Perempuan tua itu masih saja bersahaja meskipun harus tidur beralaskan tikar pandan diatas keranda yang terbuat dari bambu. rumahnya yang terletak dibelakang rumah saya tdk lebih besar dari dapur rumah saya. seringkali kepulan asap dapurnya terlihat diantara celah-celah genteng yang telah menghitam pertanda tidak ada cat atau lapisan diatasnya. jika malam tiba, kilapan cahaya lampu pijar dari rumah yang lebih tua dari umur saya tersebut berusaha keluar dari celah-celah dinding rumah yang terbuat dari anyaman bambu atau ‘gedhek.’
itulah dunia mbok darmi, perempuan tua yang menghabiskan sisa hidupnya sendiri karena harus ditinggal suami sekitar 10thn silam. dia tidak mempunyai anak dan cucu melainkan mempunyai tetangga yang ramah dan lingkungan yang bersahabat dengannya. ketika pemerintah mencairkan BLT (bantuan langsung tunai) yang sudah berjalan beberapa tahun belakangan ini, tetangga-tetangga beliaulah yang memberitahukan kepada aparat desa bahwa mbok darmi layak mendapatkan bantuan tersebut. meskipun demikian, mbok darmi masih harus menghidupi kebutuhan sehari-harinya dengan menjadi buruh tani dan ‘ngasak’ - mencari padi sisa panen. rutinitas ini sudah saya lihat sejak pertama kali saya mampu melihat dan mengingat kejadian di sekitar saya. pun demikian, saya sebagai tetangga dekatnya belum pernah mendengar perempuan yang telah berambut putih itu mengeluh tentang kehidupannya yang mungkin menurut bank dunia akan digolongkan orang yang ’super miskin.’ toh mbok darmi adem ayem tentang hiruk pikuk pengukuran kaya dan miskin apalagi tentang isu politik yang tidak mampu mengganjal laparnya.
kesahajaan mbok darmi pantas diteladani oleh semua orang. yang terakhir adalah ketika mbok darmi tidak mengeluh sedikitpun ketika BBM dinaikan pemerintah. padahal seharusnya dia tahu bahwa akibat dari dinaikkannya BBM akan mengakibatkan naiknya harga beras, bumbu-bumbu dapur dan kebutuhan sehari-hari lainnya yang dibelinya di pasar setiap hari sabtu. tetapi mbok darmi tidak pernah menanyakan dan menawar harga bawang dan cabe kepada si penjual. yang penting bagi dia adalah bagaimana nanti nasi yang putih itu bisa sedikit ada warna merahnya dan tidak hambar ketika dimakan.
lalu, kenapa dia yang tidak pernah memakai bensin karena memang tidak bisa naik motor dan tidak pernah memakai minyak tanah karena tidak punya kompor tidak mengeluh seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang-orang pintar di ibu kota? padahal politisi, ilmuwan, mahasiswa, sampai agamawan pun harus berteriak dan mengeluh karena naiknya BBM ‘ditakutkan’ akan mencekik tenggorokan mereka.
tidakkah mbok darmi sadar bahwa selama ini dialah yang layak disebut korban dari kenaikan harga BBM? karena setiap hari dia harus menyusuri tepian sungai dan menelusuri tegalan tetangganya demi mencari kayu bakar untuk terus memanaskan panci dan mengepulkan asap dapurnya. atau tidakkah orang-orang yang selama ini berteriak karena ketakutan merasa malu dengan kesahajaan mbok darmi? seorang janda yang tidak pernah mengeluh meskipun tiap hari harus makan nasi dengan sambal terasi kesukaannya? pizza, donat, sate, gule mungkin menjadi barang haram buat mbok darmi karena sepotong pizza bisa sama artinya dengan nasi dua bakul yang bisa menyambung hidupnya selama empat hari.
kesahajaan mbok darmi telah menyadarkan saya bahwa derajat atau gelar yang tinggi belum bisa menjadi jaminan bahwa perilaku manusia akan penuh kesahajaan. atau mungkin derajat itulah yang justru menyebabkan ‘halusinasi ketakutan’ yang selama ini telah merasuki pikiran para cerdik pandai?
mbok darmi, andai saja ada jutaan orang indonesia seperti dia, mungkin pemerintah tidak perlu mengimpor BBM sehingga harga-harga tidak naik. hidup bersahaja apa adanya tanpa harus menutupi ‘kemiskinan’ karena rasa malu sebagai akibat dari gaya hidup menjadi kunci agar seseorang bisa terus hidup tenang. dalam skala yang lebih luas, hubungan negara dengan rakyat akan menghasilkan sinergi positif karena negara yang wajib memenuhi kebutuhan rakyat akan didukung oleh pola hidup rakyat yang sederhana.
kalau yang dijadikan alasan penggila motor dan mobil pribadi adalah jeleknya sarana publik dan transportasi, apakah ini tidak justru menunjukan kemalasan mereka sebagai masyarakat modern. saya masih ingat betul tahun 1998 ketika saya pertama kali ke jogja, orang-orang - buruh migrant yang datang dari klaten untuk mencari pekerjaan di yogya pulang pergi tiap hari dengan naik sepeda. jika di pagi hari, Jalan Solo yang menghubungkan Klaten dengan pusat kota Jojga bisa dipenuhi ratusan orang yang naik sepeda onthel. kemudian sore hari, iring-iringan Sepeda yang hampir satu kilo meter itu menjadi tontonan rutin warga di sepanjang Jalan Solo.
itulah simbol akan produktifitas dan daya juang masyarakat yang tak mau dikalahkan oleh terik matahari dan rendahnya gaji. yang penting bagi mereka adalah bisa melihat anak istri tetap bisa melalui hari-hari ke depan dengan perut yang terisi nasi dan sambal terasi. tetapi sayangnya, saya tidak melihat lagi iring-iringan sepeda tersebut selama tahun 2004-2006 ketika saya belajar di UGM.
kalau diperbandingkan, apa bedanya th 1998 dengan 2008? dari kualitas jalan, tentu Jalan Solo sekarang jauh lbh baik daripada tahun 98 karena sekarang sudah dibuat dua jalur. tetapi kenapa orang-orang mengatakan bahwa sistem transportasinya jelek? padahal seharusnya para pengayuh sepeda di th 98 itu yang lebih berhak mengatakannya.
so…akankah muncul mbok darmi atau pengayuh becak lain di jaman yang telah mendewakan simbol-simbol materi? akankah teriakan-teriakan cerdik pandai itulah yang nantinya justru membunuh mbok darmi dan para pengayuh sepeda dimasa datang atau,…. mungkin malah sebaliknya?
demi indonesia yang lebih bermartabat,
De Lionine
Lancaster 24 July 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar