang harus ditaati seperti sebuah agama yang berhasil menyihir manusia dengan dogma-dogmanya. sehingga sekarang orang harus bermobil, pake dasi dan ber jas dulu kalau ingin dihormati orang lain. bahkan untuk kalangan tertentu, merek mobil, sepatu sampai bau parfumpun bisa menentukan seseorang mendapat 'aristocrate prejudice'
di satu sisi; kerja keras, kesungguhan, ikhlas, taat, patuh, dan mungkin ketakutan tidak dilihat sebagai sebuah profesionalitas dari seorang tukang loper surat. makanya dulu ada anekdot kalau sudono salim dan sofyan wanandi sering pake celana kolor kalau masuk cendana. alamak, presidenpun harus terkesima oleh aristocrate prejudicenya 'para cina tersebut.'
di masjid univ lancaster, tempat saya sering tiduran siang juga bisa didapati pemikiran aristokrat seperti ini. misalnya, sejak saya disini hampir satu tahun, tak sekalipun saya mendapati orang-orang Turki yang jadi imam atau khotib jumat. padahal jumlah mereka sgt banyak. yang sering menjadi khotib adalah orang-orang dari timur tengah dan baru-baru ini ada orang Malaysia. lalu dimana orang Indonesia?
berdasarkan teori diatas, saya menyimpulkan bahwa 'masih ada anggapan' yang mengatakan bahwa orang timur tengah itu masih islami dibanding dg org islam dari negara lain. orang-orang Turki tidak diberi kesempatan menjadi imam karena konsep negaranya adalah sekuler, sebuah kata-kata yang asing dan diharamkan oleh mahzab wahabi yg byk dianut oleh negara timur tengah.
indonesia, meskipun sebagai negara dg penduduk yang beragama islam terbesar didunia tidak masuk dlm perhitungan karena konsep negaranya malah sangat asing, teologi pancasila yang dianggap sebagai jalan tengah antara hukum islam dan sekularisme.
kemudian, mungkinkah orang-orang yang masih mempunyai 'anggapan aristokrat' ini nantinya akan menyadari bahwa menghormati Sell sebagai tukang loper surat sama pentingnya dengan mereka menghormati direktur? atau mereka harus menunggu seperti Dahlan Iskan dulu, tentunya dengan permasalahan yang berbeda?????
De Lionine,
27/07/09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar