Sejarah hukum dan lembaga
peradilan di Indonesia
memasuki babak baru. Setelah menjadi mainan para mafia hukum, kini hukum dan payung
suci penegak keadilan tersebut justru direndahkan oleh hakim. Betapa tidak, harga
lembaga peradilan ternyata hanya senilai sandal jepit. Mereka juga menjual
keadilan tidak lebih mahal dari setandan pisang, sekarung kapuk, ataupun seikat
rumput. Putusan terhadap kasus-kasus tersebut menyiratkan bahwa lembaga
peradilan mempunyai pemahaman yang ‘parochial’ atau sempit terhadap hukum sehingga
mengakibatkan keadilan semu.
Alih-alih berniat menegakan
keadilan, justru pemahaman hukum mereka yang sangat ‘parochial’ tersebut telah
mendemonisasi keadilan. Masyarakat tak mempercayai lagi bahwa peradilan adalah
payung suci keadilan. Tak salah jika kemudian ada kiriman sandal ke pihak
kepolisian sebagai aksi protes terhadap peradilan sandal tersebut. Bahkan media
asing juga ikut memberitakan tentang simbol baru keadilan di Indonesia berupa sandal!
Substansi
Saya tidak tahu apakah hakim yang
memutus perkara pencurian sandal jepit tersebut tidak pernah membaca atau
memang sengaja melupakan pentingnya memahami hukum secara holistik. Hukum harus
dimaknai secara luas, tidak hanya seperti yang tertulis dalam
perundang-undangan karena itu hanya sebagian kecil dari hukum. Hukum tertulis pada
dasarnya bukanlah hukum yang dibuat oleh negara, melainkan hukum yang diterima
oleh negara. Karena sifatnya yang pasif, maka negara tidak bisa serta merta
memberlakukan hukum baru untuk memenuhi kebutuhan masyarakat. Padahal dinamika
masyarakat bergerak lebih cepat daripada hukum.
Dalam konteks kegaduhan hukum
seperti sekarang ini, dimana kesalahan dan kebenaran semakin samar, lembaga
pembuat perundang-undangan kehilangan integritas dan independensi lembaga
peradilan mulai dipertanyakan, maka sudah seharusnya hakim mampu menggali hukum
yang berkembang di masyarakat. Hukum memang harus tetap memperhatikan norma
tertulis namun dimensi hukum yang tidak tertulis jauh lebih besar. Oleh karena
itu, pemberitaan media massa ,
pengiriman sandal ke kepolisian dan penolakan masyarakat terhadap peradilan
kasus pencurian sandal jangan dianggap angin lalu. Itulah hukum yang harus dipahami.
Pendapat yang meyakini bahwa
hukum, hakim dan lembaga peradilan harus terbebas dari polusi sosial sejatinya
telah mengalami rabun dini untuk melihat fenomena hukum yang sebenarnya. Mereka
juga buta jika hanya menganggap bahwa hukum adalah apa yang tertulis. Anggapan
teresbut adalah penjajahan terhadap hukum sehingga dinamika gerak hukum di Indonesia
tidak mampu merespon pelanggaran hukum yang ada. Tidak heran jika kemudian
korupsi semakin menjadi-jadi dan modus operandi kejatan semakin beragam.
Memang hukum tertulis merupakan
kekuasaan yang menciptakan dua pendulum besar di masyarakat, yakni adanya kepastian
dan keamanan. Namun harus dimengerti bahwa yang suci dari hukum bukanlah
aturannya melainkan nilai keadilannya. Oleh karena itu kekuasaan hukum yang
diberlakukan selama ini telah mengakibatkan kegagalan karena hanya memberikan
ruang kepada pihak yang mampu bernegosiasi dan mengabaikan pihak lain.
Hukum tertulis memang bagus untuk
urusan bisnis. Namun ketika harus berhadap-hadapan dengan realitas kemanusiaan,
maka keadilan harus dicari diakarnya, bukan hanya melihat hukum yang ada di
cabang atau ranting pohon yang berupa tulisan norma-norma hukum dalam
perundang-undangan. Hal ini penting
untuk melihat kejahatan sebagai sebuah realitas plural karena terkait dengan
berbagai dimensi. Begitu pula putusan pengadilan terhadap kejahatan tersebut
seharusnya juga melihat berbagai faktor yang ada.
Hukum juga harus dibedakan antara
hukum sebagai sebuah disiplin peraturan dan hukum sebagai sebuah aktifitas. Oleh
karena itu proses mengadili lebih penting daripada hukum yang tertulis dan
itulah sebabnya hakim mempunyai kekuasaan mutlak untuk menafsirkan hukum. Namun
jika sang penafsir mempunyai kedangkalan pengetahuan, maka yang terjadi adalah
parochialisme hukum yang berdampak pada kegagalan untuk menciptakan keadilan
substantif.
Pluralisme Hukum
Hakim harus mengentahui bahwa hukum
ada dimana-mana, selalu dinamis dan mengikuti perkembangan sosial di masyarakat.
Meminjam istilahnya Prof Menski (2006), hukum seperti layang-layang, selalu terbang
mengikuti angin dan tidak statis karena hukum hidup dalam masyarakat. Jika kita
merasa tidak menemukan keadilan dalam hukum tertulis, sudah seharusnya kita
mencari dimensi lain hukum yang belum terungkap.
Memahami hukum tidak bisa lepas
dari tiga elemen dasar, yakni aturan tertulis atau dimensi normatif, kondisi
sosial masyarakat sebagai dimensi sosio-legal dan etika, moralitas dan
nilai-nilai agama sebagai dimensi hukum alam. Ketiga elemen tersebut membentuk
sebuah dinamika gerak yang dinamakan pluralisme hukum dan menjadi alat utama
untuk memunculkan keadilan substantif. Pluralisme hukum bisa menjawab teka teki
integritas peradilan karena hakim tidak hanya mendasarkan putusan mereka dari
norma tertulis, melainkan juga mengakomodir etika dan moralitas yang berlaku di
masyarakat.
Pluralisme hukum di Indonesia
sangat diperlukan mengingat infrastruktur hukum sudah kian lemah dalam merespon
perilaku kejahatan. Mereka tidak hanya diserang dari luar melainkan juga
digerogoti dari dalam sehingga menjadi seperti macan ompong di kebun binatang.
Peradilan bukan sebagai prosesi hukum yang sakral melainkan seringkali hanya
dijadikan tontonan dan masyarakat tidak menginginkan apapun dari peradilan itu
kecuali sebuah akhir yang lucu.
Plurisme hukum juga diperlukan
karena selama ini ada segregasi antara ahli hukum dan pengamat sosial. Pengamat
sosial tidak percaya lagi dengan lembaga hukum yang dinilai terus menerus
mendemonstrasikan parochialisme hukum sehingga menyebabkan penyempitan keadilan.
Padahal jurang antara fenomena kejahatan dan pemahaman hukum semakin lebar dan
bisa membahayakan terhadap tegaknya keadilan.
Lembaga peradilan tidak boleh
terbelenggu oleh parochialisme hukum dengan hanya melihat dan memahami hukum
tertulis karena hanya melahirkan prosesi hukum murahan seperti peradilan sandal
jepit. Oleh karena itu hakim jangan hanya reaksioner, melainkan juga harus
revolusioner dengan berani mematahkan tradisi penafsiran hukum positif demi
menciptakan keadilan substantif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar