tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar ‘No Justice No Welfare’ HMI Cabang Jember
17 Desember 2011
Masa transisi untuk memasuki era baru pasca runtuhnya rejim orde baru membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang tak mampu dihindari oleh bangsa Indonesia. Euforia reformasi tak hanya berdampak positif terhadap proses demokrasi seperti terbukanya kran penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia melainkan juga mengakibatkan semakin banyaknya gelembung-gelembung negatif seperti kejahatan korupsi. Perilaku tersebut tidak hanya mengancam proses demokrasi melainkan juga sustainabilitas bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Disatu sisi, sebagian besar masyarakat sudah menikmati segarnya kran kebebasan dalam berbangsa dan bernegara. Namun disisi lain kebebasan yang didengungkan justru dimanfaatkan oleh oknum masyarakat untuk memperkaya diri secara ilegal. Perilaku liar mereka terus menyebar, menghisap kekayaan negara dengan menyusup ke berbagai celah institusi pemerintahan dari pusat sampai daerah.
Modus operandi para koruptor ini seperti kartel narkoba. Jejaring mereka sangat kuat karena berselingkuh dengan aparatur penegak hukum, pemodal dan elit sosial. Mereka membentuk sistem sendiri, yakni sistem penyelenggaraan negara yang korup, anti transparansi dan bersembunyi dari pengawasan masyarakat. Konsekuensinya, perilaku busuk yang mereka timbulkan bak (maaf) kentut yang tidak pernah bisa dilihat, meskipun nyata adanya. Tak berlebihan jika kemudian fenomena korupsi merupakan anomali yang terus menggerus integritas bangsa.
Laten korupsi merupakan gelombang krisis multidimensi ketiga pasca Indonesia merdeka. Krisis pertama, yakni pertarungan ideologi di tahun 1965 berhasil dilalui nenek moyang kita meskipun bangsa Indonesia harus berlumuran darah ribuan masyarakat tak berdosa. Sedangkan krisis kedua, yakni runtuhnya bangunan ekonomi semu Indonesia tahun 1998 mengakibatkan tewasnya para aktifis mahasiswa pro demokrasi. Dunia tidak pernah menyangka bahwa kita berhasil meruntuhkan rejim yang begitu kejam memerintah Indonesia, sekaligus takjub melihat bumi pertiwi terbebas dari perang sipil pasca tragedi 1965.
Keberhasilan para pendahulu kita keluar dari kedua krisis diatas menunjukan bahwa sebenarnya Bangsa Indonesia bukanlah bangsa instan melainkan bangsa yang dibangun dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Dua krisis multi dimensi diatas membuktikan bahwa pada dasarnya nasionalisme tidak bisa digadaikan dengan lumuran darah, apalagi diperjualbelikan. Namun korupsi seperti gelombang tsunami yang menghantam jiwa patriotisme anak bangsa sehingga pola gerakannya semakin merajalela. Apalagi kini sudah mulai muncul apatisme dan pembiaran masyarakat ‘silence majority’ terhadap kejahatan korupsi.
Lalu apakah dua cerita agung para pendahulu kita hanya akan menjadi kenangan ketika bangsa Indonesia tidak mampu keluar dari krisis laten korupsi? Tulisan ini berusaha menjawab beberapa permasalahan yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hilangnya Anomali
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena sifatnya yang tidak biasa, maka dia menjadi anomali dan membutuhkan anomali pemikiran manusia yang memandangnya. Ini diperlukan agar ada metode khusus atau cara-cara yang tak biasa untuk menyelesaikan anomali korupsi. Artinya, harus ada cara-cara luar biasa yang berani keluar dari tradisi umum penyelesaian kejahatan pidana. Misalnya, penghapusan remisi, penjatuhan hukuman mati maupun pembuktian terbalik kepada terdakwa kasus korupsi. Bahkan jika perlu, harus ada upaya yang sangat liar seperti pemiskinan keluarga koruptor maupun menjadikan properti hasil korupsi sebagai tempat wisata.
Metode liar tersebut harus mencakup sanksi hukum dan sanki sosial. Pelaku korupsi tidak hanya menjalani hukuman penjara melainkan juga harus mendapatkan sanksi sosial. Terobosan penjatuhan pidana semacam ini diperlukan untuk menghambat laju anomali korupsi yang kian merajalela.
Namun ternyata ‘metode liar’ ini masih diperdebatkan. Bahkan kedua kubu yang berdebat sampai harus saling menghujat. Tentu ini justru merugikan karena perdebatan justru menyeruak ketika anomali korupsi semakin tak terkendali. Habitus korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan melainkan juga di tempat-tempat umum semacam lahan parkir dan institusi pendidikan. Pelaku korupsi sama nekatnya dengan teroris, bertransaksi di tempat terbuka, dan bahkan melibatkan ibu rumah tangga seperti Nunun Nurbaeti.
Jika sebuah anomali berlangsung terus menerus, maka dengan sendirinya berubah menjadi tradisi. Tradisi selalu membawa kebenaran versi masyarakat yang mempercayainya sehingga pada akhirnya perilaku koruptif menjadi bagian kebenaran yang tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Jika tidak korupsi, maka dia melawan tradisi yang mengakibatkan jatuhnya sanksi hukum dan sosial.
Melihat anomali korupsi tersebut, ekslusifisme lembaga peradilan tidak diperlukan lagi. Semua yang terlibat didalamnya harus terbuka dan berani mempunyai anomali pemikiran untuk memberantas korupsi. Teori putusan hakim adalah suara tuhan yang harus independen serta hukum harus ditegakan meskipun langit runtuh harus dikaji ulang untuk menjerat koruptor. Hal ini disebabkan anomali korupsi berkelindan dengan anomali dunia peradilan. Lembaga suci tersebut berubah menjadi media terciptanya keburukan bersama karena justru menjadi media berkembang biaknya perilaku koruptif.
Lembaga peradilan yang berfungsi untuk menciptakan nilai-nilai baik bersama ‘common good’ berubah menjadi transformer nilai-nilai buruk bersama ‘common bads.’ Konsekuesinya, jeratan korupsi menyebabkan kegusaran publik karena lembaga peradilan sebagai salah satu media demokrasi didonimasi oleh pemuja materi.
Disorientasi Pendidikan
Dulu siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mengetahui bahwa Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Mereka juga hafal lagu-lagu nasional dan menyanyikan dengan penuh semangat. Itulah pendidikan karakter yang ditanamkan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Pemerintah ingin membentuk wacana generasi muda bahwa kita adalah sebuah bangsa pejuang, harus melawan semua bentuk penjajahan dan menggelorakan semangat patriotisme melalui seni dan kebudayaan.
Namun lain dulu lain sekarang. Kini pemerintah tidak menganggap bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Kurikulum di sekolah masih berkutat pada aspek kognitif pencapaian prestasi berupa angka-angka. Keberhasilan sistem pendidikan juga diukur dari keberhasilan siswa dalam ujian, bukan dalam praktik keseharian.
Pencapaian prestasi kognisi siswa tidak sejalan dengan perilakunya. Bahkan jika melihat realita yang ada, afektif siswa cenderung terus menurun dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai sebuah sistem yang membentuk kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebersamaan tak ubahnya hanya menjadi etalase permainan. Guru dan murid bahkan melakukan korupsi bersama-sama sehingga kian rumit merumuskan korupsi sebagai ‘common enemy.’
Kegagalan pendidikan dalam menanamkan wacana korupsi sebagai common enemy merupakan upaya pembutaan kesadaran masyarakat terhadap realitas sosial disekitarnya. Pendidikan justru dijadikan penguasa sosial untuk menjinakan dan menidurkan generasi muda dari ancaman bahaya sosial seperti korupsi. Adanya silence majority terhadap perilaku korupsi mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung diam dan pasrah. Penurunan daya kritis berupa silence majority ini sudah mulai merambah di kalangan mahasiswa dan cerdik pandai lainnya.
Anomali korupsi harus dijadikan pijakan untuk meredefinisi, merekonstruksi, dan merevolusi pendidikan di Indonesia. Harus ada sistem pendidikan yang menekankan pentingnya keutamaan, keagungan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta generasi muda yang alergi terhadap korupsi.
Kegagalan Agama?
Mengkritisi agama di Indonesia selalu menghasilkan perspektif yang kontroversial dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya agama bisa dijadikan gerakan moral untuk mengikis korupsi karena mempunyai modal sosial yang besar. Tidak ada yang bisa, bahkan tidak boleh ada yang menyangkal bahwa pengaruh agama begitu kuat dan melekat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama bisa dilacak di Pancasila, pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Masuknya agama dalam sekularisme Indonesia bukanlah tanpa tujuan. Para pendiri bangsa ingin mengingatkan kepada kita bahwa agama hadir tidak hanya di ranah privat seperti yang terjadi di dunia barat, melainkan juga untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Fungsi ini sudah teruji di era perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun kini ternyata kaum agamawan justru terbius dengan candu surga sehingga melupakan fungsi agama sebagai perekat sosial. Mereka justru membelah masyarakat dengan doktrin agama sehingga menihilkan korupsi sebagai common enemy. Ceramah-ceramah agama hampir tidak pernah memuat substansi afektif umat dalam beragama. Bahkan beberapa agamawan menjadi pendosa, melakukan korupsi dan kemudian sembunyi dibalik kedok agama.
Kehilangan anomali korupsi dan disorientasi pendidikan mungkin masih bisa diperbaiki. Tanpa keduanya pun kita masih bisa merestorasi kondisi bangsa menjadi lebih baik. Namun kesalahan hermenetika agama bisa berakibat fatal, tidak hanya menjerumuskan manusia dalam pemahaman agama yang keliru melainkan juga berdampak pada perilaku syirik dalam bernegara. Nasionalisme hanya menjadi ilusi sehingga menghilangkan nasionalisme dan fungsi agama dalam memerangi korupsi.
Ketika kita sebagai bangsa sudah kehilangan harapan, agama kehilangan kontrol sosialnya, pendidikan mengalami disorientasi makna substansialnya, dan peradilan menjadi habitus common bads, maka saat itulah kita mengalami hibernasi atau penundaan pemberantasan korupsi…….
Semeru Path, 16 Desember 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar