Minggu, 12 Februari 2012

MUNGKINKAH MENGHAPUS POLIGAMI?

Persinggungan antara hak asasi manusia dan ajaran agama, utamanya yang berkaitan dengan hak perempuan selalu menarik untuk dikaji. Salah satunya adalah isu poligami. Disatu sisi, poligami merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak perempuan karena mengijinkan laki-laki untuk menikah lebih dari satu istri dan sebaliknya mewajibkan perempuan untuk mempraktikan perkawinan monogami. Namun disisi lain, praktik tersebut dianggap sebagai hak yang sah bagi laki-laki karena ada ajaran agama yang mengaturnya. 

Persoalan diatas menunjukan bahwa ada dua norma yang saling bertentangan. Pertama, prinsip dasar hak asasi manusia yang melindungi kesetaraan gender bagi perempuan. Kedua, manifestasi keagamaan sebagai salah satu hak kebebasan beragama yang mendiskriminasi persamaan hak tersebut. Pertentangan tersebut semakin serius ketika ada kekhawatiran bahwa konsep kesetaraan gender yang berusaha menghilangkan poligami dinilai bisa merusak nilai agama atau ‘anti’ terhadap agama tersebut.

Di Indonesia, poligami dilegalkan melalui UU Perkawinan No. 1/1974. Artinya, persoalan poligami di Indonesia tidak terbatas pada manifestasi keagamaan saja melainkan juga legalnya praktik diskriminatif tersebut berdasarkan hukum positif. Adanya manifestasi keagamaan diskriminatif (poligami) yang dilegalkan oleh peraturan hukum bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran yang tersistematis karena praktik diskriminatif tersebut dilindungi oleh undang-undang. 

Sangat disayangkan jika praktik poligami masih diterapkan di Indonesia. Padahal pemerintah telah meratifikasi beberapa instrumen internasional yang melindungi hak-hak kaum hawa tersebut. Pengakuan terhadap kesetaraan gender juga diatur secara komprehensif didalam UUD 1945 (amandemen) dan UU HAM No. 39/1999. Tentu pengakuan dan praktik poligami tersebut merupakan sebuah noda yang harus dibersihkan jika Indonesia ingin menjadi negara yang demokratis. Sesungguhnya salah satu prinsip dasar sistem demokrasi adalah pengakuan terhadap persamaan hak bagi semua manusia.


Anomali Poligami
Harus diakui bahwa sebenarnya pengakuan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia mengalami kemajuan yang sangat pesat pasca jatuhnya rejim orde baru. Namun kenyataannya negara dan mayoritas elemen masyarakat justru memilih untuk ‘permisif’ terhadap praktik poligami yang secara nyata telah mendiskriminasi kaum hawa tersebut. Hak mereka terpinggirkan oleh hiruk pikuk semangat demokrasi dan dikesampingkan oleh urgensi pembangunan ekonomi. 
Semangat demokrasi dan reformasi memang telah berhasil memporakporandakan sistem totaliter orde baru. Namun kenyataannya justru kehilangan taring untuk menggugat terjadinya diskriminasi terhadap hak dan kebebasan perempuan tersebut. Sampai saat ini, euphoria reformasi hukum yang giat mengamandemen peraturan yang dianggap tidak reformis dan demokratis justru impoten untuk menghapus poligami seperti yang diatur didalam UU No. 1/1974. Sebagian besar elemen masyarakat juga ‘diam’ karena sebagian dari mereka merasa diuntungkan dengan praktik poligami.
Tentu tindakan kolektif yang permisif ini merupakan anomali ditengah lompatan besar negara Indonesia didalam sejarah pengakuan hak asasi manusia. Reformasi telah membawa angin surga berupa pengakuan dan perlindungan terhadap hak dan kebebasan bagi semua warga negara didalam berbagai instrumen hukum nasional. Tentu pengakuan secara ‘de jure’ tersebut merupakan kunci dasar pengakuan hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Namun pelanggaran terhadap prinsip non diskriminasi seperti praktik poligami bisa terjadi karena masih ada ‘conflict of laws’ dalam hukum nasional. Oleh karena itu, sudah seharusnya poligami dihapuskan untuk melindungi hak kaum perempuan. 

Harus ada aturan yang tegas untuk melarang poligami. Selain untuk menegakan prinsip kesetaraan gender, juga untuk menghilangkan manifestasi keagamaan yang diskriminatif. Meskipun semua manusia mempunyai hak untuk memanifestasikan agama mereka, tetapi pelaksanaannya tidak boleh mengganggu hak dan kebebasan fundamental manusia lainnya. Oleh karena itu, dasar penerapan poligami berdasarkan ajaran agama tidak dibenarkan karena mengurangi hak perempuan.


Wahyu Suci Prinsip Non Diskriminasi
Prinsip non diskriminasi atau persamaan hak menegaskan bahwa semua manusia mempunyai hak dan kebebasan yang sama tanpa pengecualian. Oleh karena itu, prinsip non diskriminasi merupakan salah satu norma fundamental untuk meningkatkan derajat dan martabat manusia. 

Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah semua bentuk pembedaan perlakuan atau batasan yang mengakibatkan hilangnya pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagaimana yang seharusnya dipunyai oleh laki-laki. Semua jenis tindakan tersebut melanggar prinsip persamaan gender dan mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan. 

Adanya pengakuan terhadap persamaan hak bagi perempuan tidak lepas dari sejarah dan tradisi yang melemahkan perempuan di berbagai bidang. Subordinasi terjadi tidak saja karena pengaruh pemahaman ajaran agama, melainkan juga dikonstruksi oleh budaya dan tradisi patriarkhi yang banyak terjadi di berbagai negara. 
Poligami dianggap diskriminatif karena menciptakan ketimpangan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Peraturan yang melegalkan praktik tersebut tidak saja mengindikasikan buruknya prinsip non diskriminasi didalam peraturan tersebut melainkan juga mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap kaum perempuan oleh masyarakat yang menerapkannya. 

Harus dipahami bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia tidak saja terbatas pada kegagalan untuk menyediakan atau melindungi hak asasi manusia melainkan juga ‘kurangnya’ kepedulian untuk menyediakan hak tersebut. Tindakan permisif dari berbagai pihak untuk terus melegalkan poligami merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak kaum hawa. Oleh karena itu, telah terjadi pelanggaran yang tersistematis dari semua elemen bangsa karena semua masyarakat Indonesia telah membiarkan berlakunya poligami. 

Jika diamnya negara dan berbagai pihak disebabkan karena anggapan tentang poligami sebagai salah satu ajaran agama yang bersifat sakral, maka sejatinya manifestasi keagamaan tersebut juga telah menodai prinsip non diskriminasi dan persamaan hak sebagai ‘wahyu suci’ didalam hak asasi manusia. Kesakralan prinsip tersebut sama dengan kesucian ajaran agama dimana pelanggaran terhadapnya merupakan ‘dosa yang sangat besar.’ 
Perempuan harus dilindungi tidak dengan melihat jenis kelamin atau status mereka sebagai korban melainkan karena perempuan adalah juga manusia seperti halnya laki-laki yang harus mempunyai martabat, hak dan kebebasan yang sama. ‘Keikhlasan’ istri untuk dipoligami juga tidak boleh dijadikan alasan untuk menerapkan poligami karena yang menjadi persoalan bukanlah keikhlasan mereka melainkan persamaan derajat dan martabat antara perempuan dan laki-laki.

London

1 komentar:

  1. Tergantung dari kaca mata mana kita melihatnya, Mas. Karena saya seorang muslim maka saya melihat dari kaca mata Islam. Artinya tidak ada masalah dg poligami jika syarat2nya memang terpenuhi. Kalo kita melihat syarat2 poligami yang telah ditentukan oleh Islam, sebenarnya sulit sekali bagi seorang suami untuk poligami. Meskipun sekarang ini banyak orang2 muslim yang menyalahgunakan ketentuan ini untuk poligami, padahal mereka tidak memenuhi syarat. Saya tetap setuju dg adanya poligami tetapi saya sendiri tidak akan melakukannya. Dulu Nasir dan Soekarno juga sering sekali berdebat mengenai masalah poligami ini. Soekarno bersikeras menyatakan bahwa poligami melanggar HAM dan harus dihapuskan. Sedangkan Nasir tetap berpendapat bahwa poligami itu dibolehkan dalam Islam asal semua syaratnya terpenuhi. Pada akhirnya justru Soekarno yg melakukan poligami. Nasir yang membolehkan poligami, sampai akhir hidupnya hanya punya satu istri. Sebenarnya yang harus dikaji adalah syarat2 dan kemanfaatan poligami bagi suami-istri itu sendiri.

    BalasHapus