Minggu, 19 September 2010

JENIS RELATIVISME

Tidak semua relativisme mempunyai pandangan yang sama tentang hak asasi manusia internasional. Ada yang menolak semua jenis universalisme tetapi ada juga yang menerima universalisme selama paham tersebut tidak merusak keyakinan inti dari budaya mereka. Oleh karena itu, perlu juga kiranya kita diskusikan beberapa jenis relativisme didalam budaya.

Jack Donnelly membedakan relativisme budaya kedalam tiga kategori. Pertama, penganut ‘relativisme budaya radikal’ yang mengatakan bahwa budaya adalah satu-satunya sumber kebenaran dan moral atau aturan-aturan hukum lainnya. Perspektif ini menyebabkan lahirnya fundamentalisme yang menolak semua nilai yang berasal dari luar. Didalam konteks budaya, perspektif tersebut bisa melahirkan pemikiran-pemikiran yang mengagungkan budaya sendiri dan memandang rendah budaya lain atau ‘cauvinisme.’ Sedangkan didalam konteks agama, pemikiran seperti itu bisa melahirkan adanya radikalisme dan fundamentalisme agama yang menolak kebenaran agama di agama lain. Penganut relativisme radikal ini menilai bahwa budaya, tradisi atau agama mereka mengandung ‘nilai-nilai agung’ yang tidak bisa tergantikan oleh nilai-nilai yang lain. Oleh karena itu, perspektif tersebut menolak semua norma-norma dari luar yang dianggap bisa merusak nilai inti dari agama tersebut.

Didalam konteks hak asasi manusia, tentu relativisme radikal ini menolak ke-universal-an hak asasi manusia. Ada beberapa alasan yang mendasari pendapat ini. Misalnya mereka curiga bahwa ada ideologi lain dibalik hak asasi manusia seperti westernisasi atau orientalisme untuk melemahkan ideologi penganut relativisme. Ada juga yang beranggapan bahwa mereka tidak perlu menerapkan hak asasi manusia internasional karena ideologi mereka sudah sepenuhnya menjamin hak tersebut.

Kedua, penganut ‘relativisme budaya kuat’ dimana mereka menganggap bahwa budaya adalah sumber utama dari kebenaran dari hak atau aturan. Sementara pada saat yang bersamaan, penganut faham ini menerima sebagian kecil dari hak-hak dasar manusia yang berasal dari luar. Didalam konteks agama, perspektif ini bisa menerima norma-norma yang tidak ‘menyerang’ budaya inti dari agama tersebut yakni ‘keyakinan.’ Penyerangan terhadap keyakinan tersebut dianggap bisa menghilangkan nilai-nilai suci dari agama tersebut. Sedangkan didalam konteks budaya, penyerangan terhadap budaya inti dianggap bisa merubah struktur masyarakat. Seperti misalnya ‘kesetaraan gender’ yang dikembangkan oleh Konvensi tentang Semua Jenis Diskriminasi terhadap Perempuan dianggap menyerang ‘hegemoni’ laki-laki terhadap perempuan di dalam beberapa ajaran agama dan budaya tertentu. Salah satu diantara kesetaraan gender yang ditolak adalah ‘dilarangnya praktik poligami’ didalam pernikahan.

Ketiga, penganut ‘relativisme budaya lemah’ dimana kelompok ini menganggap bahwa budaya adalah sumber kebenaran yang sekunder atas hak dan norma-norma. Perspektif ini juga bisa disebut sebagai perspektif liberal karena penganut paham ini bisa menerima semua jenis nilai yang berasal dari luar selama nilai-nilai tersebut dianggap positif. Akan tetapi penganut perspektif ini tidak serta merta meninggalkan identitas lama karena mereka masih mempraktikan nilai-nilai positif yang berasal dari budaya tersebut. Sebaliknya, ketika nilai tersebut dilihat mengandung unsur yang bersifat sektarian dan primordial, maka kelompok ini bisa mendadopsi nilai dari luar untuk menyempurnakan nilai yang berasal dari budaya mereka.

Beberapa hak fundamental yang dianggap mengganggu atau menggantikan budaya inti dari paham relativisme radikal ini adalah hak beragama, hak untuk hidup, dan kesetaraan gender. Di beberapa kesempatan, konsep tentang kebebasan beragama juga menghadapi ‘konflik hukum’ yang beragam dengan perspektif relativisme budaya yang kuat. Ada beberapa klausul didalam hak asasi manusia yang bersinggungan dengan relatifisme budaya yang kuat. Seperti misalnya, mereka mengakui keberadaan agama lain tetapi melarang seseorang dari agamanya untuk berpindah ke agama lain. Contoh lainnnya adalah mereka menghormati agama lain atas dasar mengakui hak penganut agama tersebut tetapi tidak menerima ketika ajaran agamanya ditafsirkan secara berbeda. Oleh karena itu kemudian muncul istilah ‘ajaran agama yang menyimpang, agama sesat atau menyekutukan Tuhan.’

Pada umumnya hak asasi manusia tidak mengalami kesulitan dalam menghadapi relativisme budaya yang lemah atau ‘liberal’ karena perspektif ini bisa menerima semua etika dan moralitas dari masyarakat luar selama nilai-nilai tersebut dianggap positif. Mereka berusaha mengembangkan sebuah perspektif yang universal, tidak terkooptasi dengan ajaran agama atau kepercayaan tertentu dan praktik-praktik budaya atau tradisi yang bersifat sektarian dan primordial. Pemikiran yang terbuka dari kelompok ini dimaksudkan untuk meningkatkan kualitas dari budaya mereka dengan menghilangkan semua praktik yang diskriminatif dari budaya, tradisi atau agama.
Perspektif ini juga ingin memperkuat kelompok yang termarjinalkan secara politik, sosial, dan budaya yang selama ini menjadi korban praktik-praktik yang diskriminatif tersebut. Misalnya, hak perempuan didalam isu kesetaraan gender, kesetaraaan hak dan kebebasan berdasarkan ras, warna kulit, jenis kelamin atau agama, atau memperkuat sekte-sekte agama baru atau minoritas didalam hak kebebasan beragama.

Didalam masyarakat yang masih berpegang teguh pada primordialisme agama, budaya atau tradisi, perspektif liberal mendapat tantangan yang sangat keras. Keadaan ini mengakibatkan implementasi hak asasi manusia menjadi sulit. Alasan pertama adalah karena penerapan hak tersebut sangat sulit dilakukan tanpa mengadopsi nilai-nilai lokalitas budaya setempat. Kedua, lembaga-lembaga internasional tentang HAM tidak mengakui semua jenis eksistensi dari relativitas budaya yang mengandung unsur yang diskriminatif. Budaya tersebut dilarang dengan alasan bahwa banyak dari manifestasi budaya tersebut digunakan untuk melakukan pembatasan terhadap hak asasi manusia. Nilai dari budaya yang bersifat lokal tidak bisa diterapkan ketika manifestasinya bisa mengganggu atau melanggar implementasi dari hak asasi manusia. Seperti misalnya moralitas dan etika yang berasal dari agama-agama resmi suatu negara seringkali mendiskriminasi atau membatasi ruang lingkup hak atas kebebasan beragama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar