Rabu, 28 Maret 2012

MELACAK JEJAK MOHAMMAD ABDUH



Muhammad Abduh (1849-1905), seorang intelektual Muslim dari Mesir yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Islam di Indonesia pernah mengatakan bahwa Eropa lebih Islami dari negaranya. Abduh yang pernah tinggal di Perancis dan juga pernah mengunjungi Inggris sekitar satu abad yang lalu mengatakan bahwa dia melihat Islam di Eropa namun tidak ada orang Islam disana. Namun ketika kembali ke Masir, dia melihat begitu banyak orang Muslim tapi tidak melihat Islam.

Abduh ingin menegaskan bahwa Islam tidak harus dimaknai sebagai susunan tulisan suci yang dibaca oleh orang buta, Dia ingin menegaskan bahwa Islam adalah sesuatu yang hidup dan bisa memberikan kemaslahatan bagi manusia. Sama seperti pendapatnya Bung Karno yang mengatakan bahwa Islam itu berkembang, tidak harus copy paste dari masa lalu. Islam hadir sebagai juru selamat semua manusia sehingga umat Islam tidak seharusnya hanya terjebak dalam ritual keagamaan melainkan juga harus menggali sisi humanisme Islam. Abduh adalah sebagian dari ulama Islam yang ingin membumikan Islam.

Saya mulai mengenal pemikiran Abduh semenjak kuliah di Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004 lalu dan hampir semua mahasiswa mengalami eurofia terhadap isu kontekstualisasi Islam. Tokoh semacam Abduh, Arkoun, Fazlul Rahman dan An Naim menjadi idola bagi mahasiswa. Mereka tak ubahnya seperti ‘Indonesian idol’, sangat berpengaruh terhadap pola pikir mahasiswa mengenai kajian Islam kontemporer.

Selang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2007, saya mendapat beasiswa untuk belajar hukum perang dan hak asasi manusia dan diterima Universitas Lancaster yang terletak di sebuah desa kecil didekat Kota Manchester. Selama saya berada di Lancaster, sosok Abduh selalu hadir di hampir semua aktifitas yang saya lakukan. Saya selalu ingin membuktikan apa benar yang dikatakan oleh Abduh bahwa Eropa memang lebih Islami daripada Mesir dan juga Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia.

Memang selama satu tahun di Lancaster, saya merasakan semuanya terasa begitu Islami. Toleransi sangat dijunjung tinggi. Bahkan banyak pengumuman mengenai larangan diskriminasi dan perlakuan rasial yang ditempel di dinding kampus. Siapa saja yang merasa dirinya telah mendapatkan perlakuan yang diskriminatif, berhak untuk melapor ke polisi atau ke bagian internasional di universitas.

Saya sering mendengar dosen yang kebanyakan sudah professor memanggil mahasiswa dengan sebutan ‘sir’ atau ‘mom’ ketika diskusi di kelas. Mereka ingin menunjukan bahwa posisi dosen itu sama dengan mahasiswa. Jika mahasiswa memanggil mereka ‘profesor’ atau ‘sir’, maka sudah seharusnya mereka memanggil mahasiswa dengan sebutan yang sepadan. Dosen begitu egaliter, menganggap mahasiswa sebagai ‘teman berdiskusi’, punya kedudukan yang sama, tidak memandang mereka dari strata yang lebih tinggi.

Kampus juga menyediakan tempat ibadah bagi mahasiswa. Biasanya tempat ibadah tersebut menjadi satu. Namun di Lancaster, mahasiswa Muslim menghendaki agar universitas menyediakan tempat khusus untuk mereka dan pihak universitas menyediakan tempat yang sampai sekarang dijadikan masjid kampus. Lalu saya berfikir, bukankah universitas negeri di Indonesia juga bisa menyediakan tempat ibadah bagi agama-agama semua mahasiswa. Apalagi sekarang APBN untuk pendidikan meningkat pesat dan tidak pernah habis setiap tahunnya. Alangkah Islaminya jika semua mahasiswa punya tempat ibadah sendiri-sendiri.

Jalan-jalan atau tempat umum lainnya juga merefleksikan Islam. Ketika pejalan kaki ingin menyeberang jalan di marka penyeberangan jalan, semua pengendara mobil, sepeda motor, dan sepeda gowes selalu berhenti untuk mendahulukan para penyeberang jalan. Saya pernah tidak berani menyeberang karena bayangan saya masih terpengaruh oleh jalanan di Indonesia yang menurut saya menjadi tempat paling berbahaya. Saya takut kalau mobil tersebut tidak berhenti. Namun ternyata si pengendara mobil berhenti dan melambaikan tangan tanda memberi jalan. 

Saya sering teringat betapa susahnya orang menyeberang jalan di Indonesia seperti di Jember. Pernah ada sekumpulan orang yang sudah lama menunggu di pinggir jalan didekat Masjid Jami’ Baitul Amin namun tidak bisa menyeberang karena tidak ada kendaraan yang mau berhenti atau hanya sekedar melambatkan laju kendaraannya. Bukankah seharusnya masjid tidak hanya menyuarakan Islam ketika adzan saja, melainkan bisa menyadarkan umat Islam bahwa mereka harus berperilaku Islami dalam kehidupan sehari-hari.

Di jalan-jalan seputar kampus juga pasti banyak mahasiswa Muslim. Namun semua tahu betapa susahnya menyeberang di Jalan Jawa pada saat jam sibuk kuliah dan biasanya menjadi semakin sulit ketika Bulan Ramadhan menjelang jam berbuka. Bukankah pendidikan agama (Islam) itu menjadi menjadi mata kuliah wajib dan sudah seharusnya mereka berperilaku Islami karena mayoritas sudah mengenal Islam sejak kecil.

Peradaban yang Islami juga bisa dijumpai pusat-pusat perbelanjaan di Inggris. Suatu saat saya pernah mengantri di kasir dan melihat ada seorang nenek yang berada diantrean kasir lainnya. Namun tiba-tiba seorang laki-laki yang ada didepannya mempersilahkan nenek tersebut untuk membayar lebih dulu. Lalu saya teringat kisahnya Sahabat Ali yang terlambat shalat berjamaah di masjid karena karena dia tidak berani menyalip orang tua yang sedang berjalan karena dia begitu menghormati orang tua.

Saya kira pemikiran Abduh tidak lapuk di Eropa meskipun sudah berusia satu abad. Terlepas dari semua kontroversi yang ada, Eropa adalah ‘blue print’ peradaban modern yang mengedepankan toleransi. Saya sering berfikir apakah itu merupakan wujud dari konsep al-ismah bi-al adamiyah nya Imam Hanafi yang mengatakan bahwa Islam menjunjung tinggi humanisme dan ‘perikemanusiaan’. Eropa bisa dijadikan cermin Islam yang mengajarkan bahwa sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat kepada manusia lainnya. Wallahualam bissawab

Tidak ada komentar:

Posting Komentar