Hubungan antara agama dan hak asasi manusia seringkali problematik. Misalnya, ajaran Islam mengharuskan kewajiban kolektif berupa keimanan sedangkan doktrin hak asasi manusia terfokus pada kebebasan individu. Nikah siri adalah salah satu bentuk permasalahan yang mengusik kedua nilai tersebut. Nikah siri memang sudah sah secara agama, namun praktik tersebut seringkali mengakibatkan kekerasan dalam rumah tangga. Sudah selayaknya nikah siri dilarang karena banyak merugikan kaum perempuan. Belum lagi masalah status hukum anak hasil pernikahan siri yang tidak jelas.
Banyak laki-laki melakukan nikah siri dengan tujuan untuk berpoligami. Mereka hanya sekedar mencari kepuasan seks semata atau tidak mau terbebani secara ekonomi dan hukum. Jika sudah bosan, mereka akan meninggalkan istri sirinya untuk melakukan nikah siri lagi dan begitu seterusnya. Toh pihak istri tidak bisa menuntut apa-apa karena memang pernikahan mereka tidak dicatatkan.
Nikah siri secara tersirat diatur dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1/1974. UU tersebut mengijinkan laki-laki untuk berpoligami, namun mereka tidak bisa mencatatkan pernikahan kedua atau ketiganya secara administratif selama masih terikat dengan istri pertama. Oleh karenanya, pemerintah juga harus mengandemen UU tersebut untuk menyesuaikan dengan rancangan peraturan yang baru. Pemerintah harus menjamin tidak aka nada conflict of laws yang bisa dijadikan celah munculnya praktik nikah siri dan poligami.
Wahyu Suci
Keinginan pemerintah untuk memidanakan pelaku nikah siri adalah untuk menegakan kesetaraan gender. Kesetaraan gender sebagai manifestasi prinsip non diskriminasi menegaskan bahwa ‘semua manusia’ mempunyai hak dan kebebasan yang sama tanpa pengecualian. Nikah siri merupakan satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan karena mengakibatkan hilangnya persamaan hak kaum perempuan. Meskipun nikah selalu dilandasi rasa saling suka, namun mereka yang melakukan poligami telah merendahkan martabat kaum hawa.
Poligami diskriminatif karena secara de facto menciptakan ketimpangan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Mengijinkan laki-laki untuk berpoligami dan membatasi perempuan untuk bermonogami merupakan bentuk diskriminasi yang nyata terhadap hak kaum hawa. Peraturan yang melegalkan praktik tersebut mengindikasikan buruknya prinsip non diskriminasi bagi perempuan. Negara telah gagal untuk melindungi hak perempuan karena hanya dijadikan sebagai Jugun Ianfu kaum laki-laki.
Tindakan permisif dari berbagai pihak untuk terus melegalkan poligami merupakan sebuah pelanggaran terhadap kaum hawa. Ketidak kepedulian mereka karena terlibat dalam praktik poligami juga mencerminkan rendahnya moralitas masyarakat. Oleh karena itu, poligami dan nikah siri telah mengakibatkan pelanggaran secara tersistematis terhadap kaum perempuan.
Jika diamnya negara karena poligami dianggap sebagai ajaran agama yang sakral, maka sejatinya manifestasi keagamaan tersebut juga telah menodai prinsip non diskriminasi dan persamaan hak sebagai ‘wahyu suci’ didalam hak asasi manusia. Kesakralan prinsip tersebut sama dengan kesucian ajaran agama dimana pelanggaran terhadapnya merupakan ‘dosa yang sangat besar.’
Perempuan harus dilindungi tidak melihat jenis kelamin atau status mereka sebagai korban melainkan karena perempuan adalah juga manusia seperti halnya laki-laki. Mereka harus mempunyai martabat, hak dan kebebasan yang sama. ‘Keikhlasan’ istri untuk dipoligami juga tidak boleh dijadikan alasan untuk menerapkan poligami karena yang menjadi persoalan bukanlah keikhlasan mereka melainkan persamaan martabat antara perempuan dan laki-laki.
Memang semua manusia bebas untuk beragama dan memanifestasikan ritual keagamaannya. Namun, mereka harus memperhatikan prinsip dasar lainnya, yakni hak mereka tidak boleh diterapkan jika mengganggu hak dan kebebasan fundamental manusia lainnya.
Jahiliyah Modern
Penghapusan terhadap poligami dan pemidanaan pelaku nikah siri merupakan revitalisasi perlindungan terhadap hak-hak perempuan. Dalam sejarahnya, perempuan di awal Islam dijadikan manusia kelas dua. Ribuan bayi perempuan dibunuh dan perempuan dijadikan pemuas nafsu tindakan bar-bar kaum Quraisy. Oleh karenanya, melegalkan praktik diskriminasi terhadap kaum perempuan juga merupakan tindakan jahiliyah di era modern.
Larangan poligami dan nikah siri mungkin dilihat sebagai usaha untuk menghilangkan salah satu ajaran Islam. Namun sebenarnya prinsip non diskriminasi tersebut ingin melindungi martabat perempuan seperti yang terjadi di era awal munculnya Islam di Arab. Beberapa negara Islam seperti Syiria, Maroko, Pakistan, Irak dan Yaman telah mengakui persamaan gender dalam skala yang lebih luas karena telah menghapus poligami. Tentu merupakan sebuah kemunduran jika Indonesia masih memberlakukan tradisi jahiliyah tersebut.
Indonesia telah mengalami kemajuan dibidang hak asasi manusia sejak runtuhnya rejim orde baru. Jangan sampai prestasi tersebut ternoda oleh tafsir-tafsir keagamaan digunakan oleh oknum-oknum tertentu untuk memuaskan nafsu mereka belaka. Pemidanaan terhadap nikah siri merupakan angin surga bagi perempuan yang selama ini tersubordinasi oleh kekuasaan laki-laki. Peraturan tersebut juga telah menambal berbagai celah hukum yang selama ini digunakan oleh kaum laki-laki untuk beristri lebih dari satu orang.
Jika selama ini kita ‘diam’ terhadap praktik poligami ditengah hiruk pikuk reformasi hukum, sudah saatnya reformasi menunjukan taringnya untuk menggugat semua bentuk diskriminasi terhadap hak perempuan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar