Kamis, 03 Maret 2011

MENGURAI BENANG KUSUT HAK BERAGAMA DI INDONESIA

Kekerasan atas nama agama masih sering terjadi pasca reformasi dan cenderung semakin destruktif. Bahkan para penyerang seakan tidak takut lagi terhadap aparat keamanan dan mengesampingkan hukum yang berlaku. Salah satu caranya adalah dengan melakukan intimidasi secara berkelompok layaknya gangster. Mereka bergerak secara terorganisir karena jejaring sosial diantara para anggota sangat solid.

Tulisan ini berusaha mengingatkan kita pada sejarah perdebatan hak beragama sekaligus mengurai persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia.

Dilema
Hak beragama merupakan hak yang paling kontroversial. Silang pendapat berbagai pihak mengenai hak tersebut sudah terjadi semenjak diundangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Persoalan tidak hanya terjadi di negara-negara Islam melainkan juga melibatkan lain seperti Uni Soviet dan China. Artinya, persoalan hak beragama selalu bersinggungan dengan tafsir agama, ideologi atau budaya di negara-negara. Persoalan mengenai hak beragama semakin rumit karena sampai sekarang wacana tenang unviersalisme dan relativisme hak asasi manusia masih menjadi perdebatan.

Para penganjur relativisme hak asasi manusia berpendapat bahwa aturan mengenai moralitas berbeda-beda sehingga mengakibatkan hilangnya validitas universalisme hak asasi manusia. Universalisme hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan khususnya jika bersinggungan dengan intisari dari sebuah budaya. Amartya Sen mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan manifestasi dari etika yang berkembang di sebuah masyarakat. Artinya, hak asasi manusia akan mudah diimplementasikan di sebuah negara jika normanya berkaitan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Konsep relativisme ini menjaga ‘kedaulatan budaya’ dimana setiap budaya mempunyai jurisdiksi yang tidak boleh mengintervensi antara satu dengan lainnya.

Sebaliknya, para penganjur universalisme seperti Martha Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia tidak dapat dinegosiasikan untuk melindungi standar universal dalam mengimplementasikan hak asasi manusia di negara-negara. Ketiadaan standar universal bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seseorang khususnya kelompok-kelompok yang lemah secara hukum dan politik. Oleh karena itu konsep universalisme hak asasi manusia membungkam budaya atau agama yang sebenarnya telah mempunyai pemahaman tentang sebuah nilai termasuk hak beragama.

Di Indonesia, dua konsep tersebut telah memecah masyarakat menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah yang sangat ekstrem menolak konsep universalisme hak asasi manusia termasuk hak beragama. Mereka sangat represif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara keyakinan dan seringkali menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Kelompok konservatif ini sangat ekslusif sehingga menolak semua perubahan yang dianggap bukan berasal dari tradisi atau budaya mereka. Meskipun kelompok ini di Indonesia masih sedikit, namun sepak terjangnya sering berdampak besar karena memang ditujukan untuk menunjukan eksistensi mereka kepada masyarakat.

Kelompok kedua adalah yang menerima universalisme hak asasi manusia selama hak tersebut tidak mengganggu inti dari keyakinan mereka. Pada dasarnya kelompok ini tidak mau terlibat dalam aksi kekerasan meskipun mereka menolak hak dan kebebasan yang dianggap membahayakan keyakinan mereka. Jika terjadi kekerasan, ‘kelompok tengah’ ini lebih suka menawarkan pemecahan masalah tanpa kekerasan namun substansi dari tawaran tersebut tetap mengurangi hak dan kebebasan kelompok lain.

Kelompok ketiga adalah mereka yang bisa menerima perbedaan dalam bentuk apapun karena meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Namun ironisnya sebagian besar dari kelompok liberal ini cenderung permisif terhadap terjadinya pelanggaran sehingga suara mereka jarang didengar oleh pemerintah. Sedangkan sebagian kecil lainnya justru sangat aktif menyuarakan universalisme. Agresifitas kelompok liberal ini juga menjadi salah satu alasan munculnya revivalisme kelompok pertama yang merasa kemapanannya mulai terjajah.

Menegakan Hukum
Persoalan mengenai hak beragama di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan perdebatan sudah terjadi sesaat setelah Indonesia merdeka terkait Piagam jakarta. Yang menjadi ironi adalah perdebatan tempo dulu jarang tidak berujung pada aksi kekerasan.

Perdebatan juga terjadi di era Orde Baru ketika Presiden Soeharto menawarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Kelompok Islam Konservatif menanggap bahwa UU tersebut telah mereduksi Hukum Islam karena ketentuan batas minimal untuk menikah adalah umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Artinya, ketentuan itu bertentangan dengan hukum Islam karena batas minimal menikah adalah ketika seorang Muslim sudah akil balig, yakni sekitar umur 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun.

Penolakan juga didasarkan pada aturan mengenai tata cara perceraian karena perceraian ditentukan oleh pengadilan, bukan berdasarkan ketentuan ‘talak’ yang ada didalam Islam. Toh UU yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan anggota DPR itu bisa diundangkan karena ketegasan rejim Orde Baru.

Kini tidak ada yang mempermasalahkan UU Perkawinan made in Orde Baru tersebut yang sudah merubah beberapa ketentuan didalam Hukum Islam. Bahkan saya yakin kelompok konservatif yang akhir-akhir ini sering melakukan kekerasan juga tidak menolak UU tersebut. Namun kenapa justru mereka sangat defensif membela keyakinan versi mereka sampai harus membunuh orang yang berbeda keyakinan?

Salah satu sebabnya karena kelompok tengah yang sebagian besar berasal dari kaum intelektual tidak berani mengambil peran sebagai mediator diakar rumput. Meskipun berbagai kegiatan pluralisme dan kerukunan antar umat beragama sering diadakan, namun penyebaran idenya tidak sampai ke arus bawah. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap sebuah nilai yang kontroversial sangat lambat.

Semoga kita tidak perlu memunculkan Orde Baru versi abad 21 atau menunggu empat dekade untuk menerima hak beragama yang seharusnya bisa dimiliki oleh semua warga negara tanpa diskriminasi. Kita tidak harus mengganti atau mengurangi keyakinan kita untuk mengakui perbedaan. Justru memberikan sedikit ruang pemahaman yang berbeda bagi kelompok lain bisa menambah keimanan kita terhadap sebuah agama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar