Salah satu isi laporan dari
lembaga Penelitian ‘Pew Forum’ yang berbasis di Washington DC menyatakan bahwa Indonesia
adalah negara yang mempunyai skor sangat tinggi untuk kategori Indeks
Pembatasan Negara (Government Restriction Index/GRI) dan Indek Kekerasan Sosial
(Social Hostility Index/SHI) menyangkut kebebasan beragama di Indonesia.
Penelitian yang dikeluarkan pada akhir 2011 tersebut menempatkan Indonesia
dalam peringkat 10 teratas untuk kategori GRI dan 6 untuk kategori SHI.
Tingginya dua kategori tersebut
menunjukan bahwa ada pembatasan kolektif terhadap agama-agama yang dianggap
menyalahi aturan main atau mengganggu kenyamanan kelompok-kelompok agama
mayoritas. Negara dengan kekuasaannya menggunakan instrumen hukum untuk melarang
agama yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan. Sedangkan agama mayoritas
menggunakan otoritas pemahaman keagamaan mereka untuk melakukan kekerasan. Seringkali
juga terjadi perselingkuhan antara negara dan kelompok mayoritas karena masing-masing
diuntungkan.
Siapa Sesat?
Kebesaran Indonesia tidak hanya bisa dilihat
dari pluralitas masyarakat, agama dan
budayanya melainkan juga keberhasilannya dalam menghadapi gejolak berbangsa dan
bernegara. Para pendahulu bangsa ini begitu
arif dalam menyikapi perbedaan meskipun konsekuensi dari konsensus nasional
yang dihasilkan terasa begitu menyakitkan. Pluralisme tidak hanya sebatas
slogan melainkan dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu tidak ada gejolak
sosial dalam merespon hilangnya aturan mendasar dari Piagam Jakarta dari
konstitusi. Mereka sadar bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya didapat
melalui lumuran darah satu orang pejuang melainkan buah dari perjuangan
pemikiran banyak golongan.
Gejolak sosial ketika Pancasila
dijadikan asas tunggal oleh Orde Baru tidak berubah menjadi tindakan anarkhis
sampai menelan korban jiwa. Karena semua percaya bahwa Pancasila adalah yang ideologi
terbaik bagi kesatuan bangsa. Mereka sadar bahwa Pancasila adalah cermin yang
harus dilihat untuk membaca dan memahami Indonesia . Semua persoalan baik
yang menyangkut duniawi ataupun agama harus harus tunduk kepada Pancasila
sebagai ideologi bangsa.
Demonstransi pada waktu menolak
pengesahan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 pun tidak rusuh. Padahal pemberlakukan
undang-undang tersebut bisa dianggap menghina Islam. Betapa tidak, perkawinan menjadi
sah jika telah didaftarkan ke negara. Jadi perkawinan yang sudah sah menurut Islam
belum sempurna ketika belum diketahui oleh negara. Perceraian pun belum dianggap
sah jika tidak ada keputusan dari pengadilan. Ketentuan Islam tentang ‘talak’
yang selama ini menjadi hak milik kaum laki-laki juga diingkari.
Jika dicermati, dua hal tersebut tidak
hanya menodai ajaran Islam melainkan negara sudah mengingkari kebenaran Islam.
Ketentuan mengenai penyempurnaan perkawinan dan pengesahan tentang perkawinan
dan perceraian oleh negara tidak ada bedanya dengan ‘meragukan’ ajaran Islam.
Islam dianggap kurang sempurna sehingga negara harus mengintervensi aturan main
yang ada didalamnya. Padahal Indonesia
adalah negara Pancasila, bukan negara Islam.
Akan tetapi kenapa kelompok yang
selama ini mengatasnamakan Islam justru tidak mau melakukan uji materi terhadap
undang-undang tersebut? Jika mau adil, mereka keliru jika hanya memusuhi
segelintir anak bangsa Indonesia
seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, GKI Yasmin dan kelompok-kelompok berbeda
lainnya. Penghinaan atau pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok
minoritas tersebut tidak sebanding yang dilakukan oleh pemerintah karena semua
umat Islam di Indonesia harus menaati peraturan tersebut. Kelompok minoritas
hanya berusaha untuk mempertahankan eksistensi mereka di Indonesia dan tidak pernah
meragukan konstitusi maupun ideologi bangsa.
Pemberlakukan peraturan tersebut juga
menunjukan bahwa negara tidak memahami definisi mengenai penodaan agama. Jika
mau adil, seharusnya undang-undang perkawinan itu juga harus disamakan dengan
pasal 156 KHUP dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Bahkan jika perlu
undang-undang tentang perkawinan tersebut dihapuskan karena mengingkari tata
cara perkawinan dalam Islam. Islam tidak mengatur mengenai pencatatan
perkawinan atau pengesahan perceraian oleh pengadilan dari negara yang tidak
memberlakukan Syariah Islam. Lalu, siapa yang sebenarnya sesat dalam hal ini?
Kendali ideologi
Kebingungan pemerintah dalam
memaknai penodaan agama menunjukan bahwa ideologi dan konstitusi sebagai
kendali negara telah kehilangan kuasanya. Pancasila sebagi the living ideology layak untuk dipertanyakan lagi karena ternyata
tak kuasa melawan otoritas tafsir keagamaan yang diberlakukan oleh kelompok
mayoritas. Seringnya suara-suara sumbang agama yang mengalahkan ideologi dan
konstitusi menjadi penanda bahwa konsensus bersama bangsa Indonesia yang dibuat oleh para
pendiri bangsa mulai terancam punah.
Pernyataan Menteri Agama dan
pemahaman kolektif masyarakat Islam bahwa Syiah atau Ahmadiyah bukanlah Islam juga
mencerminkan bahwa bahwa bangsa ini benar-benar telah tersesat. Seorang petugas
negara melarang kebebasan warganya tanpa melihat konstitusi dan ideologi
menjadi bukti betapa Pancasila hanya sebagai simbol keberadaan Indonesia
yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa. Padahal salah satu ciri ideologi adalah
kekuatannya untuk mempengaruhi perilaku dan pemikiran sebuah bangsa yang
memberlakukannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar