Jumat, 06 Januari 2012

PAROCHIALISME HUKUM DALAM PERADILAN SANDAL JEPIT





Sejarah hukum dan lembaga peradilan di Indonesia memasuki babak baru. Setelah menjadi mainan para mafia hukum, kini hukum dan payung suci penegak keadilan tersebut justru direndahkan oleh hakim. Betapa tidak, harga lembaga peradilan ternyata hanya senilai sandal jepit. Mereka juga menjual keadilan tidak lebih mahal dari setandan pisang, sekarung kapuk, ataupun seikat rumput. Putusan terhadap kasus-kasus tersebut menyiratkan bahwa lembaga peradilan mempunyai pemahaman yang ‘parochial’ atau sempit terhadap hukum sehingga mengakibatkan keadilan semu.

Alih-alih berniat menegakan keadilan, justru pemahaman hukum mereka yang sangat ‘parochial’ tersebut telah mendemonisasi keadilan. Masyarakat tak mempercayai lagi bahwa peradilan adalah payung suci keadilan. Tak salah jika kemudian ada kiriman sandal ke pihak kepolisian sebagai aksi protes terhadap peradilan sandal tersebut. Bahkan media asing juga ikut memberitakan tentang simbol baru keadilan di Indonesia berupa sandal!

Substansi
Saya tidak tahu apakah hakim yang memutus perkara pencurian sandal jepit tersebut tidak pernah membaca atau memang sengaja melupakan pentingnya memahami hukum secara holistik. Hukum harus dimaknai secara luas, tidak hanya seperti yang tertulis dalam perundang-undangan karena itu hanya sebagian kecil dari hukum. Hukum tertulis pada dasarnya bukanlah hukum yang dibuat oleh negara, melainkan hukum yang diterima oleh negara. Karena sifatnya yang pasif, maka negara tidak bisa serta merta memberlakukan hukum baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal dinamika masyarakat bergerak lebih cepat daripada hukum.

Dalam konteks kegaduhan hukum seperti sekarang ini, dimana kesalahan dan kebenaran semakin samar, lembaga pembuat perundang-undangan kehilangan integritas dan independensi lembaga peradilan mulai dipertanyakan, maka sudah seharusnya hakim mampu menggali hukum yang berkembang di masyarakat. Hukum memang harus tetap memperhatikan norma tertulis namun dimensi hukum yang tidak tertulis jauh lebih besar. Oleh karena itu, pemberitaan media massa, pengiriman sandal ke kepolisian dan penolakan masyarakat terhadap peradilan kasus pencurian sandal jangan dianggap angin lalu. Itulah hukum yang harus dipahami.

Pendapat yang meyakini bahwa hukum, hakim dan lembaga peradilan harus terbebas dari polusi sosial sejatinya telah mengalami rabun dini untuk melihat fenomena hukum yang sebenarnya. Mereka juga buta jika hanya menganggap bahwa hukum adalah apa yang tertulis. Anggapan teresbut adalah penjajahan terhadap hukum sehingga dinamika gerak hukum di Indonesia tidak mampu merespon pelanggaran hukum yang ada. Tidak heran jika kemudian korupsi semakin menjadi-jadi dan modus operandi kejatan semakin beragam.

Memang hukum tertulis merupakan kekuasaan yang menciptakan dua pendulum besar di masyarakat, yakni adanya kepastian dan keamanan. Namun harus dimengerti bahwa yang suci dari hukum bukanlah aturannya melainkan nilai keadilannya. Oleh karena itu kekuasaan hukum yang diberlakukan selama ini telah mengakibatkan kegagalan karena hanya memberikan ruang kepada pihak yang mampu bernegosiasi dan mengabaikan pihak lain.

Hukum tertulis memang bagus untuk urusan bisnis. Namun ketika harus berhadap-hadapan dengan realitas kemanusiaan, maka keadilan harus dicari diakarnya, bukan hanya melihat hukum yang ada di cabang atau ranting pohon yang berupa tulisan norma-norma hukum dalam perundang-undangan.  Hal ini penting untuk melihat kejahatan sebagai sebuah realitas plural karena terkait dengan berbagai dimensi. Begitu pula putusan pengadilan terhadap kejahatan tersebut seharusnya juga melihat berbagai faktor yang ada.

Hukum juga harus dibedakan antara hukum sebagai sebuah disiplin peraturan dan hukum sebagai sebuah aktifitas. Oleh karena itu proses mengadili lebih penting daripada hukum yang tertulis dan itulah sebabnya hakim mempunyai kekuasaan mutlak untuk menafsirkan hukum. Namun jika sang penafsir mempunyai kedangkalan pengetahuan, maka yang terjadi adalah parochialisme hukum yang berdampak pada kegagalan untuk menciptakan keadilan substantif.

Pluralisme Hukum
Hakim harus mengentahui bahwa hukum ada dimana-mana, selalu dinamis dan mengikuti perkembangan sosial di masyarakat. Meminjam istilahnya Prof Menski (2006), hukum seperti layang-layang, selalu terbang mengikuti angin dan tidak statis karena hukum hidup dalam masyarakat. Jika kita merasa tidak menemukan keadilan dalam hukum tertulis, sudah seharusnya kita mencari dimensi lain hukum yang belum terungkap.

Memahami hukum tidak bisa lepas dari tiga elemen dasar, yakni aturan tertulis atau dimensi normatif, kondisi sosial masyarakat sebagai dimensi sosio-legal dan etika, moralitas dan nilai-nilai agama sebagai dimensi hukum alam. Ketiga elemen tersebut membentuk sebuah dinamika gerak yang dinamakan pluralisme hukum dan menjadi alat utama untuk memunculkan keadilan substantif. Pluralisme hukum bisa menjawab teka teki integritas peradilan karena hakim tidak hanya mendasarkan putusan mereka dari norma tertulis, melainkan juga mengakomodir etika dan moralitas yang berlaku di masyarakat.

Pluralisme hukum di Indonesia sangat diperlukan mengingat infrastruktur hukum sudah kian lemah dalam merespon perilaku kejahatan. Mereka tidak hanya diserang dari luar melainkan juga digerogoti dari dalam sehingga menjadi seperti macan ompong di kebun binatang. Peradilan bukan sebagai prosesi hukum yang sakral melainkan seringkali hanya dijadikan tontonan dan masyarakat tidak menginginkan apapun dari peradilan itu kecuali sebuah akhir yang lucu.

Plurisme hukum juga diperlukan karena selama ini ada segregasi antara ahli hukum dan pengamat sosial. Pengamat sosial tidak percaya lagi dengan lembaga hukum yang dinilai terus menerus mendemonstrasikan parochialisme hukum sehingga menyebabkan penyempitan keadilan. Padahal jurang antara fenomena kejahatan dan pemahaman hukum semakin lebar dan bisa membahayakan terhadap tegaknya keadilan.

Lembaga peradilan tidak boleh terbelenggu oleh parochialisme hukum dengan hanya melihat dan memahami hukum tertulis karena hanya melahirkan prosesi hukum murahan seperti peradilan sandal jepit. Oleh karena itu hakim jangan hanya reaksioner, melainkan juga harus revolusioner dengan berani mematahkan tradisi penafsiran hukum positif demi menciptakan keadilan substantif.

 London, 6 Januari 2012

Tidak ada komentar:

Posting Komentar