Rabu, 25 Agustus 2010

Ironi Hak Beragama di Indonesia

Setelah sekian lama tidak terdengar, penyerangan terhadap penganut Ahmadiyah pecah lagi. Kejadian tersebut sangat disayangkan karena SKB Ahmadiyah telah melarang berbagai bentuk kekerasan atau syiar Ahmadiyah dengan ancaman pidana. Meskipun substansi SKB diskriminatif, namun pemerintah harus tegas melaksanakan hukum yang telah diundangkan agar hak beragama di Indonesia tidak semakin simpang siur.

Hak beragama di berbagai negara memang menghadapi permasalahan yang sangat kompleks. Pelanggaran terhadap hak fundamental tersebut juga sangat beraneka ragam, tidak hanya terbatas pada pelanggaran yang dilakukan oleh negara melainkan juga individu maupun kelompok masyarakat. Alasannya juga beragam seperti hukum yang diskriminatif, konflik ideologi, sekularisme, terorisme, dan lemahnya perlindungan bagi minoritas di suatu negara.

Pada tahun 2000, 33 persen dari total populasi dunia hidup dibawah rejim yang melarang kebebasan beragama sedangkan 39 persen lainnya mengalami pelanggaran sebagian dari hak tersebut (Khanif, 2010). Berbeda dengan pelanggaran hak asasi manusia lainnya yang lebih banyak terjadi di negara-negara dibawah rejim otoriter, hak beragama bisa terjadi di negara manapun, baik di negara miskin, berkembang, modern atau bahkan di negara demokratis. Pelanggaran terhadap hak beragama juga bisa terjadi di negara-negara yang tidak mengenal agama seperti China.

Indonesia Lebih Baik?
Terlepas dari serangkaian pelanggaran yang ada, perlindungan terhadap manifestasi keagamaan di Indonesia sebenarnya lebih baik daripada di negara-negara lain. Hal ini tercermin dari berbagai macam kegiatan keagamaan yang sangat semarak dimana-mana dan mungkin menjadi yang paling dinamis di dunia. Ini tercermin dari banyaknya pendirian tempat ibadah, kegiatan keagamaan dan pemakaian simbol-simbol agama di berbagai tempat. Ragam jenis simbol keagamaan bahkan telah merambah industri musik, media massa, mode dan pariwisata.

Kegiatan keagamaan sudah merambah kota-kota metropolitan semacam Jakarta. Agama mulai menembus batas-batas sektarianisme, berbaur dengan modernisme yang menjamur di berbagai sendi kehidupan masyarakat. Simbol-simbol agama tidak lagi dianggap sebagai sesuatu yang tabu untuk ditampilkan, namun telah menjadi mode yang digandrungi oleh semua kalangan masyarakat. Pada akhirnya, ruang-ruang publik dan sektor swasta juga tak kuasa menahan derasnya pengaruh agama dan segala atribut yang melekat padanya.

Perlindungan terhadap hak beragama juga bisa dilihat dari perayaan hari raya agama. Sebagai salah satu manifestasi hak beragama, perayaan hari raya mendapatkan prioritas tersendiri di Indonesia. Hal ini dikarenakan pelaksanaan dari hak tersebut bisa mengamputasi penerapan hukum yang lain. Masyarakat bisa memakai jalan raya sebagai fasilitas publik untuk melakukan ritual keagamaan atau mengendarai kendaraan bermotor tanpa harus memakai helm ketika memakai pakaian resmi keagamaan.

Masyarakat Indonesia harus menyadari bahwa kehidupan beragama mereka lebih baik daripada masyarakat Perancis atau Swiss. Masyarakat di kedua negara tersebut tidak bisa leluasa memanifestasikan keyakinan mereka di sembarang tempat karena negara melarang pemakaian simbol-simbol keagamaan di ruang-ruang publik dengan alasan untuk melindungi paham sekularisme negara dari pengaruh agama. Mereka tentu tidak bisa menyaksikan acara-acara keagamaan di telivisi atau mengadakan ritual keagamaan di ruang publik.

Nasib yang lebih buruk dialami oleh para mahasiswa di Turki yang terpaksa harus mencukur jenggot mereka karena pemerintah setempat ingin melindungi negara dari bahaya terorisme. Setelah peristiwa 9/11, terorisme menjadi isu global yang berdampak pada larangan untuk menonjolkan simbol-simbol keagamaan yang identik dengan terorisme. Ketakutan tersebut telah memunculkan setereotipe negatif terhadap beberapa manifestasi keagamaan yang berdampak pada perlakuan diskriminatif terhadap penganut agama.

Masyarakat Indonesia juga tidak perlu cemas ketika ceramah agama. Mimbar-mimbar keagamaan di Indonesia terbuka lebar bagi siapapun. Bahkan tak jarang kita dengar ceramah agama atau demonstrasi yang berisi umpatan, caci maki dan menebar kebencian terhadap kelompok agama lain. Berbeda dengan nasib Malcolm Ross, seorang guru SD di Kanada yang beragama Kristen. Dia harus menghadapi tuntutan pengadilan karena mengajarkan kepada murid-muridnya untuk membenci Agama Yahudi yang dianggap membahayakan eksistensi Agama Kristen (Khanif, 2010).

Ironi
Yang menjadi ironi di Indonesia adalah ketika hak untuk memanifestasikan keagamaan begitu sangat semarak, namun justru kekerasan terhadap hak beragama juga semakin banyak terjadi. Padahal sebelum era reformasi, kekerasan terhadap hak beragama nyaris tidak pernah terdengar. Kekerasan yang akhir-akhir ini sering terjadi menunjukan bahwa kelompok mayoritas ingin mendominasi panggung kehidupan beragama di Indonesia dan melihat eksistensi minoritas sebagai ancaman yang harus dihilangkan.

Pemerintah juga salah kaprah dalam melindungi hak tersebut. Di satu sisi, pemerintah menganakemaskan manifestasi keagamaan, bahkan sampai harus permisif terhadap pelanggaran terhadap peraturan hukum lainnya. Namun sebaliknya justru tidak bisa melindungi hak untuk meyakini sebuah agama sebagai hak yang tidak boleh dikurangi atau dibatalkan dalam situasi apapun.

Sayangnya, Mahkamah Konstitusi juga ‘belum’ berani melakukan terobosan hukum karena menolak peninjauan kembali UU No. 1/PNPS/1965 yang telah banyak mengakibatkan terjadinya kekerasan terhadap agama. Nyali MK masih belum sepadan dengan Mahkamah Agung Zimbabwe yang memutuskan kalung tradisional yang dipakai oleh sebagian besar masyarakat tradisional negara itu untuk mengusir rasa takut adalah termasuk manifestasi dari agama Rastafarian (Khanif, 2010).

Kesimpulannya, selama masih ada manusia yang meyakini suatu agama, tidak ada satu negara pun di dunia ini yang mempunyai catatan tanpa noda mengenai hak beragama. Namun bukan berarti bisa dijadikan pembenar bagi kita semua untuk melakukan pelanggaran. Melainkan harus dijadikan catatan untuk bisa meminimalisir pelanggaran yang ada karena semua manusia mempunyai hak yang sama untuk menentukan keyakinan mereka sendiri-sendiri.

Penulis adalah staff pengajar fakultas hukum universitas jember

Tidak ada komentar:

Posting Komentar