"Hai, Buon Giorno......!!" sapaku kepada seorang gadis yang sedang sibuk memilah sayuran di toko di Pasar Lancaster, sebuah kota kecil di sebelah utara Manchester, tempat dimana aku belajar Master.
Aku tahu Buorn Giorno bukanlah kata yang tepat untuk menyapanya karena itu artinya selamat pagi, padahal saat itu sudah jam 3 sore. tapi itulah bahasa Italia yang masih aku ingat sampai sekarang. Si gadis yang mendengar kata bukan dari bahasa Inggris tersebut langsung menoleh ke belakang.
Hai, good afternon..! how are you doing?
senyumnya yang tidak asing buatku itu masih selalu mengambang ketika dia berbicara kepada orang lain. sikapnya yang ramah masih tetap seperti dulu ketika aku pertama kali bertemu dia di depan perpustakaan kampus di bulan Oktober tahun lalu. Dialah Alexandra Melandri, seorang mahasiswi cerdas yang menempuh tingkat doktoral bidang Politik dan Hukum Internasional di University of Lancaster. sebelumnya dia telah menamatkan Master di bidang Feminisme dan HAM dari University College of London (UCL), salah satu perguruan tinggi terkemuka yang berlokasi di London. satu-satunya yang membedakan adalah pikiranku tentang arti senyuman dia, apakah itu masih sama artinya ketika kita pertama kali bertemu atau senyuman itu menyembunyikan sebuah kebencian yang luar biasa kepadaku. Aku berfikir dia tentu masih ingat kejadian di Bulan Januari kemarin. Aahhhh,.... tapi aku tidak mau berfikir negatif dan berusaha membalas sapaannya secepatnya.
iam fine..! when did you come back? i thought that you were still in Italy!?
aku berusaha membuka percakapan meskipun sebenarnya aku tahu bahwa dia sudah di Lancaster seminggu yang lalu tapi belum pernah bertemu dengannya.
O, I came back five days ago but actually i didnt want to come back because i dont like this place, i told you about it many times, didnt i? memang dia selalu mengatakan itu kepadaku di hampir setiap pembicaraannya ketika kita masih sering bertemu di perpustakaan. aku tahu bahwa dia tipe cewek metropolis yang suka pergi ke kafe tapi juga tidak pernah clubbing. meskipun begitu dia juga suka sekali bergaul dengan banyak orang. tetapi Lancaster adalah kota kecil yang tidak punya banyak tempat hiburan dan orang-orang yang individualis semakin membuatnya depresi berat.
"But anyway, i finish shopping today because i only need to buy tomato and carrot. would you like to have a cup of tea? there is a cafe shop around here.." sambungnya sebelum aku menjawab pertanyaannya.
itu adalah ajakan pertamanya sejak tiga bulan yang lalu karena aku belum pernah bertemu dengannya karena dia di Italia.
"o..sure! but i have to go home at 5pm because i must work on my dissertation again, its okey?"
sebuah jawaban yang menurutku diplomatis karena jika tidak demikian, aku akan menghabiskan waktuku di cafe seharian karena keasyikan ngobrol. memang orang Italia terkenal dengan kemampuan bahasa dan diplomasinya. mungkin dikarenakan struktur bahasa Italia sangat mirip dengan bahasa Arab yang njelimet sehingga mereka mudah untuk berkata-kata dalam bahasa Inggris. beda sama aku yang tata bahasa Indonesia aja masih belum sempurna. makanya aku tidak berhasil belajar bahasa Italia meskipun sudah di privat Alexandra selama dua bulan. bagiku bahasa Italia sama sulitnya dengan nahwu & saraf, dua cabang ilmu dalam bahasa Arab yang aku pelajari ketika di pesantren. ilmu tersebut digunakan untuk memahami makna dan struktur kalimat dalam bahasa Arab. bagiku, dua ilmu tersebut juga sama sulitnya dengan Matematika dan Fisika.
"ok, thats fine, lets go!" jawabnya singkat. aku kemudian mengikutinya.
selang beberapa menit, kita masuk di sebuah kafe di tengah pasar. tempatnya tidak terlalu luas dan pengunjungnya banyak sekali. hampir semua tempat duduk penuh kecuali satu meja dengan dua kursi tepat di tengah cafe. tidak ada pilihan lain. padahal aku tahu Alexandra suka sekali mojok karena dia bisa berlama-lama ngobrol. tubuhnya yang tambun bisa disandarkan di jok sofa sehingga dia tidak mudah capek.
"its better if you stay here while iam ordering a drink? because if we order together, there will be other persons sitting on these chairs, ok!"
perkataan ini masih sama persis dengan ketika aku sering diajak Alexandra ke Pizzetta Cafe, sebuah kafe milik orang Turki di kampus. dia selalu memastikan bahwa dia harus punya kursi ketika selesai memesan minuman...sebuah perpaduan antara perfeksionis dan diplomasi politik yang sempurna. tetapi juga sering dibumbui oleh kemauan kerasnya yang mewakili watak seorang feminisme tulen. maklum, dia adalah jebolan UCL dengan predikat Cum Laude, sebuah pencapaian akademik yang sangat sulit aku gapai.
"ok, its sound better," sahutku.
what do you want to drink? i want to have hot chocolate. dia meletakan barang belanjanya sambil mengeluarkan dompet dari tas punggung yang selalu dibawanya. Hot Chocolate adalah minuman favoritnya. dia sering kali pesan minuman yang terbuat dari cokelat panas yang diatasnya diberi marsmelo tersebut setiap kali ke kafe.
"a cup of tea with sugar please..!"
sahutku sambil memberikan uang 1.75 pound kepadanya. bagiku 1.75 pound atau setara dengan 25 ribu rupiah merupakan harga yang sangat mahal. jika di Indonesia, harga segitu bisa untuk makan di rumah padang lengkap dengan minumannya. memang sudah menjadi kebiasaan di dunia barat bahwa mengajak seseorang untuk pergi makan atau minum bukan berarti mentraktirnya secara gratis. menurutku ini hanyalah sebuah media bagi seseorang untuk bisa saling berdiskusi atau sekedar berbicara ringan. maklum, sangat jarang sekali dijumpai obrolan antar staff atau pekerja ketika mereka di kantor. sangat berbeda dengan budaya di Indonesia dimana orang ngantor hanya untuk ngrumpi.
beberapa menit kemudian Alexandra kembali dengan membawa secangkir cokelat panas dan segelas teh dengan beberapa bungkus gula putih.
(bersambung.....)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar