Minggu, 19 September 2010

PEMILU-PEMILUKADA, MANIFESTO DISKRIMINASI ATAU DEMOKRASI?

‘PEMILU: MANIFESTO DEMOKRASI ATAU DISKRIMINASI?’

A. Pendahuluan
Undang-Undang Dasar 1945/Konstitusi Indonesia amandemen kedua mengakui dan menjamin hak asasi manusia secara luas. Beberapa ketentuan tentang hak asasi manusia adalah Pasal 28I ayat (2) Konstitusi yang melarang semua jenis diskriminasi atas dasar apapun dan menegaskan bahwa semua orang berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif tersebut. Pasal 28I ayat (4) lebih lanjut mengatur bahwa negara, yakni pemerintah bertugas untuk memenuhi hak asasi manusia. Pemenuhan hak asasi manusia disini harus diartikan sebagai kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap orang dari segala bentuk diskriminasi.

Substansi dari amandemen kedua tersebut berbeda dengan substansi amandemen pertama yang khusus mengatur kekuasaan negara, yakni Presiden. Sedangkan substansi dari amandemen kedua mengakui dan menjamin hak-hak fundamental warga negara dan penduduk Indonesia. Artinya, amandemen kedua Konstitusi Indonesia telah menyempurnakan aturan dasar mengenai jaminan dan pelaksanaan hak asasi manusia sebagai salah satu prasyarat bagi sebuah negara hukum dan sistem demokrasi yang dianut Indonesia.

Apalagi amandemen tersebut telah dilakukan lima tahun sebelum pemerintah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik. Selain itu, sebelumnya Indonesia juga sudah menetapkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Artinya, infrastruktur hukum untuk merealisasikan norma-norma tentang perlindungan hak asasi manusia dibidang diskriminasi seperti yang diatur didalam Konstitusi, UU No. 39/1999 dan Kovenan sudah tersedia dengan baik.

Pengakuan terhadap hak asasi manusia di Indonesia memang mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca runtuhnya rejim orde baru. Terbukanya kran demokrasi pasca reformasi diharapkan bisa menjadi salah satu media penting untuk merealisasikan pemenuhan dan perlindungan hak asasi manusia di masa mendatang. Bisa dikatakan bahwa sistem demokrasi dan konstitusi negara merupakan dua pilar penting untuk menegakan hak asasi manusia di Indonesia. Di satu sisi, konstitusi harus mampu mengatur tentang pengakuan, jaminan dan pemenuhan hak asasi manusia secara komprehensif dan disisi lain iklim demokrasi harus mampu memenifestasikan hak-hak fundamental yang diatur didalam konstitusi tersebut. Tujuan akhir demokrasi adalah menghilangkan semua jenis diskriminasi dengan menegakan persamaan hak untuk menciptakan terpenuhinya hak-hak fundamental manusia di segala bidang.

Salah satu menifestasi demokrasi terbesar di Indonesia adalah penyelenggaraan pemilihan umum (pemilu) dan pemilihan umum kepala daerah (pemilukada) yang diadakan setiap lima tahun sekali. Kedua pesta demokrasi itu menjadi media masyarakat untuk menyalurkan aspirasi politik dengan memilih presiden, wakil rakyat atau kepala daerah. Selain itu, juga memberikan ruang yang seluas-luasnya bagi mereka untuk ikut mencalonkan diri tanpa diskriminasi dalam bentuk apapun seperti yang diamanatkan oleh Konstitusi. Meskipun peyelenggaraan pemilu-pemilukada di Indonesia semakin meriah, namun pada praktiknya masih banyak menyimpan persoalan mendasar. Diantaranya adalah ketentuan mengenai larangan bagi mantan narapidana untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Permasalahan ini menunjukan bahwa iklim demokrasi di Indonesia belum sejalan dengan norma dasar konstitusi, khususnya mengenai penerapan prinsip non diskriminasi dalam kaitannya dengan peran serta masyarakat didalam pemilu-pemilukada.

Tulisan ini berusaha menjawab persoalan diatas dengan menganalisis aturan mendasar mengenai penyelenggaraan pemilu dan pemilukada di Indonesia, yakni Pasal 12 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 dan Pasal 58 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008. Bagian pertama akan menjelaskan norma dasar tentang diskriminasi dan batasan-batasan proporsional yang diperbolehkan dalam prinsip hak asasi manusia. Kemudian bagian kedua akan mengkaji peraturan perundang-undangan tentang pemilu-pemilukada berserta kasus-kasus diskriminasi yang menyertainya. Sedangkan bagian akhir akan menyimpulkan apakah pemilu-pemilukada sebagai manifestasi iklim demokrasi Indonesia merupakan manifesto diskriminasi atau demokrasi.

B. Non Diskriminasi dan Prinsip Proporsionalitas
Aturan tentang diskriminasi didalam instrumen internasional hak asasi manusia mengalami kemajuan yang pesat pasca ditandatanginya Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1945. Piagam PBB menyebutkan bahwa perlakuan dianggap diskriminatif jika membedakan perlakuan atas dasar ras, jenis kelamin, bahasa dan agama. Namun dalam perjalanannya, unsur-unsur diskriminasi semakin meluas. Misalnya, Kovenan Hak Sipil dan Politik menyebutkan yang termasuk dalam unsur-unsur diskriminasi adalah ras, warna kulit, jenis kelamin bahasa, agama, afiliasi politik, status kewarganegaraan, asal usul sosial dan hak milik.
Konstitusi Indonesia hanya sekali menyebut kata ‘diskriminasi,’ yakni di Pasal 28B ayat (2) dan tidak mengatur tentang diskriminasi lebih lanjut. Namun penjelasan diskriminasi bisa dilihat di Pasal 1 ayat (3) UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia yang menyatakan:

Diskriminasi adalah setiap pembatasan, pelecehan, atau pengecualian yang langsung ataupun tidak langsung didasarkan pada pembedaan manusia atas dasar agama, suku, ras, etnik, kelompok, golongan, status sosial, status ekonomi, jenis kelamin, bahasa, keyakinan politik, yang berakibat pada pengurangan, penyimpangan atau penghapusan, pengakuan, pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Jika melihat aturan diatas, UU No. 39/1999 mengenal unsur-unsur diskriminasi yang sanga luas dan jelas seperti yang ada di Kovenan Hak Sipil dan Politik. Artinya, penerapan hak untuk terbebas dari semua bentuk diskriminasi di Indonesia seharusnya bisa berjalan dengan baik karena tidak ada konflik hukum tentang prinsip non diskriminasi.

Hak untuk terbebas dari semua jenis diskriminasi adalah hak fundamental setiap manusia. Hak tersebut adalah hak universal, bukan keuntungan, tanggungjawab, keistimewaan, atau beberapa bentuk pemberian lainnya tetapi melainkan harus diberikan kepada semua orang sebagai akibat dari martabat seseorang sebagai manusia. Seseorang tidak perlu mempunyai status tambahan kecuali sifat alamiah manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Oleh karena itu konsep tentang diskriminasi bersifat universal karena mempunyai dimensi yang sama.
Didalam konsep hak asasi manusia, status manusia sebagai makhluk bermartabat yang berdimensi universal menyebabkannya berhak untuk menerima hak-hak fundental termasuk terbebas dari semua jenis diskriminasi. Oleh karena itu, sifat dasar hak asasi manusia yang universal tersebut, tidak mengenal stratifikasi sosial atau praktik-praktik lain yang membedakan status dasar manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Artinya, hak untuk terbebas dari semua jenis diskriminasi sebagai hak fundamental manusia harus diberikan kepada semua manusia tanpa melihat status sosial seseorang.

Didalam praktiknya, penerapan prinsip non diskriminasi seringkali berbenturan dengan batasan-batasan pemenuhan hak asasi manusia atas dasar kepentingan dan keamanan umum serta hak fundamental orang lain atau ‘prinsip proporsionalitas.’ Adapun unsur-unsur yang harus ada didalam prinsip proporsionalitas ada tiga. Pertama, sebuah peraturan yang ditujukan untuk membatasi hak dan kebebasan seseorang harus sesuai dengan fungsi perlindungan terhadap hak asasi manusia orang lain. Misalnya, seseorang dilarang memaksa orang lain memilih salah seorang kandidat karena pemaksaan tersebut bertentangan dengan hak orang yang dipaksa untuk bebas memilih berdasarkan hati nuraninya sendiri.

Unsur kedua yang harus dipenuhi adalah pembatasan tersebut harus merupakan instrumen pembatasan terakhir semata-mata untuk menciptakan ketertiban dan keamanan umum sebagai akibat dari adanya konflik tentang hak asasi manusia. Dengan satu syarat pembatasan tersebut harus berlaku bagi semua pihak untuk menghindari pembatasan yang diskriminatif. Sedangkan unsur yang ketiga adalah pembatasan boleh diberlakukan jika bersifat netral dan proporsional terhadap pihak-pihak yang harus dilindungi. Pembatasan tidak boleh dilakukan hanya kepada seseorang dengan alasan untuk melindungi kepentingan pihak lain, bukan berdasar pada hak fundamental orang lain. Artinya, semua pihak yang terlibat harus mendapatkan perlakuan yang sama.
Ketiga unsur tersebut merupakan prasyarat yang digunakan oleh negara dalam menentukan adanya pressing social need untuk membatasi hak asasi manusia. Artinya, kebutuhan unsur proporsionalitas tergantung dari masing-masing negara berdasarkan realitas yang berkembang di masyarakat sebagai dasar pengaturan hak asasi manusia. Seperti yang diatur didalam Pasal 28I ayat (4) Konstitusi, negara memang mempunyai hak untuk mengatur kehidupan masyarakat dengan cara melakukan pembatasan yang diatur didalam perundang-undangan. Sudah menjadi tugas negara untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum tetapi ia juga harus memastikan bahwa kebijakan yang berkaitan dengan pembatasan hak asasi manusia harus mempunyai dasar yang kuat, yakni memenuhi standar keperluan prinsip proporsionalitas.

Prinsip proporsionalitas didalam hak asasi manusia sangat penting dan erat kaitannya dengan prinsip non diskriminasi karena negara seringkali membatasi hak dan kebebasan individu-individu di wilayah hukumnya dengan alasan untuk menjaga ketertiban dan keamanan umum. Didalam konteks Indonesia, penegakan prinsip non diskriminasi menjadi sangat penting karena Konstitusi maupun UU No. 39/1999 Tentang Hak Asasi Manusia mengatur batasan-batasan tersebut. Aturan tentang pembatasan hak asasi manusia diatur didalam Pasal 28J ayat (2) UUD 1945, yakni:
“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat demokratis.”

Pasal 73 UU No. 39 /1999 tentang Hak Asasi Manusia juga mengatur bahwa:
“Hak dan kebebasan yang diatur dalam Undang-Undang ini hanya dapat dibatasi oleh dan berdasarkan undang-undang, semata-mata untuk menjamin perngakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia serta kebebasan dasar orang lain kesusilaan, ketertiban umum dan kepentingan bangsa.”
Ketentuan dari kedua pasal tersebut pada prinsipnya sudah memenuhi standar keperluan prinsip proporsionalitas karena pembatasan dilakukan semata-mata untuk menjamin hak fundamental orang lain dan unsur-unsur lain didalam prinsip proporsionalitas. Namun yang menjadi persoalan adalah adanya ketentuan ‘pertimbangan moral dan nilai-nilai agama’ didalam konstitusi untuk menentukan pembatasan terhadap hak asasi manusia. Ketentuan ini menjadi bermasalah karena moral dan agama merupakan dua sumber nilai yang tidak rigit, multi tafsir dan berkembang berdasarkan konteks lokalitas budaya. Selain itu tidak ada institusi legal di Indonesia yang berwenang untuk menafsirkan moralitas dan agama kecuali yang sudah tertulis didalam peraturan perundang-undangan.

C. Militant Democracy Sebagai Bentuk Diskriminasi
Ada dua macam demokrasi didalam konsep hak asasi manusia berkaitan dengan partisipasi politik warga negara, yakni procedural democracy dan militant democracy. Procedural democracy memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada partai politik dan perseorangan untuk ikut serta dalam proses demokrasi tanpa batasan apapun. Sedangkan militant democracy memberlakukan pembatasan-pembatasan kepada partai politik atau perseorangan karena dianggap bisa ‘membahayakan ketertiban dan keamanan umum serta hak fundamental orang lain.’ Beberapa sebabnya adalah karena adanya paham fundamentalisme, ekstremisme atau ideologi lain yang dianggap bisa mengancam proses demokrasi dan keamanan negara. Sedangkan ideologi lain bisa diartikan sebagai paham yang bertentangan dengan konstitusi negara. Misalnya, kasus pelarangan Partai Hizb-ut-Tahir di Inggris. Setelah peristiwa bom London tahun 2005, Perdana Menteri Inggris, Tony Blair melarang Partai Politik Hizb-ut-Tahrir karena partai politik tersebut mengampanyekan penerapan Hukum Islam di semua negara.

Contoh yang kedua adalah pelarangan Partai Politik Refah di Turki dimana Pengadilan Konstitusi Turki membubarkan Partai Refah yang mengusung ideologi agama radikal. Padahal pada waktu dibubarkan, Partai Refah adalah partai pemenang pemilu. Hal ini dikarenakan ideologi Partai Refah bertentangan dengan Konstitusi Negara Turki yang berhaluan sekuler. Keputusan tersebut didasarkan pada pendapat Mr. Ibrahim Halil Celik dan Mr. Necmettin Erbakan yang menegaskan bahwa Partai Refah adalah satu-satunya partai di Tukri yang bisa menerapkan supremasi hukum berdasarkan Al Quran. Mereka juga menegaskan bahwa perubahan sistem sekuler di Turki bisa dilakukan dengan damai atau pertumpahan darah. Berdasarkan fakta tersebut, Pengadilan Konstitusi Turki membubarkan Partai Refah atas dasar kebutuhan yang sangat mendesak.

Larangan yang dilakukan oleh Blair dan Pengadilan Konstitusi Turki semata ditujukan untuk melindungi hak-hak fundamental masyarakat dan untuk melindungi keamanan nasional negara tersebut. Partai politik boleh melakukan perubahan didalam suatu negara dengan syarat harus memenuhi kaidah hukum yang berlaku. Selain itu, perubahan yang diusung harus sesuai dengan prinsip-prinsip fundamental demokrasi dan tidak bertentangan dengan konstitusi negara.

Sejak orde baru, sistem demokrasi yang berlaku Indonesia menerapkan militant democracy dengan melarang partai politik dan perseorangan yang berpaham komunis. Padahal sebelumnya orde lama justru menerapkan procedural democracy karena tidak melarang suatu paham ideologi tertentu untuk berpartisipasi didalam pemilu. Artinya, proses kebebasan berpolitik di Indonesia sebenarnya mengalami kemunduran sampai sekarang. Hal ini disebabkan beberapa peraturan yang berkaitan dengan demokrasi seperti undang-undang pemilu atau pemilukada menerapkan pembatasan yang tidak proporsional.

Aturan yang diskriminatif didalam perundang-undangan Indonesia bidang pemilu-pemilukada bisa dilihat di Pasal 12 huruf g Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 Tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 12 huruf g UU No. 10/2008. Pasal 12 huruf g UU No. 10/2008 menegaskan bahwa syarat seseorang bisa mencalonkan sebagai anggota DPR, DPD atau DPRD adalah tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara limat tahun atau lebih. Selanjutnya Pasal 58 huruf f UU No. 12/2008 juga menyatakan bahwa seseorang yang pernah dijatuhi hukuman penjara lima tahun atau lebih tidak bisa mencalonkan diri menjadi kepala atau wakil kepala daerah.

Jika mengacu pada Pasal 28J ayat (2) dan Pasal 73 UU No. 39/1999, kedua aturan tentang pembatasan hak untuk mencalonkan tersebut telah sesuai aturan yang berlaku. Namun jika dikaitkan dengan pada Pasal 1 ayat (3) UU No. 39/1999, kedua aturan tersebut menjadi diskriminatif karena pembatasan diberlakukan berdasarkan status sosial seseorang sebagai mantan narapidana. Dasar penerapan dari kedua pembatasan tersebut juga tidak menyebutkan adanya hak-hak fundamental orang lain yang terganggu atau terancamnya keamanan negara dan ketertiban umum. Artinya, pembatasan terhadap hak-hak seseorang memang diperbolehkan asalkan tidak melanggar ketentuan tentang prinsip non diskriminasi dan memenuhi prinsip proporsionalitas.
Tidak ada hubungannya antara pencalonan mantan narapidana sebagai anggota DPR, DPD, DPRD maupun Kepala Daerah dengan dilanggarnya hak fundamental orang lain. Selain itu, bukan berarti mantan narapidana yang menjadi wakil rakyat atau kepala daerah bisa mengancam keamanan negara atau pun ketertiban umum di masyarakat. Mantan narapidana juga bukan berarti telah melanggar konstitusi atau mengancam eksistensinya pada waktu menjabat selama yang bersangkutan tidak menganut paham atau ideologi yang bertentangan dengan Konstitusi. Artinya, dasar penetapan aturan tersebut tidak memenuhi asas pressing social need sama sekali.

Kedua peraturan yang melarang mantan narapidana untuk berpartisipasi didalam pemilu-pemilukada justru melanggengkan prasangka di masyarakat bahwa Mantan narapidana adalah orang pesakitan yang tidak boleh mempunyai hak yang sama di bidang politik. Artinya, peraturan tersebut juga merendahkan martabat mantan narapidana karena keputusan untuk memberikan hak-hak fundamental kepada manusia masih melihat latar belakang sosialnya, bukan berdasarkan statusnya sebagai manusia yang bermartabat. Kewenangan negara didalam mengatur hak asasi manusia tidak boleh dimaknai sebagai kewenangan tanpa batas dengan menerbitkan peraturan perundang-undangan diskriminatif.

Pasal 58 huruf f Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 telah memakan korban didalam Pemilukada di Bengkulu Selatan. Dirwan Mahmud yang berhasil memenangkan pemilukada di daerah tersebut digugat ke Mahkamah Konstitusi karena yang bersangkutan pernah di penjara 7 (tujuh) tahun di LP Cipinang. Celakanya, Mahkamah Konstitusi memutuskan bahwa pemilukada di Bengkulu Selatan cacat hukum dan harus diadakan pemilihan ulang. Keputusan MK tersebut berdasarkan Pasal 22E ayat (1) Konstitusi yang menyebutkan bahwa Dirwan Mahmud melanggar asas kejujuran. MK lupa bahwa masih ada asas yang lebih mendasar lagi yakni pembatasan proporsionalitas yang diatur didalam Pasal 28J ayat (2) Konstitusi dan prinsip non diskriminasi yang diatur didalam Pasal 1 ayat (3) UU No. 39/1999.

D. Kesimpulan
Peraturan-peraturan pemilu-pemilukada yang tidak menganut prinsip non diskriminasi dan melanggar kepatutan proporsionalitas seharusnya diamandemen agar tidak menciderai demokrasi. Selain itu juga untuk menciptakan harmonisasi aturan mendasar tentang hak asasi setiap orang didalam Konstitusi dengan manifestasi demokrasi di Indonesia. Didalam konteks hak asasi manusia, pemerintah menjalankan dua fungsi sekaligus. Pertama, pemerintah sebagai pemegang kekuasaan berwenang mengatur kehidupan hak asasi manusia agar tidak melanggar hak fundamental orang lain serta mengganggu ketertiban umum dan mengancam keamanan nasional. Kedua, pemerintah juga mempunyai kewajiban untuk memenuhi hak asasi bagi semua warga negara dan penduduk di Indonesia yang salah satu caranya adalah dengan mengeliminir berbagai kebijakan yang masih diskriminatif.

Eksistensi kedua aturan yang membatasi peran serta mantan narapidana untuk berpartisipasi dalam pemerintahan mengandung unsur-unsur diskriminasi karena pembatasan tersebut menyebutkan status sosial seseorang. Oleh karena itu, aturan tersebut tidak menghargai manusia sebagai makhluk yang bermartabat karena menganggap orang yang tidak pernah dipenjara lebih berhak untuk menjabat posisi sebagai kepala daerah atau wakil rakyat. Artinya, substansi yang ada didalam kedua peraturan tersebut merupakan prasangka negatif yang bisa berdampak pada stigma sosial di masyarakat tentang mantan narapidana. Pada akhirnya pemenuhan hak asasi manusia di bidang hak politik di Indonesia tidak akan berjalan dengan baik. Pemerintah dianggap telah melanggar hak asasi manusia selama membiarkan pasal-pasal tersebut masih diberlakukan. Pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak hanya sebatas ‘kegagalan’ untuk memberikan hak asasi manusia secara langsung melainkan juga ‘membiarkan’ terjadinya pelanggaran terhadap hak-hak tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar