Kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas yang menyimpang dari kebiasaan umum masih akan terus terjadi. Saya yakin bahwa kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah di Pandeglang Banten bukanlah merupakan kekerasan yang terakhir. Masih banyak potensi konflik horizontal di masyarakat yang bisa muncul terkait dengan perbedaan tafsir agama. Salah satu alasan utamanya adalah adanya ‘contradictio interminis,’ yakni pertentangan norma yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945.
Di satu sisi, UUD 1945 menjamin hak beragama secara penuh didalam Pasal 28E ayat (1) dan 29 ayat (1). Kedua aturan tersebut ditegaskan lagi dengan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Namun ternyata ada pasal lain didalam Konstitusi yang bertentangan dengan tiga pasal tersebut, yakni Pasal 28J ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada undang-undang termasuk pertimbangan nilai-nilai agama.
Nah, klausula ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ inilah yang menyebabkan terjadinya pembatasan hak dan kebebasan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari mainstream agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan tersebut selalu didominasi oleh kelompok mayoritas sehingga menyebabkan kelompok minoritas kehilangan suaranya. Artinya klausula tersebut juga menciptakan ketimpangan persamaan hak diantara pemeluk agama.
Sebagai konstitusi, tentu pertentangan yang ada didalam UUD 1945 ini bisa mengakibatkan efek domino konflik hukum di Indonesia. Sampai saat ini masih ada beberapa norma derivatif yang saling bertentangan seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP tentang ancaman penjara bagi penganjur agama ‘sesat’ termasuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah.
Jalan Tengah, No!
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan konflik terkait dengan eksistensi kelompok tersebut. Jalan tengah tersebut merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari adanya contradictio interminis Konstitusi. Artinya, keluarnya SKB tersebut adalah sah berdasarkan Pasal 28J ayat (2) Konstitusi meskipun pada dasarnya pelarangan terhadap syiar Ahmadiyah mengandung aturan yang diskriminatif karena hanya melarang penyebaran Ahmadiyah.
Atas dasar itulah SKB bersifat constitutionally unconstitutional. Menjadi unconstitutional karena SKB membatasi hak dan kebebasan warga negara untuk meyakini agamanya. Selain itu juga mengandung norma diskriminatif karena hanya melarang syiar Ahmadiyah sedangkan agama-agama lain justru semakin marak melakukan kontes syiar agama di berbagai ruang publik termasuk membanjiri syiar agama di berbagai media massa elektronik.
Sedangkan alasan SKB menjadi produk hukum yang constitutional karena ditetapkan berdasarkan aturan hukum yang ada, yakni Pasal 28J ayat 2. Memang SKB ditujukan untuk mengatur kehidupan beragama dan menjaga harmonisasi agama-agama di Indonesia. Negara juga mempunyai hak untuk membatasi manifestasi keagamaan atau hak dan kebebasan lainnya demi terciptanya ketertiban, keselamatan dan keamanan nasional.
Namun harus diingat bahwa yang menjadi subjek dalam usaha pemenuhan hak asasi manusia bukanlah nilai-nilai agama melainkan status manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pertimbangan pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan agama justru menjadi paradoksi penegakan hak asasi manusia karena pihak-pihak yang tidak mematuhi ‘etika’ berdasarkan agama mayoritas secara otomatis kehilangan hak dan kebebasannya. Lalu apa yang membedakan status penganut Ahmadiyah dengan penganut agama lainnya padahal mereka sama-sama manusia ciptaan Tuhan?
Ada lagi keputusan hukum yang constitutionally constitutional terkait kasus penodaan agama, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Undang-Undang tersebut digugat karena dianggap sebagai ‘biang kerok’ terhadap terjadinya kekerasan agama yang selama ini banyak terjadi. Namun ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) lebih suka mengacu kepada ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ untuk menolak judicial review tersebut sehingga mengakibatkan keputusan tersebut constitutional.
Namun MK lupa bahwa pemenuhan hak asasi manusia bukanlah berdasarkan nilai-nilai agama karena pertimbangan seperti ini hanya akan mengakibatkan perbuatan tirani kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam hal perlindungan hak beragama, yang menjadi subjek adalah kelompok minoritas karena kelompok inilah yang sering menjadi korban. Artinya, ketika masih ada klausula ‘pertimbangan nilai-nilai’ maka sejatinya kelompok minoritas telah kehilangan hak dan kebebasannya.
Jika demikian, lalu apa bedanya Indonesia dengan negara-negara otoriter lainnya yang sering mengekang hak dan kebebasan warga negaranya? Ironisnya, contradictio interminis didalam Konstitusi justru terjadi setelah era reformasi, yakni muncul di amandemen kedua. Artinya reformasi sebenarnya juga menyisakan persoalan yang sangat mungkin berdampak sangat panjang selama pasal tersebut tidak diamandemen.
Salah Kaprah
Memang semua negara mengenal pembatasan terhadap implementasi hak dan kebebasan setiap manusia. Misalnya Pengadilan Turki justru membubarkan Partai Refah, yakni partai pemenang Pemilu 1995 karena salah satu tujuannya adalah ingin mengganti Konstitusi Turki yang sekuler dengan Syariah Islam. Artinya ada bahaya yang mengancam keamanan negara Turki sehingga pembubaran Partai Refah adalah sah meskipun setiap orang Islam berhak untuk melaksanakan Syariah Islam sebagai salah satu manifestasi keagamaan mereka.
Pemerintahan Tony Blair juga melarang Partai hizbut Tahrir di Inggris karena salah satu tujuannya adalah ingin menerapkan Syariah Islam di semua negara. Namun pemeluk agama-agama di negara kerajaan tersebut masih bebas untuk menjalankan aktifitas keagamaan mereka selama tidak mengganggu ketertiban umum maupun membahayakan keamanan negara.
Yang terjadi di Indonesia adalah justru anti-thesis dari kedua contoh tersebut. Hal ini disebabkan konflik hukum yang ada didalam Konstitusi dan norma derivatif di Indonesia menyebabkan buramnya ketentuan mengenai siapa yang lebih berhak dinyatakan sebagai pihak yang hak dan kebebasannya dilanggar oleh pihak lain. Konsekuensinya, ada kelompok-kelompok yang tidak segan untuk mengganggu ketertiban umum atau mengintervensi hak orang lain untuk mengklaim hak dan kebebasan mereka.
Di sisi lain ada kelompok-kelompok yang tidak pernah membahayakan keamanan, keselamatan maupun mengganggu hak orang lain justru menjadi pesakitan yang harus disembuhkan. Jika menolak, mereka wajib diperangi atau bahkan ‘halal’ dibunuh. Ironisnya selama ini mayoritas masyarakat bahkan aparatur pemerintah tidak mempermasalahkan tindakan anarkhis mereka dan justru semakin memojokan para korban meskipun mereka sudah terbujur kaku menjadi mayat. Hal ini menyebabkan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas karena perilaku permisif masyarakat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar