PENGAKUAN/RECOGNITION
Banyak pakar hukum internasional seperti Oppenheim, Lauterpacht, Charpertier, Dugard dan Smit berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat internasional tidak pernah berubah melainkan hanya menjadi subjek dari perubahan kehidupan politik. Negara-negara baru berdiri dan beberapa negara-negara lama hilang. Pemerintahan baru terbentuk didalam sebuah negara yang sah baik karena pemberontakan maupun dengan cara-cara yang damai.
Kemudian negara-negara lain mulai memutuskan pemerintahan mana yang harus diakui. Keputusan pengakuan suatu negara mempunyai konsekuensi-konsekuensi baik konsekuensi internasional maupun dampaknya terhadap hukum nasional. Oleh karena itu ada konsekuensi logis politis terhadap pengakuan sebuah negara. Banyak negara memutuskan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan sebuah negara berdasarkan alasan-alasan politik daripada unsur hukum. Salah satu contohnya, Amerika dan negara-negara barat tidak mengakui Palestina sebagai entitas yang berdaulat bukan karena pemerintahannya tidak mampu mengontrol wilayahnya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) melainkan karena mereka tidak ingin dampak hukum pengakuan tersebut berlaku yang pada akhirnya bisa mengakibatkan perubahan mendasar dalam peta politik global.
Dalam praktiknya alasan politik sering kali mengalahkan fakta hukum terhadap berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu, ada banyak opsi yang ditawarkan oleh komunitas internasional untuk mengakui sebuah negara. Misalnya, apakah pengakuan tersebut untuk memberikan pengakuan secara penuh, kewenangan/otoritas efektif didalam sebuah negara yang berdaulat, atau otoritas bawahan dari negara lain.
Pengakuan adalah statemen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dalam hal ini negara atau organisasi internasional terhadap sebuah keabsahan dari sebuah kenyataan yang ada. Sekali pengakuan itu dibuat, maka akan berdampak pada hubungan antara subjek hukum yang mengakui dan yang diberikan pengakuan. Misalnya, pengakuan akan berdampak pada peran serta sebuah subjek hukum/negara dalam aktifitas internasional seperti membangun hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kontroversi Teori Konstitusi
Jika melihat persoalan mengakuan diatas yang lebih mengedepankan alasan politik sebuah negara untuk mengakui keberadaan negara lain, maka seharusnya keberadaan teori konstitusi harus mulai dipertanyakan. Hal ini disebabkan ada banyak persoalan yang ditimbulkan dengan adanya teori ini. Konsekuensi yang muncul bukan hanya semata mengenai kemampuan sebuah negara untuk mempunyai derajat yang sama dengan negara lain, melainkan juga berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional lainnya.
Teori konstitusi lebih menitikberatkan pada keinginan dari negara-negara lain untuk mengakui kedaulatan sebuah negara baru. Oleh karena itu, alasan politis negara-negara ini tentu bisa saja mengalahkan fakta hukum yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh sebuah negara untuk merdeka dan berdaulat. Persoalan lainnya adalah bagaimana jika ada sebagian negara mengakui kedaulatan sebuah negara baru sedangkan lainnya tidak? Apakah didalam hukum internasional mengakui personality secara setengah-setengah.
Kasus yang terkait dengan teori konstitusi adalah penjelasan wakil dari Amerika dalam sidang Dewan Keamanan PBB mengenai situasi Timur Tengah tahun 1948 yang menyatakan bahwa jelas tidak benar jika ada negara di dunia yang mempertanyakan kedaulatan Amerika terkait dengan tindakan Amerika yang selama ini telah dilakukan.
Seharusnya pada saat pengaruh politik internasional dan organisasi internasional semakin penting dalam membentuk hukum internasional, keberadaan teori deklarasi harus lebih dikedepankan. Toeri ini mengatur bahwa kedaulatan negara baru bukan didasarkan pada keinginan negara lain untuk memberikan pengakuan melainkan berdasarkan fakta hukum yang ada. Jika sebuah entitas tidak mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat, maka konsekuensinya adalah ia tidak mendapatkan hak dan kewajiban seperti yang telah ditentukan dalam hukum internasional. Oleh karena itu hal ini juga bisa berdampak pada warga negara yang hidup didalamnya.
Institute De Droit Internasional menegaskan dalam resolusinya tentang pengakuan negara baru dan pemerintahan di tahun 1936 bahwa keberadaan negara baru dengan segala akibat hukumnya yang terkait dengan keberadaannya tidak diakibatkan oleh adanya penolakan oleh negara untuk mengakuinya. Lauterpacht berpendapat bahwa ketika sebuah entitas baru sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara, maka seharusnya negara-negara harus mengakuinya karena ketiadaan otoritas sentral dalam hukum internasional.
Pendapat diatas berlawanan dengan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk mengakui negara baru. Amerika berpegang pada kenyataan sebuah negara yang (1) mampu mengontrol wilayahnya dan masyarakatnya secara efektif, (2) kemampuan pemerintahannya membangun hubungan diplomatik dengan negara lain dan memenuhi kewajiban hukum internasional, serta (3) apakah entitas tersebut bisa menarik negara-negara lain untuk mengakui keberadaannya. Pendapat Amerika ini lebih mengedepankan teori konstitusi dan pengakuan secara politis daripada mempertimbangan faktor-faktor hukum yang ada.
Sedangkan pemerintah Inggris menyatakan bahwa faktor lain yang harus dipunyai oleh sebuah entitas untuk bisa diakui sebagai sebuah negara adalah adanya dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan Komunitas Eropa dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1991 menyatakan bahwa faktor-faktor lain mengenai pengakuan adalah:
1. menghormati aturan yang ada didalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen mengenai aturan hukum dan demokrasi
2. menjamin hak-hak kelompok etnik dan nasional serta minoritas dan isu-isu hak asasi manusia lainya
3. menghormati batas-batas negara yang hanya bisa diubah dengan cara-cara yang damai dan berdasarkan perjanjian yang umum
4. penerimaan komitmen-komitmen yang relevan terkait dengan perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional
5. komitmen untuk menyelesaikan perjanjian, termasuk semua hal yang sesuai dengannya dengan cara penyelesaian arbitrase.
Berdasarkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, pengajuan secara de facto dan de jure bisa beraneka ragam. Secara umum bisa disimpulkan bahwa pengakuan adalah gabungan antara kesadaran negara dengan keinginannya untuk menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional.
Pengakuan De facto dan De Jure
Pengakuan De Facto menegaskan bahwa ada keraguan dari negara-negara mengenai kelangsungan entitas tersebut dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pengakuan De Jure diberikan oleh negara jika mereka yakin bahwa kemampuan untuk mengorganisasikan wilayah serta kemampuan internasional sebuah pemerintahan sudah permanen dan tidak ada alasan hukum lain untuk menghambat pengakuan tersebut.
Pengakuan de facto mengindikasikan keraguan dari negara lain karena pengakuan de facto pada umumnya akan diikuti dengan pengakuan de jure dari negara tersebut. Misalnya, Inggris mengakui keberadaan Negara Uni Soviet secar de facto pada tahun 1921 dan baru pada tahun 1924 mengakui secara de jure. Pengakuan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Inggris ketika dalam Perang Sipil di Spanyol tahun 1936-9 mengakui secara de jure pemerintahan Republik Spanyol namun di lain pihak juga mengakui secara de facto Jenderal Franco karena mampu menguasai sebagian besar wilayah tersebut.
Berdasarkan realitas diatas, maka pengakuan pada dasarnya diberikan atas dasar kepentingan politik negara yang memberikan pengakuan. Oleh karena itu negara-negara akan membedakan pemberian pengakuan. Namun pengakuan de facto tidak menyebabkan timbulnya dampak hukum internasional seperti adanya hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diberikan pengakuan
Disarikan dari Malcolm Shaw, 2005. International Law. Cambridge: Cambridge University Press. hal 367 - 382
Tidak ada komentar:
Posting Komentar