Hari Jumat merupakan hari yang
istimewa di mitologi Jawa. Saking istimewanya, banyak orang bahkan sampai mengkeramatkan
hari tersebut. Sebagian besar dari mereka juga menganggap bahwa Hari Jumat
adalah hari kebangkitan para roh yang masih penasaran terhadap kehidupan
duniawi. Mereka berusaha masuk ke dunia manusia dalam berbagai wujud yang oleh
kebanyakan orang disebut sebagai hantu gentayangan dengan penampakan yang
menyeramkan.
Gambaran mengenai kekeramatan
Hari Jumat tersebut juga bisa dirasakan di Desa Watu Jati, sebuah desa
terpencil di sebelah selatan kota
Banyuwangi. Desa Watu Jati bersebelahan langsung dengan hutan Alas Purwo, yakni
sebuah hutan lindung alami di bagian pisisir selatan Banyuwangi yang terkenal
dengan kekuatan mistisnya. Kekuatan mistis Alas Purwo bahkan konon bisa menyembunyikan
Supriyadi, tokoh pejuang PETA yang berasal dari Blitar ketika dikejar oleh
penjajah Jepang. Ada juga yang beranggapan bahwa
perubahan politik Indonesia
bisa dilihat dari Alas Purwo karena disitulah sebenarnya inti dari pusaran
politik nusantara di era kerajaan.
Pada Bulan Suro atau Bulan Muharam
pada penanggalan Islam, Alas Purwo selalu ramai dikunjungi oleh paranormal dari
berbagai penjuru di Indonesia
yang ingin mendapatkan kesaktian. Mereka melakukan berbagai macam ritual
seperti tapa pati geni, yakni bertapa dalam kegelapan, puasa tujuh hari, dan
berbagai jenis ritual lain yang dianggap bisa menambah kesaktian. Puncak
keramaian di Alas Purwo adalah pada Hari Jumat Manis atau Jumat Legi, yakni
sebuah penanggalan Jawa yang hanya ada sekali dalam setiap bulan. Jumat manis dipercayai akan membaca berkah bagi siapapun
yang melakukan ritual pada hari tersebut.
Oleh karenanya, menjelang Jumat
Manis Bulan Suro, Desa Watu Jati selalu ramai karena menjadi persinggahan
terakhir para petualang dunia mistis tersebut. Biasanya mereka mampir di warung
untuk sekedar melepas lelah sambil minum atau makan sebelum melanjutkan
perjalanan ke tengah hutan. Para petualang
mistis tersebut sering menyebut Desa Watu Jati sebagai pintu masuk ke dunia
ghaib karena Desa Watu Jati adalah desa terakhir sebelum para petuang mistis
tersebut masuk ke hutan.
Meskipun jalan ke Alas Purwo
sudah bisa dilalui oleh kendaraan bermotor, tapi para petualang tersebut memilih
untuk berjalan kaki. Mereka percaya jika naik kendaraan bermotor, maka
kesaktian yang akan didapatkan tidak akan maksimal atau bahkan bisa gagal.
Seperti pada tahun-tahun
sebelumnya, hari itu Desa Watu Jati sangat ramai oleh para pendatang. Dan ketika
banyak pendatang, maka semua orang kampung umumnya sudah mengetahui bahwa hari
itu adalah satu hari menjelang Jumat Manis di Bulan Suro. Karena biasanya desa
ini tidak pernah didatangi oleh pihak luar termasuk petinggi kabupaten. Letaknya
yang jauh dari pusat pemerintahan dan akses jalan yang jelek menjadi alasan
utama malasnya para penggedhe kabupaten untuk menengok eksotisme alam dan
keramahan penduduk Desa Watu Jati.
Namun saat itu suasana menjelang Jumat
Manis terasa mencekam. Angin kencang dan hujan gerimis belum berhenti seharian.
Jadi para petualang mistis tersebut memutuskan untuk secepatnya meninggalkan
desa karena takut ada halangan di tengah hutan. Desa Watu Jati kembali sepi dan
semakin sepi karena anak-anak kecil yang biasanya bermain di jalanan dilarang
keluar rumah oleh orang tua mereka. Gerimis masih terus mengguyur semua sudut
desa sampai malam hari dan denyut nadi desa terasa berhenti karena kepergian para
petualang mistis dan guyuran hujan.
Keesokan harinya hujan masih
belum menampakan tanda mulai mereda bahkan semakin deras sepanjang hari mulai Hari
Jumat siang sehabis Dhuhur sampai malam hari. Hujan dua hari berturut-turut tersebut
telah membuat suasana di Desa Watu Jati semakin
mencekam. Apalagi Desa Watu Jati belum dialiri listrik. Penerangan kampung
hanya mengandalkan lampu pijar dari rumah-rumah penduduk yang hanya menyala mulai maghrib sampai setelah isya. Setelah itu, kampung menjadi gelap gulita
sampai pagi hari karena semua penduduk mematikan lampu pijar dirumah-rumah mereka untuk menghemat minyak..
Namun pada malam itu ada satu
lampu pijar dari salah satu rumah yang terus menyala diantara guyuran hujan dan
kibasan angin kencang. Masyarakat di kampung umumnya mengetahui bahwa jika
lampu pijar masih menyala maka pertanda masih ada kehidupan didalam rumah
tersebut. Nyala lampu pijar bisa dilihat dari luar karena sebagian besar dinding
rumah penduduk terbuat dari anyaman bambu. Masyarakat sekitar menyebutnya
dengan dinding gedhek. Oleh karenanya ada beberapa rumah yang sengaja tidak
mematikan lampu sepanjang malam untuk mengelabuhi maling agar mereka menyangka
bahwa masih ada orang yang belum tidur di rumah tersebut.
Namun nyala lampu pijar di rumah
yang berada persis dipinggir hutan tersebut tidak biasa karena setiap malam
selalu dimatikan untuk menghemat minyak. Cahaya lampu pijar menyelinap di sela-sela
dinding gedhek seakan ingin melawan kilatan cahaya petir. Nyala lampu rumah itu
ingin melawan keangkeran malam dan memberi pesan kepada seisi kampung bahwa
malam itu bukanlah malam yang mencekam, melainkan malam yang penuh berkah.
Itulah rumah Dulkarim, seorang
petani paruh baya yang hidup bersama dengan istrinya, Rukayah. Mereka hidup
bersama dengan anak perempuannya yang bernama Jamilah dan menantunya, Abdus Salam
seorang santri alumni pesantren terbesar di kota itu. Jamilah dan Salam adalah pasangan
pengantin yang sudah menikah hampir dua tahun lalu. Sebagai keluarga petani, hidup
keluarga tersebut sangat sederhana seperti kebanyakan keluarga yang ada di
kampung Watu Jati.
Kini pengantin tersebut sedang
berharap-harap cemas karena masa mengandung Jamilah sudah Sembilan bulan. Menurut penuturan Mbok Jinah, seorang dukun beranak yang telah dipercaya oleh masyarakat desa selama bertahun-tahun untuk menangani persalinan,
Jamilah akan melahirkan anaknya pada Bulan Suro tersebut. Namun mereka belum
tahu kapan pastinya anak mereka akan lahir.
Nyala lampur pijar dirumah itu
adalah permintaan dari Jamilah kepada Salam, suaminya karena dia merasakan perutnya
sudah mulai terasa sakit sejak dua hari lalu. Jadi malam itu semua seisi rumah
tidak ada yang tidur, menjaga Jamilah dan berharap sang jabang bayi cepat
keluar untuk melambatkan detak jantung seisi rumah yang begitu kawatir.
Malam sudah semakin larut dan Jamilah
merasakan hentakan kaki dan tangan bayi di rahimnya semakin kuat. Kadang dia
meringis kesakitan dan meminta Salam untuk menambahkan bantal dibagian belakang leher dan dikepalanya untuk meninggikan tubuh bagian atas Jamilah. Sedangkan
orang tuanya sesekali memijat kedua kaki Jamilah agar tidak kaku. Sesekali
ibunya mengoleskan minyak kelapa di beberapa bagian tubuh Jamilah agar dia
merasa nyaman. Namun ternyata pijatan dan olesan minyak tersebut belum
mengurangi sakitnya Jamilah.
‘Kang, tolong panggilkan Mbok
Jinah, aku sudah tidak kuat lagi, hentakan tubuh bayi ini terasa mau menembus
perutku!’ Kata Jamilah sambil menatap Salam dan memegangi tangan suaminya
tersebut.
‘Iya Dik, aku segera kerumahnya!’
jawab Salam singkat sambil bergegas mengambil payung yang terletak disudut
ruang tengah.
Rumah Mbok Jinah hanya berjarak sekitar
100 meter dari rumah Salam. Jadi dia tidak memerlukan waktu lama untuk sampai
ke rumah dukun beranak yang sudah sangat dikenal oleh seisi kampung. Mbok Jinah
selalu paham jika ada laki-laki muda datang kerumahnya tengah malam pasti ada
orang yang akan melahirkan dan butuh bantuannya. Oleh karenanya ketika dia
melihat Salam yang berdiri di depan pintunya tengah malam, Mbok Jinah seperti
sudah melihat Jamilah yang mengerang kesakitan. Maka bergegaslah kedua orang
berbeda usia tersebut untuk menolong Jamilah.
Sesampainya dirumah Dulkarim,
Mbok Jinah melihat Jamilah yang bernafas tersengal-sengal karena menahan sakit.
Dulkarim dan Rukayah masih memijit anak perempuannya itu untuk ikut merasakan
sakit yang sedang dirasakan Jamilah. Salam juga tidak kalah kawatir karena baru
kali ini melihat seorang perempuan yang akan melahirkan. Namun Mbok Jinah masih
terlihat santai dan perlahan-lahan dia duduk diantara dua kaki Jamilah yang
sedang berbaring ditempat tidur.
Mbok Jinah yang sudah
berpengalaman bertahun-tahun menangangi persalinan di kampung tersebut sudah
mengetahui kapan Jamilah boleh mengejan dan kapan dia harus ambil nafas untuk
mendorong sang jabang bayi keluar. Ekspresinya yang santai sangat membantu
psikologis Salam dan keluarganya. Setidak-tidaknya, mereka punya harapan bahwa dengan
bantuan Mbok Jinah, sang jabang bayi dan istrinya akan selamat.
Selang beberapa menit dari
kedatangan Mbok Jinah, lalu pecahlah keheningan malam Desa Watu Jati oleh suara
tangisan bayi dari rumah Dulkarim. Seorang bayi laki-laki telah tercatat
sebagai warga baru Desa Watu Jati. Jamilah berusaha tersenyum tipis meskipun
guratan wajah dan peluh yang membasahi wajahnya menyiratkan betapa dia belum
terbebas dari kelelahan.
Salam menangis terharu sambil
memeluk tubuh istrinya yang masih terbaring di tempat tidur. Sedangkan Rukayah,
istrinya Dulkarim tersenyum bahagia dan mulai membantu Mbok Jinah membersihkan
darah yang ada ditubuh sang jabang bayi.
Dulkarim bergegas melihat jam
dinding tua yang ada di ruang tengah. Dilihatnya jarum jam menunjuk ke angka 4
lebih 10 menit atau sudah masuk waktu Subuh. Lalu dia tiba-tiba ingat rombongan
para petualang mistis kemarin. Artinya sang jabang bayi tersebut lahir di Hari
Sabtu.
‘Alhamdulilah, berarti hari ini
Hari Sabtu Pahing’!! kata Dulkarim lirih sambil mengusap mukanya dengan kedua
tangannya. Dia percaya bahwa Sabtu itu adalah puncak dari ‘dino’ atau hari
dalam penanggalan Jawa karena penanggalan Jawa dimulai dari hari Minggu. Minggu
memang diyakni oleh sebagian besar masyarakat Desa Watu Jati sebagai hari yang
mempunyai hitungan paling rendah sedangkan Sabtu mempunyai hitungan paling
tinggi, yakni 9.
Sedangkan Pahing diyakini sebagai
‘pungkasane dino’ atau penyempurna hari karena penanggalan Jawa dimulai dari
Pon, kemudian Wage, Kliwon, Legi atau biasa dikenal dengan Manis dan kemudian
berakhir dengan Pahing. Pon mempunyai hitungan paling kecil sedangkan Pahing
mempunyai hitungan paling besar, yakni 9. Jadi orang yang lahir pada Hari Sabtu
Pahing mempunyai hitungan 18 dan tidak ada orang yang melebihi hitungan
tersebut.
Oleh karenanya mayoritas masyarakat
Desa Watu Jati percaya bahwa siapa saja yang lahir pada hari Sabtu Pahing maka
dia seperti raja. Tidak ada yang bisa mengalahkan posisi raja karena
orang-orang yang lahir dibawah angka tersebut secara hitungan matematis sudah
kalah. Itulah yang membuat Dulkarim bersyukur karena anak dari Jamilah kelak diharapkan
benar-benar bisa menjadi raja.
Lalu Dulkarim bergegas ingin
melihat cucunya yang diletakan disamping Jamilah. Dia melihat cucu laki-lakinya
tersebut dengan penuh rasa ingin tahu. Selama ini dia hanya mempercayai tradisi
yang telah lama diyakini oleh masyarakat Desa Watu Jati. Dulkarim seakan tak
sabar ingin melihat cucunya tersebut menjadi orang dewasa dan ingin membuktikan
apa benar dia bisa melakukan apapun seperti raja.
‘Hari ini telah lahir seorang
raja dan semoga kelak ketika besar dia juga akan menjadi seorang raja yang
berguna bagi semua makhluk Tuhan. Aku memberi nama Ahmad Suparto…agar kelak dia menjadi seorang Muslim yang tidak akan lupa dengan asal usulnya, yakni Desa Watu jati!’ kata Dulkarim sambil melihat Jamilah dan Salam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar