Rabu, 25 Agustus 2010

GHILO DAN MASA DEPAN PALESTINA

“Those who can make you believe absurdities can make you commit atrocities." Voltaire

Sudah bertahun-tahun warga Palestina terserak di pengungsian di berbagai Negara karena agresi Israel. Selain itu banyak warga Palestina, khususnya di Gaza yang harus menerima stereotipe negatif sebagai gerombolan teroris. Setereotipe ini sangat berbahaya karena terorisme adalah musuh semua negara yang harus dikikis habis. Dua masalah tersebut membuat mayoritas warga Palestina rentan kehilangan hak-hak fundamentalnya seperti hak hidup dan bertempat tinggal.

Dari tahun ke tahun, Israel juga telah mengikis tanah-tanah Palestina. Kaum Yahudi ortodoks Israel berkeyakinan bahwa tanah tersebut adalah wilayah Judea dan Samara yang dijanjikan oleh Mesiah sebagaimana yang ditulis didalam Torah. Tidak ada yang berhak hidup disana kecuali kaum Yahudi sebagai kaum yang terpilih. Oleh sebab itu keyakinan absurd tersebut telah mengakibatkan jutaan warga Palestina terusir secara sporadis, bahkan mengakibatkan pengungsian terbesar dan terlama dalam sejarah berdirinya UNHCR.

Namun bukan berarti warga Palestina yang berada di Tepi Barat dan Gaza bernasib lebih baik. Justru mereka lebih rentan karena bersinggungan secara langsung dengan Israel. Keyakinan tentang ‘the promised land’ membuat Israel terus berusaha mengusir mereka secara tersistematis. Salah satunya adalah ditetapkannya UU No. 329, 1649, dan 1650 yang memberikan kekuasaan secara penuh bagi Angkatan Bersenjata Israel (IDF) untuk mendeportasi, menghukum dan bahkan membunuh pihak-pihak yang dianggap menyusup ke wilayah-wilayah Israel.

Ghilo

UU yang disahkan pada 13 April lalu tersebut ingin menyeterilkan wilayah Judea dan Samaria dari warga Palestisna. Wilayah tersebut membentang dari sebelah Barat Sungai Jordan sampai ke Laut Mediterania. Artinya, UU tersebut tidak mencantumkan secuilpun wilayah yang bisa ditinggali oleh warga Palestina seperti yang diatur dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 181. Padahal menurut resolusi tersebut, warga Palestina berhak mendapatkan 62 % dari total wilayah.

Salah satu sebab utama lahirnya UU tersebut adalah adanya ‘Industri Ghilo’ Israel. Ghilo adalah lingkungan pemukiman Yahudi yang harus dilindungi, tentunya dari aksi-aksi terorisme berupa serangan roket dari kelompok perlawanan Palestina. Lokasi Ghilo mayoritas berada di wilayah Palestina atau di pinggiran wilayah Israel yang berbatasan dengan wilayah Palestina. Artinya mayoritas Ghilo adalah illegal karena didirikan di wilayah Palestina. Namun justru Ghilo inilah yang digunakan oleh Israel untuk mempertahankan diri dari serangan terorisme.

Selain itu, sebagian ‘ghilo’ adalah lahan-lahan kosong yang akan digunakan oleh Israel untuk membangun pemukiman Yahudi. Beberapa media massa seperti CNN melaporkan bahwa jumlah ‘ghilo’ bisa mencapai puluhan bahkan ratusan. Artinya, lahan-lahan kosong tersebut siap untuk dibangun pemukiman Yahudi dimana orang-orang yang menempatinya adalah imigran Yahudi dari luar Israel. Untuk menarik minat mereka, pemerintah Israel menyediakan kredit perumahan yang sangat lunak.

Israel memang sangat pintar memainkan kartu truf ‘anti semitisme’ agar tetap menyala. Yang menjadi perhatian utama Israel bukanlah nyawa warga Palestina, namun bagaimana mereka bisa meyakinkan dunia internasional akan pentingnya menjaga industri Ghilo. Salah satu caranya adalah membangun citra positif di dunia internasional bahwa Israel berhak memindahkan warga Palestina yang berada disekitar ‘ghilo’ karena keberadaannya bisa mengancam warga Israel. Akibatnya, wilayah Palestina selalu menyusut dari tahun ke tahun. Misalnya, Nablus yang disebut sebagai Schechem dalam Torah kini telah berubah menjadi pemukiman Yahudi.

Israel juga memberlakukan kebijakan diskriminatif terhadap warga Palestina yang berada di wilayahnya. Kebijakan ini diterapkan untuk menekan warga Palestina yang bersikeras bertahan di wilayah Israel agar terpaksa pindah ke wilayah Palestina. Tujuannya untuk menciptakan tanah tanpa tuan atau ‘absentee’ agar Israel mempunyai dasar hukum untuk menguasainya. Israel ingin mengulangi kesuksesan tahaun 1948 ketika negara tersebut mendeklarasikan kemerdekaannya. Pada saat itu, status wilayah Palestina adalah sebagai wilayah tak bertuan setelah Inggris mencabut mandatnya terhadap wilayah tersebut.

Harmonisasi

Industri Ghilo Israel menunjukan adanya harmonisasi keyakinan agama dengan kebijakan negara yang tidak ada tandingannya di dunia. Perpaduan tersebut telah berulang kali ‘mementalkan’ semua jenis putusan hukum lembaga internasional seperti Mahkamah Internasional dan PBB. Selain itu, harmonisasi agama dan politik tersebut membuat Israel sangat kuat didalam negeri karena didukung oleh mayoritas warga negaranya. Sedangkan di luar negeri, Israel sangat lihai dalam mempengaruhi negara lain dan lembaga internasional agar berpihak kepada mereka.

Tidak itu saja, ternyata kebijakan pemerintah Israel yang ditujukan untuk melindungi kedaulatan negara juga mendapat pengakuan, baik secara ‘de facto ataupun de jure’ dari Kristen Evangelis. Dalam Film ‘The Israeli Lobby,’ Pastor John Hagee, pemimpin Persatuan umat Kristen Amerika untuk Israel menyatakan bahwa Penganut Kristen Evangelis harus mendukung berdirinya Israel karena Bibel telah memerintahkan kepada penganutnya untuk mengakui negara Israel. Tentu negara Israel yang berdiri diatas wilayah Palestina. Oleh karena itu, pihak-pihak yang tidak mengakui berdirinya Israel juga dianggap anti Kristen.

Kedekatan Israel dengan Amerika, sebagai pihak yang sangat menentukan dalam proses perdamaian antara Palestina dan Israel, juga tidak bisa dilepaskan dari pengaruh Kristen Evangelis di perpolitikan Negari Paman Sam tersebut. Ada hubungan yang erat antara penganut Yahudi dan Kristen Evangelis di lembaga-lembaga pemerintahan Amerika seperti yang terdapat di American Israeli Public Affairs Committee (AIPAC). yang selama ini menjadi mesin untuk menggerakan semangat harmonisasi politik dan agama Israel.

Kasus ini menunjukan bahwa kepecayaan yang absurd telah mengakibatkan manusia menjadi serakah. Pada akhirnya mengakibatkan penderitaan luar biasa bagi umat manusia. Usaha untuk mendirikan negara Palestina bisa dilakukan jika kita bisa menghilangkan keyakinan tentang the promised land. Dua payung suci organisasi internasional, yakni PBB dan Mahkamah Internasional harus bisa meyakinan dunia bahwa harus ada upaya untuk melindungi hak-hak fundamental warga Palestina. Jika tidak, sangat mungkin warga Palestina akan menjadi satu-satunya warga di dunia yang tidak mempunyai Negara yang berdaulat.

Penulis adalah alumnus Hukum Perang dan HAM Internasional Univ. Lancaster UK dan Direktur Ethics and Human Rights Institute.

BNI Cab UGM no. Rek. 0039082344

Telp. 081234592734

Tidak ada komentar:

Posting Komentar