Seri Novel 'Parto Da Gama, Kisah Santri Desa Menaklukan Dunia'
Hidup di desa dengan kondisi alam
yang asri, jauh dari kebisingan kota
merupakan anugerah dari Tuhan yang harus dinikmati oleh siapapun. Mungkin itulah
yang ada di otaknya Parto. Dia merasa bahwa masa kecilnya tidak lengkap jika
belum bersentuhan dengan alam. Baginya dan juga sebagian besar anak-anak di
Desa Watu Jati, sawah bukan hanya tempat bekerja orang dewasa melainkan juga
tempat bermain anak-anak setelah mereka pulang dari sekolah. Sungai tidak hanya
dijadikan tempat mandi dan menyuci melainkan juga menguji nyali anak-anak desa
untuk berenang atau bermain petak umpet.
Sekolah bagi Parto hanyalah
pelengkap hidup. Maka hidupnya sudah sangat lengkap jika sudah bisa membaca dan
menulis. Baginya hidup yang sesungguhnya bukanlah di bangku sekolah melainkan
di alam bebas. Karena disitulah dia merasa bebas berkreasi tanpa harus takut
oleh gertakan guru atau dimarahi orang tua. Oleh karena itu banyak anak Desa
Watu Jati yang selalu kreatif membuat permainan mereka sendiri. Tidak ada jenis
mainan yang dibeli di toko karena alam bagaikan surga yang menyediakan semua
jenis permainan.
Bambu, kulit kelapa atau Jeruk
Bali bisa disulap jadi mobil. Pelepah pisang atau pohon singkong bisa diubah
menjadi senapan. Jika ingin lebih seru, mereka menggunakan peluru dari buah-buahan yang banyak terdapat di desa. Daun nangka bisa dijadikan mahkota atau tangkai
daun singkong dijadikan wayang. Seluruh wilayah desa juga bisa diubah menjadi
arena berbagai jenis permainan ketangkasan dan olah kecerdasan seperti perang-perangan.
Semuanya bisa didapatkan secara gratis.
Bahkan jika ingin menikmati
hiburan seperti layar tancap pun Parto tidak perlu membayar. Layar tancap
biasanya masuk Desa Watu Jati di musim panas dibawa oleh penjual jamu untuk
menarik minat warga desa. Jadi penjual jamu bisa mendatangkan banyak warga
karena ada tontonan gratis. Jadi meskipun banyak warga yang datang, namun sedikit
dari mereka yang membeli jamu. Layar tancap versi penjual jamu tersebut selalu
rutin datang ke desa setiap tahun. Bahkan satu tahun bisa dua sampai tiga kali.
Parto dan teman-temannya biasanya menonton layar tancap sehabis mengaji di
masjid. Sepulang dari nonton dia tidak pulang ke rumah melainkan tidur di
masjid bersama teman-temannya.
Hiburan gratis lainnya adalah
video, yakni pemutaran film yang menggunakan beberapa telivisi yang terhubung
dengan mesin pemutar film. Tontonan video biasanya diadakan oleh keluarga kaya yang
ada di desa ketika mereka sedang mempunyai hajatan pernikahan atau sunatan. Video
diputar semalam suntuk mulai sehabis isya sampai menjelang matahari terbit. Televisi-telivisi
tersebut biasanya dihadapkan ke penonton, tamu undangan dan keluarga yang
mempunyai hajatan. Jadi penonton dan tamu undangan tidak bercampur jadi satu.
Parto dan anak-anak desa lainnya
selalu membawa uang dan pisau kecil ketika menonton video. Uang digunakan untuk
membeli jajan sedangkan pisau digunakan mencari daun pisang untuk dibuat alas
tidur ketika mereka mengantuk. Namun biasanya Parto sudah persiapan agar tidak
mengantuk ketika menonton video. Dia selalu tidur di siang hari sebelum
malamnya menonton video. Jadi kakeknya biasanya sudah menduga jika Parto tidur
siang, berarti nanti malam pasti ada acara yang tidak mau dilewatkan. Baginya video
sangatlah berharga karena tidak setiap hari orang punya hajatan dan menyediakan
video sebagai tontonan gratis. Itulah sebabnya Parto dan teman-temannya tidak
hanya menonton video di desanya melainkan juga desa-desa tetangga yang lumayan
jauh.
Parto tidak pernah membaca buku
atau belajar kecuali didalam kelas. Dia merasa bahwa buku tidak menarik karena
berisi angka-angka atau deretan abjad yang tidak menjawab keinginannya. Jika mendengar
kata Matematika, Parto selalu mengernyitkan dahi pertanda tidak paham. Dia mengaji
di masjid pun tidak ingin mengerti kandungan dalam Al Quran melainkan ingin
berkumpul dengan teman-teman sebayanya. Baginya, menjadi Islam itu cukup dengan
hanya bisa membaca Al Quran dan menjalankan rukun Islam. Parto begitu alamiah
seperti alam yang telah membentuk daya kreatifitasnya.
Namun ada satu anak yang sangat
dibenci oleh Parto. Laila, seorang anak perempuan teman kelasnya yang selalu menjadi
juara kelas. Laila tidak pernah bermain bersama anak desa lainnya karena
hari-harinya dihabiskan dirumah untuk belajar dan mengaji sehingga hafal dan
paham semua pelajaran yang disampaikan oleh guru. Laila adalah seorang anak dari
kyai pemangku masjid di Desa Watu Jati, Kyai Harun. Kyai Harun adalah panutan
masyarakat desa karena anak-anak mereka selalu mengaji setiap malam di masjid dibawah
bimbingan Kyai Harun.
Parto membenci Laila bukan karena
kecerdasan dan prestasinya. Tetapi karena Jamilah, ibunya Parto sering sering
membanding-bandingkan Parto dengan Laila. Dia menganggap bahwa Parto sisi dunia
lainnya Laila. Parto hanyalah seorang anak yang selalu bermain sampai lupa belajar
sedangkan Laila adalah seorang anak yang selalu belajar sampai lupa bermain. Hampir
tiap hari Jamilah memarahi Parto.
‘Kamu itu sukanya main terus,
tidak pernah belajar….kamu itu harus meniru Laila, anaknya Kyai Harun yang
selalu rangking kelas!’
Kata-kata itu hampir setiap hari
masuk ke telinga kanan Parto lalu mampir sebentar di otaknya sebelum keluar dari
telinga sebelah kiri. Jika mendengar kata-kata tersebut Parto biasanya langsung
ngeloyor keluar rumah untuk bermain bersama teman-temannya. Baginya Laila
hanyalah anak rumahan yang tidak tahu bagaimana caranya menikmati keindahan desa.
Kenyataannya memang Parto tidak
pernah menang dari Laila dalam hal prestasi kelas. Bahkan ketika ujian nasional
kelas 6, Laila mendapatkan nilai tertinggi dan menjadi lulusan terbaik. Semua orang
desa memujinya sebagai siswa yang harus diteladani oleh semua anak-anak desa. Para orang tua selalu berharap anak-anak mereka bisa
menjadi bintang kelas dan mengalahkan Laila.
Sedangkan Parto berada
diperingkat paling bawah dari 40 siswa. Tidak ada yang memperhatikan prestasi
Parto karena mereka semua sudah tahu bahwa Partolah yang akan mendapatkan
posisi juru kunci pada acara kelulusan siswa kelas 6 di sekolah tersebut. Toh dia
tidak merasa kecewa karena baginya itu adalah prestasi yang sudah sangat baik
mengingat malam sebelum ujian nasional dia menonton video semalam suntuk.
Kegemaran Parto bermain tersebut
akhirnya menggiringnya ke pesantren. Orang tua Parto sudah mantap untuk
mengungsikannya dari desa agar tidak bermain lagi. Maka dipilihlah pesantren dimana
dulu bapaknya pernah nyantri yang letaknya sekitar 50km dari Desa Watu Jati. Pesantren
tersebut dipilih karena selain menyediakan pengajian kitab-kitab klasik juga
mempunyai sekolah umum mulai dari tingkat dasar sampai menengah atas.
Parto juga tidak keberatan dengan
ide orang tuanya tersebut karena baginya pesantren sama saja dengan masjid. Dia
bahkan bisa mempunyai lebih banyak teman dan tidak pernah dibandingkan lagi
dengan Laila. Maka dia juga ingin secepatnya pergi ke pesantren tersebut. Hanya
sang kakek, Dulkarim yang merasa agak keberatan jika Parto tinggal di pesantren
karena masih terlalu kecil. Selain itu dia juga merasa kehilangan cucu yang
paling disayanginya tersebut. Apalagi Parto harus tinggal di pesantren karena
letak pesantren yang jauh dari desa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar