Minggu, 13 Maret 2011

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM UNI AFRIKA

MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DIDALAM KERANGKA UNI AFRIKA
Malcolm Shaw, 2003. International Law, Edisi 5. Cambridge. hal 930-933

Uni Afrika didirikan pada tahun 1963. Pasal XIX Piagam Afrika mengandung prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai, yakni menekankan pentingnya negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Untuk menjalankan mekanisme tersebut, Uni Afrika membentuk sebuah komisi khusus arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi namun sayangnya komisi tersebut tidak mempunyai jurisdiksi absolut terhadap penyelesaian sengketa di negara-negara anggota. Salah satu sebabnya adalah negara-negara Afrika lebih suka memakai mekanisme penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditawarkan oleh Organisasi Uni Afrika.

Salah satu contohnya adalah penyelesaian perbatasan antara Maroko dan Algeria dimana Organisasi Uni Afrika mendirikan Komisi Ad Hoc yang berisi tujuh negara Afrika untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada tahun 1964 tersebut. Selain itu, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan Komisi Ad Hoc untuk menyelesaikan sengketa antara Somalia dengan Ethopia. Namun demikian Komisi tersebut gagal menyelesaikan konflik meskipun Komisi menegaskan prinsip non intervensi kedaulatan negara anggota.

Didalam konflik Sahara Barat, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan komite pada Juli 1978. Namun komite tersebut juga gagal menyelesaikan sengketa yang ada. Sedikit kesuksesan diperoleh ketika Organisasi Uni Afrika berusaha untuk menyelesaikan perang sipil di Chad. Berdasarkan penjelasan diatas, mekanisme penyelesaikan sengketa didalam kerangka Uni Afrika lebih menitik beratkan pada peran Organisasi Uni Afrika dengan mendirikan Komisi atau Komite Ad Hoc daripada menerapkan Piagam Afrika tentang mediasi, konsiliasi, arbitrase dan negosiasi.

Berdasarkan sejarah diatas, Organisasi Uni Afrika menerapkan mekanisme baru seperti mekanisme menjaga konflik, manajemen konflik, dan resolusi konflik pada tahun 1993. Mekanisme baru ini digunakan untuk mengantisipasi potensi konflik yang ada. Mekanisme tersebut terdiri dari dua badan utama; organ pusat dan divisi manajemen konflik. Organ pusat terdiri dari 16 negara yang dipilih setiap tahun, yang bertindak sebagai biro atau wakil dari masing-masing negara. Namun demikian, organ pusat ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa yang terjadi di beberapa negara di Afrika seperti Genosida Rwanda, Konlfik Burundi, dan Kongo.

Untuk mengimplimentasikan aturan yang ada didalam Piagam Afrika, Organisasi Uni Afrika membuat protokol pendukung mengenai pendirian Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika yang resmi didirikan pada tanggal 9 Juli 2002. Instrumen ini digunakan oleh Organisasi Uni Afrika untuk mendirikan Dewan Keamanan dan Perdamaian sebagai organ independen untuk menjaga, mengatur dan menyelesaikan konflik yang terjadi di negara-negara anggota. Dewan ini dalam kerjanya dibantu oleh Komisi Organisasi Uni Afrika. Salah satunya adalah dengan mengangkat lima pakar yang dipilih oleh ketua Komisi dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada semua negara anggota.

Kelima pakar tersebut bersama-sama dengan Dewan Keamanan Uni Afrika berhak melakukan pengawasan melalui pusat pengawasan dan observasi yang dikenal dengan ‘kamar situasi’ yang terletak di Direktorat Pusat Manajemen Konflik Uni Afrika. Tugas utama dari dewan ini (gabungan antara lima pakar dan dewan keamanan) adalah untuk menjaga dan menerapkan norma-norma yang ada didalam Piagam Afrika seperti penghormatan terhadap aturan hukum dan hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan integritas territorial dari semua negara anggota. Untuk menjaga independensi dewan, maka setiap anggota dipilih secara bergiliran berdasarkan prinsip persamaan perwakilan negara-negara.

Fungsi dari dewan ini termasuk juga menjalankan fungsi promosi perdamaian, keamanan dan stabilitas politik di kawasan Afrika. Sedangkan konsep peacemaking terdiri dari penggunaan mekanisme jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyidikan dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini sesuasi dengan Pasal 9 Protokol Piagam Afrika yang menyatakan bahwa dewan harus berinisiatif dan melakukan tindakan yang diperlukan berkaitan dengan situasi dan potensi konflik dan harus menggunakan kebijakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut baik secara intervensi kolektif dewan maupun melaui persetujuan ketua dewan, the panel of wise, atau melaui mekanisme kolaborasi regional.

Protokol Piagam Afrika berlaku efektif di negara anggota setelah mereka meratifikasi instrumen tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar