Rabu, 08 September 2010

MENGIKIS RADIKALISME DAN DISKRIMINASI

Pemerintah dan DPR mempunyai agenda penting untuk menata keberadaan organisasi kemasyarakatan/ormas di Indonesia. Hal ini disebabkan sepak terjang beberapa ormas memang sudah sangat mengganggu ketertiban umum dan mengancam kesatuan bangsa. Jumlah kekerasan yang dilakukan oleh ormas cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Dalam kurun waktu tiga tahun terakhir, jumlah kekerasan meningkat drastis. Pada tahun 2007 ada sepuluh kasus dan meningkat tajam menjadi 49 kasus di tahun 2010 (Kompas, 31/08/2010).

Beberapa ormas memang tak ubahnya seperti kartel narkotika. Mereka berebut wilayah kekuasaan tanpa memperdulikan kepentingan negara. Selain itu, beberapa ormas juga memosisikan dirinya sebagai hakim jalanan karena semua persoalan harus diselesaikan dengan kekerasan. Perilaku bar-bar mereka membuat Indonesia seperti negara tanpa hukum. Hukum ditangan mereka bisa berubah wujud menjadi lemparan batu, pentungan, pemukulan dan bahkan senjata tajam. Mereka tidak segan untuk melakukan tindakan anarkhisme terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang tak sepaham atau dianggap bisa mengganggu kepentingan kelompoknya.

Jika dibiarkan terus berlanjut, tindakan destruktif dan represif mereka bisa mengganggu keamanan umum yang pada akhirnya mengakibatkan konflik horizontal di masyarakat. Keberadaan ormas inilah yang seharusnya dibubarkan karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Massa.

Diskriminasi
Kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah untuk menata keberadaan ormas dengan mengamandemen undang-undang tentang ormas terkesan sudah terlambat. Namun keinginan untuk mengamandemen peraturan tentang ormas harus didukung oleh semua pihak untuk menciptakan suasana yang kondusif di masyarakat.

Undang-undang tentang ormas memang sudah seharusnya diamandemen karena sering mengakibatkan pelanggaran sistemik. Tidak saja oleh ormas melainkan juga oleh pemerintah yang menyalahartikan larangan substansi peraturan dalam undang-undang. Selain itu, beberapa diantaranya juga sudah kadaluarsa karena tidak sejalan dengan semangat reformasi dan demokrasi yang menjamin hak asasi manusia.

Misalnya, aturan pasal 16 yang melarang ormas untuk mengembangkan paham marxisme/komunisme dan ‘paham lain’ yang bertentangan dengan Pancasila. Pada praktiknya, peraturan tersebut sering digunakan oleh pemerintah justru untuk membubarkan ormas-ormas yang dinilai menyimpang dari keyakinan kelompok mayoritas. Misalnya, pemerintah melarang sekte-sekte agama minoritas yang berbeda secara keyakinan dengan salah satu agama mayoritas. Padahal ormas tersebut tidak pernah mengganggu ketertiban umum seperti yang diatur dalam pasal 13 sebagai prasyarat yang digunakan oleh pemerintah untuk membubarkan ormas.

Namun justru sebaliknya, ormas yang selama ini sering membuat onar seakan ‘kebal’ terhadap ketentuan pasal 13 tersebut. Mereka sudah secara nyata mengganggu ketertiban umum. Selain itu juga sering memosisikan aparat penegak hukum sebagai penonton perilaku ugal-ugalan mereka. Ormas-ormas inilah yang juga membuat hukum seperti impoten dan memaksa pemerintah kehilangan tajinya untuk membubarkan mereka. Kini sudah seharusnya pemerintah membekukan ormas-ormas yang mengancam ketenteraman di masyarakat karena sepak terjangnya sudah mengganggu ketertiban umum.

Perlunya Pancasila
Salah satu aturan yang dianggap kontroversial dari undang-undang tersebut adalah ketentuan tentang diberlakukannya Pancasila sebagai asas tunggal yang diatur dalam pasal 2 ayat (1). Awal mulanya, penetapan asas tunggal ini mendapatkan reaksi yang beragam dari beberapa ormas, khususnya ormas berbasis agama. Penggunaan asas tunggal ini dinilai oleh beberapa kelompok Islam sebagai akal-akalan orde baru untuk mengawasi aktifitas ormas yang pada akhirnya bisa mengebiri perkembangan politik Islam. Penolakan juga disuarakan oleh beberapa kelompok Kristen yang menganggap bahwa ketentuan tersebut bisa menhambat dinamika kehidupan beragama karena pemerintah bisa mengintervensi ormas agama.

Namun, mayoritas ormas agama justru menerima aturan pasal 16 yang mengatur tentang hak pemerintah untuk membubarkan organisasi kemasyarakatan yang menganut dan mengembangkan paham atau ajaran komunisme/marxisme atau ajaran yang bertentangan dengan Pancasila dan konstitusi negara dalam segala bentuk dan perwujudannya. Sampai sekarang beberapa ormas agama yang menentang asas tunggal tetap menerima ketentuan tentang larangan ajaran komunisme dan menggunakan aturan pasal ini untuk membubarkan ormas yang dinilai menyimpang. Artinya, aturan pasal 16 ini juga menyebabkan terjadinya kekerasan sistemik karena pemerintah melalui departemen agama melarang sekte-sekte agama dan beberapa ormas bertindak sebagai eksekutor di lapangan.

Sebenanya, undang-undang tentang ormas pada dasarnya sangat visioner karena memberikan ruang yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam pembangunan bangsa. Salah satu caranya adalah dengan memberikan kebebasan kepada masyarakat untuk membentuk perhimpunan berdasarkan kesamaan kegiatan, profesi, agama atau ideologi yang selaras dengan Pancasila.

Pancasila menjadi sangat penting karena perkembangan ideologi di masyarakat sangat rentan mengakibatkan konflik horizontal yang pada akhirnya bisa merusak kesatuan bangsa. Pancasila adalah ideologi terbuka yang tidak perlu dipertentangkan dengan agama manapun. Tidak ada satu pasal pun di Undang-Undang tentang Ormas tersebut yang berusaha mempertentangkan Pancasila dengan agama. Agama tidak mungkin dipancasilakan dan Pancasila tidak mungkin diagamakan karena diantara keduanya tidak ada pertentangan nilai.

Jika dulu ada beberapa ormas yang menolak Pancasila sebagai asas tunggal, sekarang justru beberapa ormas seakan telah meninggalkan nilai-nilai Pancasila. Mereka memberlakukan hukum rimba untuk memerangi kelompok lain yang berbeda. Aksi jalanan mereka tidak pernah menyuarakan Pancasila dan kepentingan bangsa melainkan hanya mengutamakan kepentingan mereka sendiri dan mengatasnamakan pemahaman agama yang sangat sempit. Ormas-ormas inilah yang sudah jelas meninggalkan pancasila sebagai ideologi terbuka dan layak untuk dibubarkan.

Celakanya, ormas-ormas yang justru meyakini dan menyuarakan Pancasila sebagai ideologi terbuka justru mengalami perlakuan yang diskriminatif. Mereka juga sering mengalami tindak kekerasan. Sedangkan ormas-ormas yang secara nyata sudah meninggalkan Pancasila karena tindakan anarkhisme mereka justru dengan seenaknya menjadi hakim jalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar