Mbok Darmi adalah janda tua yang
sudah berumur sekitar 60 tahun. Dia telah lama hidup sendiri karena ditinggal
mati suaminya. Anak-anaknya sudah berkeluarga dan merantau ke berbagai kota . Mereka hanya
kembali setahun sekali pada saat hari raya dan berkumpul bersama dalam
kesederhanaan Idul Fitri yang maha suci.
Mbok Darmi adalah perempuan tua
yang sangat tangguh. Meskipun hidup sendiri, namun keinginannya untuk bisa
melihat kepulangan anak-anaknya setiap hari raya telah menguatkan energinya
untuk terus bertahan hidup. Setiap hari dia bekerja sebagai petani disawah
hasil peninggalan mantan suaminya. Ketika malam tiba dia menggelar tikar pandan
di atas ranjang yang terbuat dari bambu, ditemani dengan bantal kapuk yang
mulai mengeras.
Rumah Mbok Darmi terletak
dibelakang rumahku, yakni sebuah desa yang terletak di sebelah selatan
Kabupaten Banyuwangi. Rumah Mbok Darmi yang terbuat dari kayu dan bambu serta
berarsitektur Joglo tersebut seperti raja tua yang berdiri ditengah-tengah kurcaci
karena banyaknya rumah baru bergaya minimalis yang mulai banyak menjamur disekitarnya.
Orang-orang kampung yang banyak merantau ke kota rupanya membawa perubahan terhadap
arsitektur rumah mereka.
Namun tidak dengan rumah Mbok
Darmi. Selain karena faktor ekonomi yang pas-pasan, Mbok Darmi ingin menikmati
masa tuanya dengan melihat langit-langit rumahnya yang mulai rapuh untuk mengenang
masa mudanya. Jika arsitektur rumah diganti, itu sama halnya Mbok darmi seperti
seekor ikan air tawar yang dipindahkan ke lautan lepas.
Setiap pagi kepulan asap dapur
Mbok Darmi keluar diantara celah-celah genteng yang telah menghitam pertanda
tidak ada cat atau lapisan lain diatasnya. Bunyi perkakas dapur ketika dia memasak
juga bisa terdengar dari rumahku karena dinding-dinding rumah Mbok Darmi terbuat
dari anyaman bambu atau ‘gedhek’ yang menjadi ciri khas bangunan rumah tua sedangkan
dinding rumah-rumah baru memakai bahan dasar batu bata.
Selepas maghrib, kilatan cahaya
lampu pijar dari rumahnya Mbok Darmi terlihat keluar dari celah-celah gedhek dinding
rumah. Cahaya lampu pijar juga menyelinap keluar dari bawah gedhek karena
anyaman bambu tersebut yang telah rapuh tertimpa air hujan dan mulai dimakan
rayap. Setiap sehabis isya, kilatan lampu pijar itu selalu padam menandakan
bahwa Mbok Darmi mematikan lampu pijarnya dan bersiap untuk tidur.
Itulah dunia Mbok Darmi, perempuan tua yang menghabiskan sisa hidupnya sendiri dalam kesederhanaan. Hampir di setiap pagi aku selalu berusaha untuk melihat atap rumahnya untuk memastikan bahwa kepulan asap masih keluar dari rumahnya pertanda Mbok Darmi masih bisa melakukan aktifitas seperti biasa. Aku bersama para tetangga juga sering menjenguk Mbok Darmi. Jika ada acara hajatan, semua orang kampung selalu mengingat Mbok Darmi dan membawakan bingkisan khusus buatnya.
Semenjak ada program pemerintah
berupa Bantuan Langsung Tunai, Mbok Darmi selalu kebagian haknya. Para tetangga dan tetua kampung memang menyarankan agar
Mbok Darmi mendapat prioritas karena dia memang layak untuk diberi bantuan, Meskipun
demikian, Mbok Darmi masih tetap bekerja setiap hari ke sawah. Rutinitas tersebut
mungkin sudah berlangsung sebelum aku pertama kali bisa melihat dan mengingat
kejadian di sekitarku.
Pun demikian, aku sebagai
tetangga dekatnya belum pernah mendengar perempuan yang telah berambut putih
itu mengeluh tentang kehidupannya yang mungkin menurut Bank Dunia akan digolongkan
orang yang ’super miskin.’ Toh Mbok Darmi adem ayem tentang hiruk pikuk
pengukuran kaya dan miskin apalagi tentang isu politik yang tidak pernah mampu
mengganjal laparnya.
Bahkan ketika orang-orang mulai
menjerit dan ketakutan terhadap kenaikan harga bahan bakar minyak/BBM, Mbok Darmi
tidak mengeluh sedikitpun. Padahal seharusnya dia tahu bahwa akibat dari
dinaikkannya BBM akan mengakibatkan naiknya harga beras, bumbu-bumbu dapur dan
kebutuhan sehari-hari lainnya yang dibelinya di pasar setiap Hari Sabtu. Tetapi
Mbok Darmi tidak bersuara sedikitpun. Yang penting baginya adalah bagaimana
nanti nasi yang putih itu bisa sedikit ada warna merahnya dan tidak hambar
ketika dimakan.
Lalu, kenapa dia yang tidak
pernah memakai bensin karena memang tidak bisa naik motor dan tidak pernah
memakai minyak tanah untuk memasak karena tidak punya kompor tidak mengeluh
seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang pintar di ibu kota ? Atau berlaku
beringas seperti para demonstran dan aparat yang seperti cacing kepanasan
padahal baru beberapa jam terkena terik matahari? Padahal politisi, ilmuwan,
mahasiswa, sampai agamawan pun semua berteriak dan mengeluh karena naiknya BBM
‘ditakutkan’ akan mencekik tenggorokan mereka.
Tidakkah Mbok Darmi sadar bahwa selama ini dialah yang layak disebut korban dari kenaikan harga BBM? Karena dialah yang seharusnya berhak untuk berteriak karena dia tidak pernah memakai BBM namun terkena imbas dari kenaikan BBM? Ataukah ketidaksadarannya disebabkan karena dia buta terhadap ekonomi dan tuli terhadap politik?
Seharusnya dia tahu bahwa dialah
yang lebih berhak untuk membakar ban di jalanan untuk demonstrasi. Dia yang
seharusnya lebih berhak untuk melempari batu kepada polisi karena selama ini
lidahnya hanya mampu merasakan lezatnya garam dan sambal terasi. Pizza, donat,
sate, gule yang mungkin menjadi santapan sehari-hari para demonstran dan
politisi menjadi barang haram buat Mbok Darmi karena sepotong pizza bisa sama
artinya dengan nasi dua bakul yang bisa menyambung hidupnya selama empat hari.
Kesederhanaan Mbok Darmi telah menyadarkanku bahwa derajat atau gelar yang tinggi belum bisa menjadi jaminan bahwa perilaku manusia akan penuh keadilan dan kesahajaan. Atau mungkin derajat itulah yang justru menyebabkan ‘halusinasi ketakutan’ yang selama ini telah merasuki pikiran para cerdik pandai sehingga mereka tidak tahu bahwa hidup tidak akan berhenti ketika harga BBM semakin tak terbeli.
Atau mungkin orang-orang yang
selama ini berteriak dan anarkhis sudah tidak mempedulikan lagi nasib Mbok
Darmi. Tidakkah mereka merasa malu dengan kesahajaan mbok darmi yang setiap
hari rela menyusuri sungai untuk mencari kayu bakar. Atau justru para cerdik
pandai tersebut mencibir dalam hati….’ah dia perempuan tua yang tidak tahu
politik dan mungkin sudah tidak berfikir nasib orang lain’. Dia tidak layak
disebut sebagai generasi emas Indonesia .
Mbok Darmi…, andai saja ada jutaan
orang Indonesia
seperti dia, yang bisa hidup tanpa BBM, mungkin pemerintah tidak perlu
mengimpor BBM sehingga harga-harga tidak naik. Hidup bersahaja apa adanya tanpa
harus menutupi ‘kemiskinan’ karena rasa malu sebagai akibat dari gaya hidup menjadi kunci
agar seseorang bisa terus hidup tenang. Dalam skala yang lebih luas, pola hidup
ala Mbok Darmi bisa menghasilkan sinergi positif dalam bernegara karena pemerintah
punya kewajiban untuk memenuhi kebutuhan rakyat sedangkan rakyat mendukung
dengan pola hidup yang sederhana.
Mbok Darmi pantas diteladani oleh semua orang, tidak hanya oleh tetangganya melainkan oleh banyak orang yang mulai menjerit dan ketakutan menghadapi sulitnya hidup. Kalau yang dijadikan alasan penggila motor dan mobil pribadi adalah jeleknya sarana publik dan transportasi, tentu itu tidak berasalan karena dulu banyak masyarakat yang menggunakan moda transportasi non BBM. Namun toh mereka masih tetap bisa bekerja dan bisa hidup normal seperti Mbok Darmi.
Mbok Darmi menjadi simbol bahwa produktifitas dan daya
juang manusia tidak bisa dikalahkan oleh terik matahari dan rendahnya gaji. Tetapi
sayangnya, masyarakat sudah sangat tergantung terhadap teknologi dan menganggap
kenaikan harga BBM akan membuat Indonesia
kiamat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar