Senin, 30 Januari 2012

NEGARA YANG TERSESAT



Salah satu isi laporan dari lembaga Penelitian ‘Pew Forum’ yang berbasis di Washington DC menyatakan bahwa Indonesia adalah negara yang mempunyai skor sangat tinggi untuk kategori Indeks Pembatasan Negara (Government Restriction Index/GRI) dan Indek Kekerasan Sosial (Social Hostility Index/SHI) menyangkut kebebasan beragama di Indonesia. Penelitian yang dikeluarkan pada akhir 2011 tersebut menempatkan Indonesia dalam peringkat 10 teratas untuk kategori GRI dan 6 untuk kategori SHI.

Tingginya dua kategori tersebut menunjukan bahwa ada pembatasan kolektif terhadap agama-agama yang dianggap menyalahi aturan main atau mengganggu kenyamanan kelompok-kelompok agama mayoritas. Negara dengan kekuasaannya menggunakan instrumen hukum untuk melarang agama yang dianggap menyimpang atau menyalahi aturan. Sedangkan agama mayoritas menggunakan otoritas pemahaman keagamaan mereka untuk melakukan kekerasan. Seringkali juga terjadi perselingkuhan antara negara dan kelompok mayoritas karena masing-masing diuntungkan.

Siapa Sesat?
Kebesaran Indonesia tidak hanya bisa dilihat dari pluralitas masyarakat, agama  dan budayanya melainkan juga keberhasilannya dalam menghadapi gejolak berbangsa dan bernegara. Para pendahulu bangsa ini begitu arif dalam menyikapi perbedaan meskipun konsekuensi dari konsensus nasional yang dihasilkan terasa begitu menyakitkan. Pluralisme tidak hanya sebatas slogan melainkan dihayati dan diamalkan. Oleh karena itu tidak ada gejolak sosial dalam merespon hilangnya aturan mendasar dari Piagam Jakarta dari konstitusi. Mereka sadar bahwa kemerdekaan Indonesia tidak hanya didapat melalui lumuran darah satu orang pejuang melainkan buah dari perjuangan pemikiran banyak golongan.

Gejolak sosial ketika Pancasila dijadikan asas tunggal oleh Orde Baru tidak berubah menjadi tindakan anarkhis sampai menelan korban jiwa. Karena semua percaya bahwa Pancasila adalah yang ideologi terbaik bagi kesatuan bangsa. Mereka sadar bahwa Pancasila adalah cermin yang harus dilihat untuk membaca dan memahami Indonesia. Semua persoalan baik yang menyangkut duniawi ataupun agama harus harus tunduk kepada Pancasila sebagai ideologi bangsa.  

Demonstransi pada waktu menolak pengesahan Undang-Undang Perkawinan pada tahun 1974 pun tidak rusuh. Padahal pemberlakukan undang-undang tersebut bisa dianggap menghina Islam. Betapa tidak, perkawinan menjadi sah jika telah didaftarkan ke negara. Jadi perkawinan yang sudah sah menurut Islam belum sempurna ketika belum diketahui oleh negara. Perceraian pun belum dianggap sah jika tidak ada keputusan dari pengadilan. Ketentuan Islam tentang ‘talak’ yang selama ini menjadi hak milik kaum laki-laki juga diingkari.

Jika dicermati, dua hal tersebut tidak hanya menodai ajaran Islam melainkan negara sudah mengingkari kebenaran Islam. Ketentuan mengenai penyempurnaan perkawinan dan pengesahan tentang perkawinan dan perceraian oleh negara tidak ada bedanya dengan ‘meragukan’ ajaran Islam. Islam dianggap kurang sempurna sehingga negara harus mengintervensi aturan main yang ada didalamnya. Padahal Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara Islam.

Akan tetapi kenapa kelompok yang selama ini mengatasnamakan Islam justru tidak mau melakukan uji materi terhadap undang-undang tersebut? Jika mau adil, mereka keliru jika hanya memusuhi segelintir anak bangsa Indonesia seperti kelompok Syiah, Ahmadiyah, GKI Yasmin dan kelompok-kelompok berbeda lainnya. Penghinaan atau pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok-kelompok minoritas tersebut tidak sebanding yang dilakukan oleh pemerintah karena semua umat Islam di Indonesia harus menaati peraturan tersebut. Kelompok minoritas hanya berusaha untuk mempertahankan eksistensi mereka di Indonesia dan tidak pernah meragukan konstitusi maupun ideologi bangsa.

Pemberlakukan peraturan tersebut juga menunjukan bahwa negara tidak memahami definisi mengenai penodaan agama. Jika mau adil, seharusnya undang-undang perkawinan itu juga harus disamakan dengan pasal 156 KHUP dan UU No. 1/PNPS/1965 tentang penodaan agama. Bahkan jika perlu undang-undang tentang perkawinan tersebut dihapuskan karena mengingkari tata cara perkawinan dalam Islam. Islam tidak mengatur mengenai pencatatan perkawinan atau pengesahan perceraian oleh pengadilan dari negara yang tidak memberlakukan Syariah Islam. Lalu, siapa yang sebenarnya sesat dalam hal ini?

Kendali ideologi
Kebingungan pemerintah dalam memaknai penodaan agama menunjukan bahwa ideologi dan konstitusi sebagai kendali negara telah kehilangan kuasanya. Pancasila sebagi the living ideology layak untuk dipertanyakan lagi karena ternyata tak kuasa melawan otoritas tafsir keagamaan yang diberlakukan oleh kelompok mayoritas. Seringnya suara-suara sumbang agama yang mengalahkan ideologi dan konstitusi menjadi penanda bahwa konsensus bersama bangsa Indonesia yang dibuat oleh para pendiri bangsa mulai terancam punah.

Pernyataan Menteri Agama dan pemahaman kolektif masyarakat Islam bahwa Syiah atau Ahmadiyah bukanlah Islam juga mencerminkan bahwa bahwa bangsa ini benar-benar telah tersesat. Seorang petugas negara melarang kebebasan warganya tanpa melihat konstitusi dan ideologi menjadi bukti betapa Pancasila hanya sebagai simbol keberadaan Indonesia yang tidak mempunyai kekuasaan memaksa. Padahal salah satu ciri ideologi adalah kekuatannya untuk mempengaruhi perilaku dan pemikiran sebuah bangsa yang memberlakukannya.

Indonesia harus meniru Turki yang dengan tegas menerapkan ideologi meskipun risiko yang dihadapi sangat besar. Ideologi sekuler Turki yang melarang semua simbol agama di ruang publik tentu berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap hak beragama karena mayoritas penduduk Turki adalah Islam. Bahkan Turki berani menurunkan presiden Necmettin Erbakan pada tahun 1996. Alasannya karena dia beserta partai pengusungnya, Partai Refah sebagai pemenang pemilu ingin mengganti ideologi sekuler Turki dengan Syariah Islam.

Indonesia juga harus menghidupkan kembali konstitusi sebagai pijakan hukum  agar norma derivatif yang berada dibawahnya bisa bersinergi sehingga masyarakat akan selalu melihat konstitusi sebagai landasan berfikir. Hukum harus hirearkhis tanpa ada celah yang bisa dimanfaatkan untuk melindungi kekuasaan dan kenyamanan kelompok-kelompok tertentu. Karena pemanfaatan peraturan yang ditujukan bukan untuk kepentingan bangsa justru akan menyesatkan bangsa itu sendiri.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar