Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak meloloskan calon presiden (capres) independen pada pemilu 2009 telah mendiskriminasi hak politik warga negara Indonesia (WNI). Lembaga hukum itu telah membuat ‘langkah mundur’ terhadap pengakuan hak asasi manusia di Indonesia. Ditolaknya permohonan para penggugat tersebut menyebabkan hilangnya hak yang seimbang, ‘the right to equality’ dari WNI untuk menjadi presiden.
Dari perspektif hukum nasional, putusan MK mempunyai dasar hukum yang kuat untuk menolak permohonan dari para penggugat. Putusan itu tidak melanggar norma hukum yang ada, yakni UUD 1945 sebagai konstitusi negara dan UU No. 42/2008 tentang Pilpres sebagai undang-undang pelaksananya. Kedua sumber hukum tersebut menyebutkan bahwa calon presiden harus diajukan oleh partai politik. Konsekuensinya, putusan MK adalah sah secara hukum nasional.
Lalu, apakah putusan itu benar-benar tidak cacat hukum? Tulisan ini berusaha mengupas ‘kecacatan’ putusan MK dari perspektif hukum internasional. Ini penting karena Indonesia telah menjadi bagian dari komunitas internasional yang berkomitmen untuk mengakui dan menjamin hak politik dan hak lainnya.
Perspektif Hukum Internasional
Salah satu ‘kelemahan’ putusan MK tersebut adalah tidak memperhatikan aturan hukum dari Kovenan Hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi oleh Indonesia sejak tahun 2006. Padahal norma hukum yang ada di Kovenan tersebut mengikat Indonesia setelah tiga bulan sejak instrumen internasional itu diratifikasi oleh pemerintah. Salah satu norma penting didalam Kovenan tersebut adalah diakuinya persamaan hak berpolitik WNI.
Berdasarkan ketentuan dari Kovenan, pemerintah Indonesia mempunyai kewajiban untuk melindungi, menjamin dan memastikan ‘to protect, to guarantee and to ensure’ hak berpolitik WNI. Ketiga prinsip dasar penegakan hak asasi manusia itu harus diterapkan dengan memperhatikan prinsip non diskriminasi. Pemerintah harus memperhatikan ketiga prinsip dasar tersebut ketika mengeluarkan kebijakan hukum. Misalnya, pemerintah tidak boleh mendiskriminasi hak dan kebebasan ‘berpolitik’ WNI didalam sistem pemerintahan dan pemilihan umum (pemilu).
Persamaan hak didalam sistem pemerintahan dan hak untuk dipilih dan memilih didalam pemilu diatur didalam pasal 25 (a,b&c) Kovenan. Menurut ketentuan pasal tersebut, semua warga negara dari negara yang meratifikasi Kovenan mempunyai hak dan kewajiban yang sama didalam pemilu tanpa diskriminasi berdasarkan ras, warna kulit, agama, bahasa, jenis kelamin, afiliasi politik, pendapat-pendapat atau status lainnya.
Kata ‘status lainnya’ disini harus dimaknai sebagai aturan hukum yang mengatur hak dan kebebasan politik secara luas. ‘Status lainnya’ meliputi hak siapapun untuk mencalonkan atau dicalonkan sebagai presiden, wakil presiden, gubernur, bupati atau anggota legislatif. Tidak boleh ada persyaratan atau hukum apapun yang bisa mengakibatkan hilangnya hak politik seseorang untuk mempunyai hak tersebut diatas.
Memang Kovenan Hak Sipil dan Politik juga memberikan hak kepada Indonesia sebagai negara anggota Kovenan untuk melakukan pembatasan terhadap hak yang ada di Kovenan.
Pembatasan boleh dilakukan dengan tujuan untuk kepentingan umum dan menjaga moralitas yang ada di negara tersebut. Namun demikian, pembatasan tersebut tidak boleh berisi unsur-unsur yang diskriminatif. Kebijakan yang diskriminatif bisa mengakibatkan berkurangnya atau hilangnya hak dan kebebasan seseorang.
Pembatasan yang diatur didalam sebuah kebijakan hukum juga harus memperhatikan tiga prinsip proporsionalitas. Pertama, kebijakan tersebut harus sesuai dengan fungsi perlindungan terhadap hak dan kebebasan manusia. Kedua, kebijakan tersebut tidak boleh mengandung unsur yang memaksa seseorang untuk meninggalkan hak dan kebebasannya. Ketiga, sebuah kebijakan harus memuat aturan yang tegas agar fungsi perlindungan bisa tercapai.
Didalam konteks Pilpres kali ini, ada dua produk hukum yang digunakan oleh pemerintah untuk mengatur atau ‘membatasi’ hak berpolitik WNI. Kedua produk hukum nasional tersebut adalah UUD 1945 pasal 6A ayat (2), 8 dan pasal 13 ayat (1) UU No. 42 tahun 2008. Akan tetapi, kedua sumber hukum tersebut mengandung unsur yang diskriminatif karena melarang hak seseorang untuk maju ke Pilpres tanpa melalui parpol. Oleh karena itu, kedua sumber hukum ini tidak boleh digunakan sebagai dasar pembatasan hak dan kebebasan WNI untuk mencalonkan diri sebagai presiden.
Berdasarkan penjelasan diatas, putusan MK tersebut tidak sah secara hukum. Capres independen harus diakomodir untuk membuktikan bahwa pemerintah telah menjalankan tiga prinsip dasar didalam hak asasi manusia. Selain itu, untuk menunjukan bahwa pemerintah telah berkomitmen menjamin the right to equality dari setiap WNI.
Reformasi Hukum Nasional
Memang, peratifikasian sebuah instrumen internasional bukan berarti bisa meniadakan pelanggaran hak asasi manusia seperti hak politik. Harus ada komitmen dari pemerintah untuk tunduk terhadap aturan yang ada didalam instrumen tersebut. Salah satu ketundukan hukum dari pemerintah terhadap Kovenan adalah dengan mengamandemen produk hukum yang tidak sejalan dengan instrumen internasional tersebut.
Implementasi hak asasi manusia di Indonesia sangat tergantung dari situasi hukum di tingkat domestik. Salah satunya adalah adanya kesesuaian norma antara hukum nasional dan hukum internasional. Selain itu, peran MK sebagai lembaga yang netral untuk menyelesaikan permasalahan hak asasi manusia juga sangat penting.
Keputusan pemerintah untuk mendirikan MK sebagai lembaga yang berkompeten dan mempunyai otoritas untuk menguji produk perundang-undangan nasional sudah selaras dengan semangat hak asasi manusia. Semua WNI bisa mengajukan judicial review terhadap UU yang dianggap telah mendiskriminasi hak dan kebebasan mereka. Tetapi sayang, putusan MK No. 56/PUU-VI/2008 telah membuat ‘blunder’ yang cukup fatal, menolak capres independen dengan alasan capres independen tidak dikenal didalam hukum nasional.
Sudah selayaknya UU No. 42 tahun 2008 ditiadakan dengan mengeluarkan peraturan perundang-undangan lainnya. Sedangkan aturan pasal 6A dari UUD 1945 harus diamandemen untuk menghilangkan kebijakan yang bisa berpotensi mendiskriminasi hak berpolitik WNI dimasa mendatang. Selama ketentuan didalam dua sumber hukum ini tidak diubah, capres independen tidak pernah ada. Apalagi MK juga tidak memperhatikan aturan hukum yang ada di Kovenan Hak Sipil dan Politik yang berfungsi sebagai sumber hukum yang mengikat negara Indonesia.
Sangat disayangkan MK tidak memperhatikan norma didalam Kovenan. Memang suatu Negara seperti Indonesia boleh menganut dualisme hukum, yakni aturan hukum nasional negaranya tidak harus sesuai dengan hukum internasional. Dengan satu syarat aturan hukum internasional tidak mengikat Negara tersebut. Misalnya, UUD 1945 tidak harus sesuai dengan Deklarasi Universal HAM karena sifat deklarasi yang tidak mengikat. Tetapi didalam konteks Kovenan Hak Sipil dan Politik, hukum nasional Indonesia harus sesuai dengan norma yang ada didalam Kovenan tersebut. Ini disebabkan status dari peratifikasian yang telah dilakukan oleh Indonesia bersifat mengikat secara hukum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar