NESTAPA PEMBANTU RUMAH TANGGA

Berbagai jenis kekerasan terhadap pembantu rumah tangga (PRT) masih terjadi, baik didalam maupun di luar negeri. Nasib para korban yang mayoritas perempuan ini sangat tragis. Ada yang tidak digaji, bekerja lebih dari 48 jam perminggu, disiksa majikan, mengalami pelecehan seksual dan bahkan harus kehilangan nyawa. Semua kekerasan tersebut terus terulang karena proteksi hukum terhadap PRT sangat lemah.

Belum lagi anggapan sebagian pengguna jasa ini bahwa pembantu adalah ‘budak’ yang bisa diperlakukan dengan seenaknya. Banyak majikan yang tidak memberikan libur kerja. Pembantu juga harus mengerjakan berbagai jenis pekerjaan rumah hampir 24 jam non stop tanpa asuransi keselamatan kerja layaknya sektor pekerjaan lainnya. Itulah yang menyebabkan profesi pembantu sebagai satu-satunya profesi yang memerlukan keahlian ‘super khusus.’ Tidak hanya keterampilan kerja melainkan juga membutuhkan stamina yang luar biasa.

Namun ternyata pemerintah belum tergerak untuk melindungi PRT. Sangat ironis karena kekerasan terhadap jutaan PRT seakan sudah menjadi tradisi baik didalam maupun luar negeri. Profesi pembantu secara sistemik dilemahkan karena ketidakpedulian pemerintah dan tradisi masyarakat feodal yang memperbudak profesi pembantu. Banyak majikan yang menuntut diperlakukan bak raja dengan pelayanan yang sempurna tanpa cacat.

Urgensi Perlindungan
Berbagai kekerasan yang menimpa PRT tidak bisa dilihat secara imparsial. Satu bentuk kekerasan tidak hanya melanggar hak si korban, melainkan juga mengindikasikan betapa rendahnya penghargaan hak asasi manusia di negara tersebut. Menghukum pelaku hanyalah tindakan skunder untuk memberikan efek jera bagi pelaku, tapi itu bukanlah tindakan primer untuk melindungi manusia dari segala bentuk kekerasan.

Hukuman pidana bagi pelaku juga tidak menjamin bahwa korban akan mendapatkan rehabilitasi moril dan materiil. Padahal sebagai masyarakat kelas bawah, banyak PRT yang menjadi tulang punggung keluarga. Oleh karena itu, sudah selayaknya ada aturan hukum yang secara khusus mengatur hak-hak PRT baik selama dalam masa kontrak kerja atau diputusnya kontrak kerja karena ada kejadian luar biasa. Misalnya, majikan yang melakukan kekerasan harus dipidana dan membayar sejumlah denda kepada korban.

Selama ini, mayoritas PRT tidak mempunyai pengetahuan hukum yang memadai. Hal ini mengakibatkan PRT yang menjadi korban kekearasan tidak tahu proses hukum untuk menuntut hak-hak mereka. Seringkali mereka lebih memilih untuk melarikan diri dari rumah, melakukan kekerasan balik terhadap majikan atau tetap bertahan dari kekerasan yang dialaminya.

Cara-cara seperti ini membuktikan bahwa upaya preventif seperti peraturan perundang-undangan untuk melindungi PRT sangat mendesak. Peraturan hukum berguna untuk memberikan kepastian hukum tentang hak dan kewajiban dari kedua belah pihak. Peraturan juga harus memuat sanksi baik pidana maupun perdata bagi pihak yang melanggarnya, utamanya majikan. Ini sangat penting karena selama ini kekerasan sering dilakukan oleh majikan.

Ironi di Luar Negeri
Kasus-kasus kekerasan terhadap PRT di luar negeri tidak kalah mengerikan. Nasib para tenaga kerja Indonesia (TKI) tersebut lebih tragis meskipun banyak juga yang berhasil mengais rejeki. Kekerasan terjadi karena sistem yang ada ‘menghimpit’ hak-hak para PRT pekerja. Misalnya mereka harus menyerahkan paspor ke majikan dan kerja seminggu non stop. Padahal menurut Komisi HAM PBB, penahanan paspor atau kerja lebih dari 48 jam per minggu merupakan praktik ‘perbudakan’ yang dilarang oleh hukum internasional.

Namun kenyataannya jumlah TKI yang bekerja sebagai PRT semakin hari semakin banyak. Mereka seakan tidak takut terhadap ancaman kekerasan dan resiko kehilangan nyawa. Pepatah ‘lebih baik hujan batu di negeri sendiri daripada hujan emas di negeri orang’ telah runtuh karena iming-iming gaji yang lebih tinggi.

Berbicara mengenai kekerasan TKI di luar negeri selalu terkait dengan PRT. Karena sektor ini sangat rentan menimbulkan kekerasan. Selain karena rendahnya perlindungan hukum terhadap mereka, juga karena sistem yang membelenggu hak-hak para PRT. Apalagi jika negara tersebut belum meratifikasi instrumen internasional yang menjamin hak-hak para pekerja. Misalnya Malaysia sampai saat ini belum meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran. Padahal negeri Jiran tersebut merupakan salah satu destinasi utama pekerja Indonesia.

Berdasarkan kasus-kasus tersebut, sudah seharusnya pemerintah melalui berbagai pihak terkait mensyaratkan ‘diklat hukum’ yang memadai bagi para TKI khususnya PRT. Apalagi mereka akan bekerja didalam sistem hukum, tradisi dan aturan kerja yang berbeda. Pengetahuan hukum sangat penting untuk melindungi para PRT dari berbagai jenis kekerasan baik oleh aparat pemerintah maupun majikan. Selain itu juga memberikan pengetahuan tentang upaya-upaya hukum terhadap permasalahan yang mereka dialami.

Indonesia tidak bisa hanya mengharapkan negara lain seperti Malaysia untuk meratifikasi Konvensi Perlindungan Pekerja Migran. Negera-negara tujuan tentu tidak ingin meratifikasi konvensi tersebut karena ingin terus mengambil untung dari praktik ‘perbudakan’ tersebut.

Jangan sampai para TKI yang mayoritas bekerja di sektor PRT tersebut dijadikan mesin keruk devisa negara. Pemerintah harus menekankan pentingnya perlindungan terhadap para pekerja migran. Jika perlu, merevisi semua perjanjian dengan negara tujuan untuk memperkuat posisi para pekerja Indonesia disana. Jangan sampai keinginan untuk mengurangi pengangguran didalam negeri justru mengakibatkan penderitaan bagi para pekerja Indonesia di luar negeri