Sabtu, 21 Januari 2012

TENGGELAM DI PUSARAN BUMI

Eropa Barat dalam konteks hak asasi manusia ibarat Ka'bah, begitu sakral. Kesucian tersebut tidak hanya terkait dengan praktik hak asasi manusia yang sudah berjalan baik di berbagai kawasan tersebut melainkan juga perdebatan yang lahir dari para pemikir dari kawasan ini begitu mempengaruhi ilmuwan kontemporer. Sebut saja misalnya ahli filsafat Kant, John Rawl, Stuart Mill, Isaiah Berlin dan banyak lagi. Selain itu, kritik dari banyak ilmuwan terhadap isu-isu mutakhir yang terjadi di Eropa juga terus bermunculan. Mereka sangat kritis terhadap diskriminasi yang terjadi, bukan hanya yang menyangkut hak-hak warga pribumi namun juga kelompok minoritas seperti Muslim.

Muslim Eropa adalah salah satu minoritas yang seringkali mendapatkan perlakuan diskriminatif di beberapa negara Eropa. Kebijakan Nicholas Sarkhozy terhadap perempuan Muslim di Perancis banyak ditentang oleh negara-negara tetangganya. Arogansi Geerzt Wilders, seorang politisi beraliran radikal di Belanda juga menuai protes, tidak hanya oleh kalangan umat Islam, melainkan juga warga Belanda. Dinamika dan perdebatan itu begitu terbuka terhadap kritik dan tidak ada tindakan anarkhis terhadap kritik tersebut.

Itulah yang diimpikan oleh Parto. Dia yakin bahwa Indonesia akan menjadi negara besar jika dinamika kehidupan Eropa dengan segala atribut positifnya bisa memperkaya khazanah keilmuan di nusantara.

Parto merupakan sosok yang ambisius untuk melihat ramalan Joyoboyo dimana dia meramalkan bahwa kelak Indonesia akan menjadi bangsa yang besar. Meskipun dia seorang santri, namun baginya tak ada salahnya mempercayai sebuah ramalan yang bisa membawa kebaikan. Toh dengan mempercayainya berarti dia akan berusaha untuk khusnuzon terhadap bangsa dan semua rakyat Indonesia.

Oleh karena itu Parto selalu haus akan perdebatan-perdebatan ilmiah untuk menguak tabir rahasia kemanusiaan yang sampai saat ini masih belum terpecahkan. Dia masih ragu apakah agama, terutama Islam yang selama ini diyakininya hadir sebagai biang keladi kerusuhan di negaranya, Indonesia. Ataukah hanya orang-orang yang berpikiran sempit saja yang menjebak agama dalam kepentingannya sehingga mereka berlaku anarkhis atas dasar agama.

Parto sangat ingin melihat bagaimana masyarakat Eropa menjembatani perdebatan antara agama dan paham sekularisme yang selama ini menjadi berkah di Eropa. Dia ingin tahu apakah benar apa yang dikatakan oleh Muhammad Abduh bahwa di Eropa, dimana orang Muslim menjadi minoritas, dia justru melihat Islam. Namun sebaliknya dia tidak melihat Islam di Timur Tengah meskipun mayoritas penduduknya adalah Muslim.

Pilihan Parto untuk belajar di Pusat Kajian Asia dan Oriental, atau lebih dikenal dengan singkatan SOAS, sebuah kampus elit di pusat kota London yang banyak mengkaji agama, budaya dan hukum di Asia dan Afrika memang sangat tepat. Namun kampus ini tidak layak disebut sebagai Kampus Inggris, lebih layak disebut sebagai markas berkumpulnya orang dari seluruh penjuru dunia. Sebagai markas karena kampus ini begitu terasa sempit karena banyaknya mahasiswa yang dimilikinya. Padahal luasnya tidak lebih dari 2 hektar. Bangunan yang paling besar adalah perpustakaan, hampir memakan separo dari total luas wilayah kampus.

Perpustakaan SOAS merupakan perpustakan terbaik di Inggris khusus untuk koleksi Asia dan Afrika, bahkan mungkin di dunia sekalipun. Koleksinya tidak terbatas pada buku-buku berbahasa Inggris melainkan buku dari berbagai bahasa seperti Bahasa Indonesia dan bahkan Bahasa Jawa. Dengan bangunan empat lantai yang dipenuhi dengan koleksi dari berbagai negara, perpustakaan SOAS seperti pusat gravitasi dunia dunia. Semua ada disitu dan tinggal milih mau pergi ke negara mana.

Mahasiswa SOAS juga didominasi oleh ras kulit berwarna dari Asia, Afrika dan Amerika. Oleh karena itu SOAS bisa dikatakan sebagai jembatan dunia karena disinilah pemikiran dari berbagai pakar bertemu dan didiskusikan. Perdebatan di SOAS sangat unik. Berbeda dengan kampus-kampus disekitarnya semacam LSE atau King College. Didalam berbagai kegiatan akademik, mahasiswa dan ilmuwan SOAS lebih mewakili suara-suarat negara-negara berkembang. Islam diproyeksikan sebagai sebuah agama yang damai dan menjunjung tinggi hak asasi manusia, Afrika mempunyai sistem hukum tersendiri yang harus diberi ruang untuk berbicara, Asia dengan kompleksitasnya menunjukan khazanah budaya yang harus diperhatikan.

Kajian mengenai monisme atau sistem tunggal yang merujuk pada budaya Eropa berusaha diruntuhkan oleh para ilmuwan SOAS. Mahasiswa juga dianjurkan untuk melihat realitas yang ada di negara-negaranya untuk mengkaji penelitiannya dan menghimbau bahwa mekanisme internasional merupakan pilihan kedua.
    
Disinilah Parto mulai kebingungan. Baru tiga tahun lalu dia lulus dari Manchester dan mulai mengenal tentang hak asasi manusia yang berkiblat di Eropa Barat dan Amerika. Ketika itu dia sangat yakin bahwa itulah mekanisme paling sempurna untuk memperbaiki dinamika kemanusiaan di Indonesia. Lalu kini dia diminta untuk kembali melihat Indonesia. Bagaimana Pancasila harus dibumikan dan bagaimana UUD 45 yang lolos dari jebakan maut Piagam Jakarta harus direvitalisasi lagi, bukan diingkari begitu saja dalam menegakan hak asasi manusia.

Dan Parto pun mulai tenggelam dalam pusaran arus yang terus menyeretnya dalam gua-gua pertanyaan yang begitu terasa gelap. Dia tidak yakin kapan akan keluar dari gua-gua tersebut dan kalaupun toh bisa keluar, dia juga tidak yakin apakah dunia yang dia lihat bisa terlihat jelas atau justru semakin samar-sama.

London, 21 Januai 2012

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar