Senin, 30 Agustus 2010

KALAHNYA NU ATAU NU SENGAJA DIHABISI?

Akhirnya pasangan Sukarwo-Saifullah Yusuf benar-benar dilantik jadi Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Timur masa bakti 2009-2014. Pelantikan itu menandai bahwa pasangan tersebut telah resmi memenangkan Pilkada Jatim. Semua masyarakat Jatim harus mendukung pasangan tersebut selama tidak melanggar Undang-Undang.
Pelantikan tersebut juga menasbihkan bahwa sebagian besar masyarakat NU Jatim lebih menginginkan wakil gubernur. Mereka cukup puas dengan jabatan wakil gubernur yang disandang oleh Saifullah Yusuf (Gus Ipul) sebagai representasi ‘tulen’ warga NU. Ke-NU-an Gus Ipul tidak diragukan lagi karena dia adalah seorang anak kyai dan mantan ketua GP Anshor. Meskipun ada juga warga NU Jatim yang sebenarnya menginginkan Kofifah menjadi orang nomor satu di Jatim. Kofifah adalah mantan ketua muslimat NU.

Tapi apa mau dikata, suara NU telah tercerai berai di Pilkada kemarin. Salah satu sebabnya adalah representasi orang NU ‘tulen’ yang menyebar ke berbagai pasangan. Mereka adalah orang-orang yang dulunya merawat dan ‘menggembala’ warga NU yang kebanyakan masih terbelakang secara politik, pendidikan dan hukum. Mereka tidak lagi mengawasi, memberi makan, atau mengandangkan gembalaan yang jumlahnya jutaan karena lebih suka menjadi ‘juragan politik.’

Perang Antar Juragan Politik
Ada beberapa juragan politik dari warga NU di Pilkada Jatim kemarin. Masing-masing sepertinya ingin menunjukan bahwa mereka lah yang mempunyai masa paling banyak. Mereka seakan tidak mau lagi memikirkan gembalaannya yang selalu lari pontang panting di setiap even seperti Pilkada dan Pemilu.

Ada Gus Ipul yang dulu ‘menggembala’ anak-anak muda Anshor. Dia bisa menjadi seorang juragan yang mempunyai ‘kekayaan politik’ berupa nama besar karena berangkat dari salah satu organisasi dibawah naungan NU tersebut. Kekayaan Gus Ipul berupa anak-anak muda NU dan Anshor yang jumlahnya ribuan itulah yang menarik minat Sukarwo sebagai kandidat dari non NU untuk meminangnya.

Selain itu, kata ‘Gus’ didepan kata Ipul, sebagai nama panggilan Saifullah Yusuf turut berperan didalam menjadikannya sebagai seorang juragan. Kata Gus di dunia pesantren NU adalah sebutan khas yang selalu disandang oleh anak seorang kyai. Tidak sembarang orang yang boleh memakai kata itu. Kekayaan politik seorang ‘Gus’ ditentukan oleh seberapa banyak santri dan alumni yang dipunyai oleh bapaknya.
Kemudian ada Ali Maschan Musa sebagai ‘juragan’ dari semua juragan NU di tingkat Jawa Timur. Statusnya sebagai ketua PNWU Jatim membuat kekayaannya tidak tanggung-tanggung, yakni seluruh warga Nahdliyin Jatim yang jumlahnya sampai puluhan juta. Kekayaan yang berlimpah itulah yang membuat Sunaryo kepincut untuk meminangnya.

Selain itu, Ali Maschan juga seorang kyai. Dari segi jabatan struktural, dia membawahi juragan-jurangan kecil tingkat kabupaten dan kecamatan di seluruh Jawa Timur. Dari segi non struktural, statusnya sebagai seorang kyai juga mampu menjadikannya sebagai seorang juragan yang sangat kaya. Dengan satu syarat, dia mempunyai kharisma yang kuat untuk menembus batas-batas wilayah juragan (kyai) lainnya. Anehnya, kenapa Ali Maschan yang mempunyai kekayaan lebih banyak dari Sunaryo mau menerima pinangan sebagai wakil gubernur.

Sebenarnya juragan yang paling berani adalah Khofifah. Sebagai juragan dari juragan dari muslimat NU se Indonesia, Khofifah cukup yakin bahwa muslimat NU Jatim merupakan sapi gemuk untuk meraup suara. Hasilnya, dia bisa melawan pasangan KARSA meskipun harus mengakui kekalahan di Pilkada putaran kedua.

Juragan Politik Memecah NU

Terpencarnya juraga-juragan NU dan tidak adanya mekanisme untuk menyatukan mereka membuat warga NU hanya bisa berlarian tanpa arah. Padahal warga NU yang mayoritas tinggal di pedesaan dengan akses politik yang terbatas membutuhkan seorang juragan yang bisa mengarahkan mereka. Dan salah satu juragan yang seharusnya melakukan itu adalah PBNU atau PWNU Jatim.

Tak bisa dipungkiri bahwa salah satu ciri khas warga NU adalah sikap dan perilaku mereka yang sangat menghormati para pemimpinnya. Warga NU khususnya yang ada di pedesaan kebanyakan masih mengikuti pemimpin lokal seperti kyai dan pemimpin lainnya. Terpencarnya suara NU di beberapa pasangan disebabkan karena tidak adanya wadah yang mampu menampung suara-suara tadi.

Terpecahnya suara NU ke beberapa pasangan itu telah membuat NU seperti sapi gemuk yang dibuat ‘bancakan’ atau pesta oleh para juragan politik. Celakanya, para juragan NU yang bersaing seakan tidak peduli dengan bancakan tersebut. Justru mereka seperti juragan sapi yang menikmati daging sapi mereka.

Hasilnya, kekalahan juragan NU untuk memimpin Jatim juga merupakan kekalahan warga NU Jatim secara keseluruhan. Tidak saja masyarakat arus bawah melainkan juga para juragan politik NU seperti orang-orang diatas.

Seharusnya NU bisa mempunyai orang nomor satu di Jatim. Pilkada juga tidak harus diulang jika suara NU tidak menjadi ‘bancakan’ para juragan. Tetapi kenapa suara itu tidak bisa bersatu. Apakah ini menunjukan bahwa NU adalah kumpulan orang-orang yang bodoh atau terlalu ‘cerdiknya’ orang-orang yang membodohi NU?

Sekarang semua harus legowo menerima konsekuensi perpolitikan dalam demokrasi. Tidak ada istilah ‘draw’ didalam Pilkada atau Pemilu bahkan didalam sejarah demokrasi di dunia. Jika draw, maka harus diadakan pemilihan ulang sampai ada pihak benar-benar kalah dan yang menang. Itulah yang membedakan sistem demokrasi dengan sistem otoriter dan diktator.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar