Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'
Hampir satu tahun Parto belajar di
pesantren Darul Islam. Dia tinggal di Asrama Banyuwangi. Disebut dengan
Banyuwangi karena asrama itu khusus untuk santri yang berasal dari Banyuwangi. Asrama-asrama
tersebut sebenarnya punya nama asli dari bahasa Araba seperti Asrama Al Falah,
Al Ghazali dan lain sebagainya. Namun santri lebih suka menamakan asrama-asrama
tersebut berdasarkan asal usul santri yang tinggal di asarama tersebut. Ada
Asrama Jember untuk santri dari daerah sekitar Jember, Asrama Jawa Tengah,
Bali, Sumatera, Sulawesi dan beberapa daerah
lain di Indonesia.
Parto tinggal di kamar berukuran
4x3 meter. Namun bukan untuk dirinya sendiri melainkan dia harus berbagi dengan
delapan santri putra lainnya yang berasal dari berbagai daerah di Banyuwangi. Di
kamar inilah kemudian Parto mengenal Muhammad Rois, seorang santri anak orang
kaya dari Desa Mangir di sebelah barat Banyuwangi. Dia akrab dengan Rois karena
teman sekelas di SMP Pesantren. Rois adalah santri yang cerdas dan meskipun kaya
tapi dia tidak pernah hidup berfoya-foya. Parto tahu bahwa Rois anak orang kayak
arena setiap kali menjenguk Rois, orang tuanya selalu membawa mobil sedan mewah
dan membawa berbagai macam makanan. Rois kemudian membagi-bagikan makanan tersebut kepada teman sekamarnya.
Tidak ada ruang untuk menyimpan
barang karena setiap kamar hanya mempunyai lemari untuk menyimpan barang-barang
santri seperti baju, kitab atau uang. Bentuk lemari lebih mirip locker untuk
menyimpan dokumen karena terdiri dari kotak-kotak kecil. Tidak ada fasilitas
lainnya di kamar tersebut. Begitu juga kamar-kamar lainnya. Oleh karena itu ada
beberapa santri yang membawa meja kecil untuk mengaji. Kasur menjadi barang
haram, bukan karena santri tidak boleh membawa melainkan itu bukan tradisi
pesantren.
Dunia pesantren memang unik. Ada beberapa tradisi yang tidak
boleh dilanggar oleh santri jika mereka ingin berhasil. Pertama, mereka tidak
boleh pulang kerumah sebelum 40 hari sejak pertama kali mereka tinggal di
pesantren. Kemudian kepulangan yang kedua adalah setahun sekali menjelang bulan
Ramadhan sampai sehabis hari raya sebagai libur panjang pesantren. Namun santri
yang merangkap sekolah umum seperti Parto dan Rois tidak bisa pulang karena
libur sekolah berbeda dengan libur pesantren. Jadi mereka berdua sering tidak
pulang pada liburan tersebut.
Tradisi yang kedua adalah tidak
boleh malas dan tertarik dengan lawan karena bisa menumpulkan otak sehingga susah
memahami pelajaran. Selain itu, santri juga dihimbau untuk tidak hidup mewah
selama di pesantren. Mereka harus meniru kebiasaan Rasulullah. Oleh karena itu
santri tidur di lantai beralaskan sarung atau sajadah. Ada beberapa santri yang membawa selimut
namun pada umumnya santri lebih suka tidur memakai sarung beralaskan sajadah
tanpa bantal.
Parto sering tidak kebagian
tempat tidur dikamar sehingga dia sering tidur di teras masjid. Dengan kondisi
kamar yang penuh sesak oleh santri, semua tempat di pesantren yang ada tulisan ‘sandal
harap dilepas’ menjadi tempat tidur santri. Mereka bebas tidur dimana saja. Ada yang tidur didekat
tempat wudhu atau koridor yang menghubungkan antar asrama atau masjid. Pemandangan
malam hari di pesantren menjadi mengerikan karena santri tidur dimana-mana
seperti mayat tertutup sarung, bergelimpangan di setiap sudut lantai bangunan
pesantren dengan bunyi dengkuran yang beraneka ragam.
Maklum, Pesantren Darul Islam
mempunyai sekitar 2000 santri yang terdiri dari 500 santri putri dan 1500
santri putra. Kondisi santri putri lebih nyaman karena jumlahnya tidak sebanyak
santri putra. Di asrama putra, kamar yang tersedia tidak mampu menampung semua
santri untuk tidur bersamaan. Jika kamar hanya diisi satu atau dua santri, maka
pihak pesantren memerlukan lahan yang luas dan uang yang banyak untuk membangun
asrama santri. Padahal Darul Islam adalah pesantren tradisional yang menarik
iuran bulanan sangat murah kepada santri, yakni 10.000 rupiah. Meskipun murah, ada
beberapa santri yang tidak membayar secara rutin karena alasan ekonomi.
Biasanya santri yang belum
melunasi iuran bulanan akan dipindahkan ke sebuah asrama yang khusus menampung
santri yang belum membayar iuran. Didepan asrama itu ada tulisan gudang santri.
Artinya, siapa saja yang tinggal disitu berarti belum membayar iuran. Pesantren
sengaja tidak mengeluarkan santri yang tidak membayar iuran melainkan hanya
menegur mereka dengan menyediakan bangunan khusus.
Parto beberapa kali pernah
menghuni gudang santri karena uang kirimannya telat. Pada waktu itu kakeknya
sakit sehingga ibunya harus membelah bambu tiang dapur, mengambil uang tabungan
untuk biaya berobat sang kakek. Meskipun pernah beberapa kali menginap di hotel
prodeo pesantren, Parto begitu menikmati kehidupan pesantren terbesar di Kabupaten
Banyuwangi tersebut. Baginya, kehidupan pesantren tidak jauh berbeda dengan
kehidupannya di desa. Yang membedakan hanyalah para petugas pesantren yang
umumnya santri senior. Mereka tidak segan-segan menghukum santri yang melanggar
aturan pesantren.
Santri wajib shalat berjamaah,
mengaji Al Quran sehabis maghrib dan sekolah diniyah untuk mengkaji kitab-kitab
klasik tentang Islam. Di dunia pesantren, kitab klasik tersebut biasanya
disebut dengan kitab kuning karena kebanyakan warna sampulnya berwarna kuning. Santri
seperti Parto dan Rois tentu mempunyai kewajiban lebih berat. Mereka harus
sekolah umum di pagi hari, kemudian sekolah agama/diniyah sore hari dan
malamnya masih harus mengaji Al Quran dan kitab klasik. Selain itu, mereka juga
akan dibangunkan sekitar jam 3 pagi untuk shalat tahajut. Rutinitas pesantren
itulah yang mengingatkan Parto sama Laila, anaknya Kyai Harun yang tidak pernah
bermain dengan anak-anak kampung karena sibuk belajar.
Ah…dulu aku mengolok-olok Laila,
kini aku masuk dalam dunianya. Gumam Parto dalam hati. Namun kini
setidak-tidaknya dia bisa bersaing dengan Laila. Sayangnya semenjak di
pesantren, Parto tidak tahu dimana Laila sekarang berada. Pesantren telah menutup
semua informasi dunia luar. Namun Parto juga tidak pernah ingin mencari tahu
dimana Laila saat ini. Baginya yang paling penting adalah menikmati kehidupan pesantren
seperti dia dulu menikmati alam desa.
Yang agak berat bagi Parto Cuma bangun
tengah malam untuk shalat tahajut. Setiap santri akan dibangunkan oleh petugas
jaga malam untuk shalat tahajut. Para petugas
tersebut biasanya membawa tongkat atau gayung berisi air untuk dicipratkan ke
muka santri agar mereka cepat bangun. Bahkan ada beberapa petugas yang membawa tongkat
khusus berupa kayu yang ujungnya dibuat melingkar mirip teken. Tongkat tersebut
digunakan untuk membangunkan santri yang malas dengan cara menarik kaki, tangan
atau lehernya keatas. Parto pernah ditarik gara-gara dia tidak cepat bangun.
Siapa saja yang melanggar
kewajiban diatas, maka akan dihukum. Hukuman yang paling ringan adalah membaca
Al Quran sebanyak satu juz di kantor petugas pesantren. Pelanggaran yang
tergolong agak berat adalah pelanggaran yang dilakukan berulang-ulang. Biasanya
santri tersebut akan disuruh untuk membersihkan tiga blok kamar mandi. Masing-masing
blok terdiri dari sepuluh kamar mandi.
Santri juga tidak boleh keluar
dari areal pesantren kecuali hari Jumat sebagai hari libur pesantren. Setiap Jumat
biasanya Parto keluar untuk sekedar jalan-jalan di tepian sungai yang berada
didekat pesantren. Untuk keperluan sehari-hari, dia bisa membelinya di koperasi
pesantren. Namun koperasi tidak menyediakan rokok karena santri tidak
diperbolehkan merokok. Selain itu, radio, televisi dan semua jenis hiburan lainnya
menjadi barang haram yang tidak boleh dikonsumsi oleh santri. Selama di
pesantren santri terisolasi dari dunia luar. Hal ini dimaksudkan agar santri
bisa berkonsentrasi dalam menuntut ilmu. Santri hanya bisa mengetahui dunia
luar dari koran yang disediakan oleh pesantren. Biasanya koran tersebut ditempel
didepan masjid.
Parto dan santri lain juga harus
masak sendiri di dapur umum yang disediakan oleh pesantren. Mereka tidak boleh
memakai kompor minyak tanah untuk memasak agar bisa menghemat biaya. Umumnya para
santri akan membentuk kelompok-kelompok masak yang terdiri dari santri sekamar.
Parto bersama delapan santri lain sekamarnya membentuk satu kelompok masak. Setiap
kelompok biasanya membayar iuran bulanan yang diserahkan kepada ketua kelompok
masak untuk membeli kayu bakar, sayuran dan bumbu-bumbu masak. Setiap santri,
termasuk Parto umumnya sudah mempunyai beras hasil dikiriman orang tua mereka yang
menjenguk santri setiap bulannya.
Untuk petugas masak dilakukan
secara bergiliran, yakni empat orang santri sekali masak. Jadi untuk masak pagi
empat orang dan masak sore empat orang. Tidak ada makan siang karena makan tiga
kali sehari termasuk dalam kategori hidup berfoya-foya dan dihindari oleh
sebagian besar santri. Jadi ketika siang nyaris tidak ada santri yang memasak
di dapur umum. Jadi dapur umum seperti pasar di pagi dan sore hari namun sangat
lengang ketika siang karena santri lebih memilih untuk tidur siang atau mengaji
Al Quran di masjid ketika merasa lapar.
Tradisi makan dengan piring dan sendok
juga tidak berlaku di pesantren. Sendoknya santri adalah tangan mereka
sedangkan sebagai ganti piring adalah nampan besar untuk makan bersama. Satu
kelompok masak biasanya membeli nampan besar yang cukup untuk makan lima sampai sepuluh orang.
Dapur umum juga tidak menyediakan meja makan. Jadi santri makan diatas nampan
yang diletakan diatas tanah. Nasi dan sayur biasanya dihidangkan ketika masih
sangat panas. Tidak ada waktu untuk menunggu dingin karena alat masak dan
tungku nasinya sudah ditunggu oleh santri lain. Jika nasi dan sayur sudah siap,
salah satu santri yang mendapat giliran memasak akan memanggil santri lainnya.
Ketika semua anggota masak sudah
duduk berjongkok mengelilingi nampan dan nasi dan sayur sudah campur, artinya mereka
sudah siap untuk balapan. Santri yang paling tahan panas tentu bisa kenyang
sedangkan yang tidak tahan panas akan kebagian sedikit nasi dan lauk. Tradisi makan
ala pesantren ini seperti karapan sapi. Siapa yang paling cepat maka dialah
pemenangnya. Santri yang baru masuk pesantren biasanya tidak mampu menandingi
kecepatan makan santri senior di kelompoknya.
Parto pernah merasa jengkel
karena pada awal mula kedatangannya di pesantren selalu tidak bisa kenyang
karena kalah adu cepat makan. Maka dia sering mengajak Rois untuk masak di
malam hari sehabis isya untuk mengganjal perut yang terus bernyanyi. Rois kalah
karena dia tidak mau tergesa-gesa. Toh jika masih lapar dia punya uang untuk
beli jajan di koperasi.
Namun ternyata masak malam hari
juga tidak aman dari gangguan para santri lain yang ingin makan gratis. Biasanya
santri-santri tersebut akan gabung makan dan Parto bersama Rois tidak kuasa
menolaknya. Jika menolak biasanya akan diejek sebagai orang pelit yang dibenci
Rasulullah.
Hadi…..ayo makan, biasanya kamu kan jadi pelanggan
tetap, ga lengkap nih makan tanpa kamu!! Parto memanggil Hadi yang sedang
tidur-tiduran di teras masjid sambil membaca kitab kecil. Hadi pun sangat
senang dipanggil Parto.
Wah……tidak biasanya nih kamu
mengajak aku makan. Semoga Allah memberi rejeki dan ilmu yang tak terkira
jumlahnya kepada saudaraku ini! Kata Hadi sambil menepuk-nepuk pundaknya Parto.
Amien..jawab Parto singkat. Dia lekas
bergegas mengajak Hadi ke tempat yang dia sebut sebagai pengadilan terakhir
Hadi. Disitu sudah menunggu Rois yang sedang mencicipi masakan diatas nampan.
Ayo wes sikaaatt!! Ajak Parto
kepada Rois dan Hadi. Dan ketiga santri itupun kemudian dengan lahapnya
menyantap nasi beserta sayur tumis kangkung ala Parto. Selang beberapa menit
kemudian terdengar suara kruukkkk….! Parto bisa mendengar dengan jelas bahwa
suara itu berasal dari mulutnya Hadi. Artinya kerikil tersebut telah masuk
kedalam mulutnya Hadi. Tapi Hadi hanya diam saja seolah-olah dia hanya makan
nasi.
Duh!….wah aku makan kerikil,
sialan! Parto berpura-pura makan kerikil agar Hadi tidak curiga bahwa dia
sedang dikerjai malam itu.
Aku juga makan kerikil nih….Rois
menyahut Parto tapi tidak memperlihatkan kerikilnya. Hadi yang menyadari Parto
dan Hadi makan kerikil tetap santai menghabiskan nasi yang ada dihadapannya
meskipun berkali-kali terdengar suara kruk…kruk…dari dalam mulutnya. Mungkin Hadi
berfikir berasnya tidak dibersihkan terlebih dahulu sehingga masih banyak
kerikil yang masuk ke mulutnya. Hadi tetap tidak sadar dan tidak mencerikan
bahwa dia telah makan banyak kerikil. Hadi tidak sadar bahwa malam itu dia telah
makan 15 kerikil hasil karya Parto.