Muhammad Abduh (1849-1905), seorang intelektual Muslim dari
Mesir yang sangat berpengaruh terhadap pemikiran Islam di Indonesia pernah
mengatakan bahwa Eropa lebih Islami dari negaranya. Abduh yang pernah tinggal
di Perancis dan juga pernah mengunjungi Inggris sekitar satu abad yang lalu
mengatakan bahwa dia melihat Islam di Eropa namun tidak ada orang Islam disana.
Namun ketika kembali ke Masir, dia melihat begitu banyak orang Muslim tapi
tidak melihat Islam.
Abduh ingin menegaskan bahwa Islam tidak harus dimaknai
sebagai susunan tulisan suci yang dibaca oleh orang buta, Dia ingin menegaskan
bahwa Islam adalah sesuatu yang hidup dan bisa memberikan kemaslahatan bagi
manusia. Sama seperti pendapatnya Bung Karno yang mengatakan bahwa Islam itu
berkembang, tidak harus copy paste
dari masa lalu. Islam hadir sebagai juru selamat semua manusia sehingga umat
Islam tidak seharusnya hanya terjebak dalam ritual keagamaan melainkan juga harus
menggali sisi humanisme Islam. Abduh adalah sebagian dari ulama Islam yang
ingin membumikan Islam.
Saya mulai mengenal pemikiran Abduh semenjak kuliah di
Universitas Gadjah Mada pada tahun 2004 lalu dan hampir semua mahasiswa
mengalami eurofia terhadap isu kontekstualisasi Islam. Tokoh semacam Abduh,
Arkoun, Fazlul Rahman dan An Naim menjadi idola bagi mahasiswa. Mereka tak
ubahnya seperti ‘Indonesian idol’, sangat berpengaruh terhadap pola pikir
mahasiswa mengenai kajian Islam kontemporer.
Selang tiga tahun kemudian, tepatnya tahun 2007, saya mendapat
beasiswa untuk belajar hukum perang dan hak asasi manusia dan diterima Universitas
Lancaster yang
terletak di sebuah desa kecil didekat Kota Manchester. Selama saya berada di
Lancaster, sosok Abduh selalu hadir di hampir semua aktifitas yang saya
lakukan. Saya selalu ingin membuktikan apa benar yang dikatakan oleh Abduh
bahwa Eropa memang lebih Islami daripada Mesir dan juga Indonesia sebagai negara Muslim
terbesar di dunia.
Memang selama satu tahun di Lancaster, saya merasakan semuanya
terasa begitu Islami. Toleransi sangat dijunjung tinggi. Bahkan banyak
pengumuman mengenai larangan diskriminasi dan perlakuan rasial yang ditempel di
dinding kampus. Siapa saja yang merasa dirinya telah mendapatkan perlakuan yang
diskriminatif, berhak untuk melapor ke polisi atau ke bagian internasional di
universitas.
Saya sering mendengar dosen yang kebanyakan sudah professor
memanggil mahasiswa dengan sebutan ‘sir’ atau ‘mom’ ketika diskusi di kelas.
Mereka ingin menunjukan bahwa posisi dosen itu sama dengan mahasiswa. Jika
mahasiswa memanggil mereka ‘profesor’ atau ‘sir’, maka sudah seharusnya mereka memanggil
mahasiswa dengan sebutan yang sepadan. Dosen begitu egaliter, menganggap
mahasiswa sebagai ‘teman berdiskusi’, punya kedudukan yang sama, tidak
memandang mereka dari strata yang lebih tinggi.
Kampus juga menyediakan tempat ibadah bagi mahasiswa.
Biasanya tempat ibadah tersebut menjadi satu. Namun di Lancaster, mahasiswa
Muslim menghendaki agar universitas menyediakan tempat khusus untuk mereka dan
pihak universitas menyediakan tempat yang sampai sekarang dijadikan masjid
kampus. Lalu saya berfikir, bukankah universitas negeri di Indonesia juga bisa menyediakan
tempat ibadah bagi agama-agama semua mahasiswa. Apalagi sekarang APBN untuk
pendidikan meningkat pesat dan tidak pernah habis setiap tahunnya. Alangkah
Islaminya jika semua mahasiswa punya tempat ibadah sendiri-sendiri.
Jalan-jalan atau tempat umum lainnya juga merefleksikan Islam.
Ketika pejalan kaki ingin menyeberang jalan di marka penyeberangan jalan, semua
pengendara mobil, sepeda motor, dan sepeda gowes selalu berhenti untuk
mendahulukan para penyeberang jalan. Saya pernah tidak berani menyeberang
karena bayangan saya masih terpengaruh oleh jalanan di Indonesia yang
menurut saya menjadi tempat paling berbahaya. Saya takut kalau mobil tersebut
tidak berhenti. Namun ternyata si pengendara mobil berhenti dan melambaikan
tangan tanda memberi jalan.
Saya sering teringat betapa susahnya orang menyeberang jalan di
Indonesia
seperti di Jember. Pernah ada sekumpulan orang yang sudah lama menunggu di pinggir
jalan didekat Masjid Jami’ Baitul Amin namun tidak bisa menyeberang karena
tidak ada kendaraan yang mau berhenti atau hanya sekedar melambatkan laju
kendaraannya. Bukankah seharusnya masjid tidak hanya menyuarakan Islam ketika
adzan saja, melainkan bisa menyadarkan umat Islam bahwa mereka harus berperilaku
Islami dalam kehidupan sehari-hari.
Di jalan-jalan seputar kampus juga pasti banyak mahasiswa
Muslim. Namun semua tahu betapa susahnya menyeberang di Jalan Jawa pada saat
jam sibuk kuliah dan biasanya menjadi semakin sulit ketika Bulan Ramadhan
menjelang jam berbuka. Bukankah pendidikan agama (Islam) itu menjadi menjadi
mata kuliah wajib dan sudah seharusnya mereka berperilaku Islami karena
mayoritas sudah mengenal Islam sejak kecil.
Peradaban yang Islami juga bisa dijumpai pusat-pusat
perbelanjaan di Inggris. Suatu saat saya pernah mengantri di kasir dan melihat
ada seorang nenek yang berada diantrean kasir lainnya. Namun tiba-tiba seorang
laki-laki yang ada didepannya mempersilahkan nenek tersebut untuk membayar
lebih dulu. Lalu saya teringat kisahnya Sahabat Ali yang terlambat shalat
berjamaah di masjid karena karena dia tidak berani menyalip orang tua yang
sedang berjalan karena dia begitu menghormati orang tua.
Saya kira pemikiran Abduh tidak
lapuk di Eropa meskipun sudah berusia satu abad. Terlepas dari semua
kontroversi yang ada, Eropa adalah ‘blue print’ peradaban modern yang
mengedepankan toleransi. Saya sering berfikir apakah itu merupakan wujud dari
konsep al-ismah bi-al adamiyah nya
Imam Hanafi yang mengatakan bahwa Islam menjunjung tinggi humanisme dan
‘perikemanusiaan’. Eropa bisa dijadikan cermin Islam yang mengajarkan bahwa
sebaik-baiknya manusia adalah mereka yang memberi manfaat kepada manusia
lainnya. Wallahualam bissawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar