Rumah Jamilah adalah rumah yang
ketiga di jajaran kelompok rumahnya Dulkarim. Artinya, ada satu rumah lagi yang
ada di kelompok tersebut, yakni rumah milik Aliyah, kakak perempuan Jamilah yang
telah lebih dulu membangun rumah disamping kanan dari rumah Dulkarim. Aliyah
tinggal bersama Kasan suaminya dan dua anak mereka. Anak sulungnya bernama
Ilyas yang sudah sekolah kelas 5 Sekolah Dasar yang berada di desa dan satunya
lagi anak perempuan bernama Alfiyah yang masih duduk di kelas 3 SD.
Jamilah dan Salam berhasil
membangun rumah dari hasil jerih payah mereka membantu orang tua dan kadangkala
menjadi buruh tani. Umumnya upahnya berupa gabah atau jenis panenan lainnya yang
kemudian langsung dijual kepada tengkulak. Uang hasil menjual gabah tidak
disimpan di bank karena memang tidak ada bank di sekitar Desa Watu Jati.
Jamilah, seperti kebanyakan warga desa memang tidak mau menyimpang uang mereka
di bank karena selain jauh, mereka juga meyakini bahwa bunga yang ditawarkan
bank itu hukumnya haram.
Biasanya warga menyimpan uang di
tiang-tiang rumah yang terbuat dari bambu. Caranya dengan melobangi bambu tepat
dibawah ruas untuk memasukan uang kedalam bambu tersebut. Uang yang dimasukan
terlebih dahulu dibungkus plastik agar tidak dimakan hewan pengerat yang
biasanya memakan bambu kering. Pengambilan uang didasarkan pada kebutuhan
mendesak dan jika sudah diambil, bambu tersebut tidak bisa digunakan untuk
menyimpan uang lagi karena pengambilan uang adalah dengan cara melobangi ruas bambu
bagian. Jika tidak ada keperluan, biasanya uang diambil setelah ruas bambu
tersebut penuh. Atau mencari ruas bambu lain untuk dijadikan tabungan. Jadi kegemaran
menabung masyarakat Desa Watu Jati bisa diamati dari berapa banyak lobang yang
ada ditiang-tiang rumah mereka.
Jamilah selalu rajin menabung
untuk masa depan Parto kecil. Dia bercita-cita mengirim Parto ke pesantren agar
kelak dia bisa menjadi seorang kyai. Selain itu, biaya di pesantren sangat
murah dan terjangkau oleh keluarga Jamilah yang terbilang miskin.
Namun Parto kecil tidak pernah
tidur dirumah orang tuanya. Dia lebih memilih tinggal bersama kakek dan
neneknya. Parto tidak suka tidur bersama orang tuanya karena setiap malam lampu
pijar dimatikan dengan alasan untuk menghemat minyak tanah. Parto sering
ketakutan dan akhirnya sang kakek, Dulkarim meminta kepada Jamilah agar Parto
diijinkan untuk tidur dirumahnya. Oleh karena itu semenjak ada Parto, rumah
Dulkarim tidak pernah gelap gulita dimalam karena karena Dulkarim selalu menyalakan
lampu pijar dirumah agar Parto tidak ketakutan. Karena kebiasaan itulah Parto
lebih sering menghabiskan waktunya dirumah Dulkarim.
Parto beruntung punya kakek,
Dulkarim yang sangat menyayanginya. Kemanapun dia pergi selalu teringat sama
Parto dan seringkali mengajak Parto ke sawah untuk menemaninya bekerja atau ke
sungai ketika mandi. Maklum, Parto adalah cucunya yang paling kecil. Anak-anak
dari Aliyah sudah beranjak dewasa dan sering bermain sendiri.
Selain bekerja di sawah, Dulkarim
juga biasa pergi ke kebun tebu milik pemerintah yang letaknya sekitar lima kilo meter dari desa.
Dia pergi ke perkebunan tersebut setiap hari Sabtu untuk mencari daun tebu
kering dengan berjalan kaki melintasi persawahan. Daun tebu tersebut untuk
dibuat atap rumah dan dijual kepada orang yang membutuhkan. Warga desa
menyebutnya dengan atap welit karena proses pembuatannya dengan cara dililit
atau dijepit dengan bambu.
Setiap pulang Dulkarim selalu
menyelipkan dua batang tebu disela-sela ikatan daun tebu kering tersebut. Kemudian
dia membawa pulang dengan cara dipikul memakai bambu. Satu ikat di depan dan
satunya lagi di belakang. Jadi ada satu batang tebu dimasing-masing ikatan
tersebut. Tebu itu untuk oleh-oleh cucu kesayangannya, Parto. Jadi ketika Parto
melihat ada ikatan daun tebu kering dibelakang rumah, dia sudah menduga bahwa
didalamnya pasti terselip tebu yang dibawa oleh kakeknya.
Jika pergi kesawah, Dulkarim
biasanya membawa keranjang yang dipikul untuk membawa hasil pertanian pulang.
Tak ketinggalan Parto juga ikut kakeknya tersebut untuk bermain disawah. Karena
letak sawah yang agak jauh dari rumah, biasanya Dulkarim memasukan Parto
kedalam keranjang. Satu keranjang berisi Parto dan keranjang lainnya diisi
dengan bahan makanan untuk dimakan disawah dan ditambahi batu agar bobotnya
sama dengan Parto untuk menjaga keseimbangan.
Menjelang senja sehabis pulang
dari sawah, Dulkarim sering mengajak Parto untuk mandi bersama-sama di sungai.
Biasanya dia memanggul Parto sembari berenang untuk mencari kepiting sungai. Keluarga
besar Dulkarim dan juga kebanyakan masyarakat Desa Watu Jati memang mengandalkan
sungai untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari mulai dari mencuci, mandi dan buang
air besar. Aliran sungai yang jernih tak menarik minat para penduduk untuk
membangun kamar mandi. Jika pun ada sumur, biasanya untuk keperluan memasak dan
air minum.
Suatu malam sehabis maghrib,
Ilyas, kakak sepupu Parto mengajak Parto untuk buang air besar di sungai yang
berada di samping rumahnya. Biasanya anak kecil jarang buang air besar pada
malam hari. Bukan karena tidak ingin namun lebih karena rasa takut. Takut karena
dimarahi orang tua atau takut dengan hantu. Namun kali ini Ilyas tak kuasa
menahan mules perutnya namun tidak berani meminta orang tuanya untuk
mengantarkannya ke sungai. Jadi dia mendatangi Parto dan memintanya dengan
hati-hati agar tidak ada yang tahu bahwa malam itu mereka pergi ke sungai.
To…ayo ke sungai. Aku mau buang
air besar, sudah ga tahan…! Pinta Ilyas sambil memegangi perutnya. Dia juga
sudah membawa lampu senter, yakni lampu yang menggunakan tenaga baterai. Biasanya
lampu ini dipakai oleh bapaknya untuk ronda desa atau ketika melakukan
perjalanan jauh di malam hari.
'Ayo kang, aku juga mau pipis!' Parto
menimpali.
Kemudian mereka berdua berangkat
ke sungai dengan tergesa-gesa. Ilyas ingin cepat sampai di sungai yang memisahkan
Desa Watu Jati dan persawahan. Jadi ada bangunan jembatan yang terbuat dari bambu
untuk menghubungkan desa dengan persawahan. Orang-orang desa menyebut jembatan
tersebut dengan ‘kretek’. Disebut dengan
kretek karena jika ada orang jalan diatasnya, akan ada bunyi kretek…kretek.
Ilyas mengajak Parto untuk turun
ke sungai dibawah jembatan. Ilyas menyalakan lampu senter untuk mencari jalan
dan menemukan tempat yang tepat untuk buang hajat. Tanpa pikir panjang mereka
langsung membuka celana dan duduk diatas batu yang banyak terdapat di sungai. Parto
yang agak ketakutan memilih untuk duduk diatas batu disamping Ilyas dan meminta
Ilyas untuk terus menghidupkan lampu senter agar suasana tidak gelap gulita.
Selang beberapa detik, Parto dan
Ilyas mendengar suara jembatan berbunyi.
Kretek….kretekkk…kreetteeeekkk….
suaranya begitu sangat jelas sekali terdengar oleh Parto dan Ilyas karena
mereka memang duduk dibawah jembatan tersebut.
‘Kang, siapa itu yang berjalan
diatas jembatan, coba kamu arahkan lampu senter itu kesana!’ pinta Parto sambil
memegangi tangan Ilyas.
Sebelum Parto selesai berbicara,
Ilyas sudah terlebih dahulu mengarahkan lampu senternya keatas jembatan karena
penasaran siapa sebenarnya yang sedang berjalan diatas jembatan tersebut. Lalu mereka
sangat kaget karena setelah lampu senter diarahkan tepat diatas jembatan
tersebut Parto dan Ilyas tidak melihat seorangpun yang berjalan diatas jembatan
tersebut.
‘Genderuwoooooo…………’ Parto dan
Ilyas berteriak bersamaan sembari berlari keluar dari sungai tanpa
memperhatikan lagi apakah mereka sudah memakai celana atau belum. Genderuwo adalah
hantu yang digambarkan sebagai makhluk yang sangat besar dan menyeramkan.
‘Kakeeeekkkkk’……’bapaakkk’….’kakeeekkkk’…..’ibuu’…………..teriak
mereka bersahut-sahutan sambil terus berlari menuju rumah dengan celana yang
masih dibawah lutut. Jadi mereka berlari sekuat tenaga tetapi tidak bisa cepat
karena celana mereka belum dinaikan sehingga pelarian mereka menuju rumah
terasa sangat lama.
Orang tua Parto beserta keluarga
besar Dulkarim yang masih berada di mushalla hanya tertawa melihat Parto dan
Ilyas yang lari terbirit-birit terlebih lagi melihat dua anak kecil tersebut
berlari dengan telanjang. Keluarga Dulkarim tahu bahwa dua anak kecil tersebut
baru saja dari sungai namun mereka tidak mengetahui bahwa Parto dan Ilyas baru saja melihat
hantu yang sangat menakutkan. Lalu mereka menceritakan tentang hantu tersebut namun Dulkarim malah tertawa terbahak-bahak.
Memang biasanya orang dewasa hanya menanggapi cerita anak kecil dengan gurauan, apalagi tentang hantu. Jika tidak begitu, mereka justru malah menakut-nakuti anak kecil agar tidak
keluyuran malam hari agar tidak digondol sama hantu. Oleh karena itu sangat jarang sekali anak kecil minta
diantar ke sungai oleh orang tuanya dimalam hari dengan alasan ingin buang air.
Lebih baik mereka menunggu sampai subuh dan baru buang air besar setelah matahari terbit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar