Parto kecil bukan hanya sebagai anak kampung namun juga anak dekil yang lugu. Namun begitu orang kampung mengenalnya sebagai anak cerdas karena beberapa kali menjadi rangking pertama di sekolahnya, Madrasah Ibtidaiyah, sebuah sekolah agama yang kental dengan ajaran Islam NU. Keberadaan sekolah tersebut seakan menjadi ikon resmi bahwa masyarakatnya Parto adalah kaum nahdliyin. Jika ada sekolah yang mengklaim sebagai sekolah yang tidak NU, maka tidak akan laku. Bahkan sekolah negeri seperti Sekolah Dasar Negeri maupun sekolah lanjutan negeri acap kali disebut sebagai sekolah kurang Islami. Siapa saja yang sekolah disana akan dikucilkan dari masyarakat dan mendapat sebutan Islam palsu.
Memang stigma negatif tersebut sangat ampuh untuk mempromosikan Madrasah Ibtidaiyah meskipun biaya sekolahnya tentu lebih mahal daripada sekolah negeri karena Madrasah tersebut adalah sekolah swasta yang tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah atau bahkan Pengurus Besar NU di Jakarta. Malahan pengurus PBNU juga tidak pernah tahu bahwa di kampung itu ada sekolah yang oleh masyarakatnya disebut sebagai sekolah Islam NU dan ada ratusan anak yang sedang sekolah disitu dan sudah ada ribuan yang lulus dan tersebar di Indonesia.
Parto kecil juga tidak tahu bahwa itu adalah sekolah Islam NU. Yang dia tahu cuma satu...sekolah dengan membawa buku, mencatat, menghafal dan kemudian pulang. Seperti biasa dalam kehidupan masyarakat pedesaan, Parto selalu pergi ke Mushala selepas maghrib untuk belajar membaca Al Quran. Biasanya dia juga bermalam di Mushala dan kadang pulang jika dijemput kakeknya.
Selain dari waktu tersebut, ia menghabiskan sebagian besar waktunya untuk bermain bersama teman-temannya. Jenis dan tempat permainannya tidak terbatas oleh musim dan tidak terbatas oleh barang permainan toko. Semua dibuat dari alam dan dikondisikan dengan musim. Jika musim kemarau maka arena permainan lebih sering di halaman rumah untuk bermain kelereng, gangsing, maupun jenis permainan rakyat lainnya.
Jika musim hujan, area permainan akan dipindah ke sungai dan sawah. jenis permainan di musim hujan biasanya agak sedikit menjijikan. misalnya berenang di sungai bersama kerbau atau bermain gajuk, yakni permainan melempar tongkat kedalam lumpur dan yang kalah adalah mereka yang tongkatnya menempel ditanah/lumpur. Hanya ada satu pemain yang kalah. Jadi untuk hukuman biasanya tongkat para pemain yang menang akan dilumuri lumpur yang dicampur dengan kotoran kerbau untuk ditempelkan ke kaki pemain yang kalah.
Ada lagi permainan wok-wokan, yakni permainan yang menggunakan kelereng sebagai media permainan. Selain itu juga dibutuhkan sebuah lubang yang digunakan untuk memasukan kelereng tersebut. Permainan ini tidak menentukan pemenang tapi menentukan pemain yang kalah. Pemain yang kalah adalah yang memasukan kelereng paling akhir ke lubang yang telah ditentukan. Ini seperti permainan golf namun bedanya tidak menggunakan tongkat pemukul melainkan menggunakan jari tangan untuk menjentikan kelereng. Pemain yang kalah harus menerima hukuman, yakni tangannya diletakan ditanah dan kemudin dijatuhi kelereng dari para pemain. Biasanya jarak jatuhnya kelereng sebatas pinggang pemain.
Tidak ada dendam diantara mereka, semua dinikmati seperti kehidupan normal mereka setiap hari..bercanda dan bermain bersama dalam kehangatan. Berbeda dengan para suporter bola atau bahkan pengurus bola di negeri ini yang sering bertengkar hanya masalah perbedaan pendapat.
Ada juga permainan yang berbau judi. Salah satunya adalah Permainan Dim Diman. Permainan ini sangat sering dimainkan karena sangat disukai oleh masyarakat muda dan tua. Dim diman menggunakan sabit yang dilemparkan ke sebuah tongkat. jarak dari tempat melempar ke tongkat ditentukan oleh kesepakatan para pemain. Biasanya sekitar 10 meter. Sabit yang paling dekat ke tongkat adalah pemenangnya. Sebagai taruhan, para pemain menggunakan rumput yang digunakan untuk memberi makan ternak. Jadi yang paling pandai melempar biasanya tidak perlu merumput terlalu lama, cukup merumput beberapa genggam rumput dan digunakan untuk bermain dan dia sudah bisa membawa sekarung rumput untuk ternaknya.
Permainan judi lainnya adalah permainan kelereng yang menggunakan taruhan. Parto adalah anak yang sangat terkenal main kelereng. Bahkan keahliannya tersebut membuatnya sangat laku karena dikontrak oleh teman-temannya untuk membantu mereka bermain kelereng. Jika menang upahnya adalah kelereng. Kelereng hasilnya bermain tersebut kemudian dijual kepada teman-temannya. Dan bisanya esok hari Parto mengajak teman-temannya tersebut untuk bermain kelereng dan pastinya mereka kalah. Kemudian beli kelereng lagi, main lagi dan kalah lagi.
Jika malam hari, permainan justru sangat beragam. Mulai dari permainan petak umpet, balapan mobil-mobilan yang ada obornya, sampai pada permainan jek-jekan, yakni permainan seni mempertahankan rumah dan serdadu dari serangan pihak lain. permainan ini membutuhkan strategi dan kebersamaan tim.
Kebersamaan itulah yang mengilhami Parto untuk menjadi manusia yang multidimensi. Kebersamaan tidak harus ditentukan oleh kesamaan ras, agama, maupun pendapat. Kebersamaan bisa dibangun berdasarkan keikhlasan untuk kalah dan menang. Kebersamaan harus tumbuh dan berkembang meskipun satu atau beberapa pihak merasa terluka dan pihak lain tertawa. Kuncinya semua harus memahami bahwa semua itu adalah sebuah tahapan kehidupan yang harus dilalui oleh semua manusia.
London, Last day of 2011
Sabtu, 31 Desember 2011
Jumat, 30 Desember 2011
HIBERNASI PEMBERANTASAN KORUPSI
tulisan ini dipresentasikan dalam Seminar ‘No Justice No Welfare’ HMI Cabang Jember
17 Desember 2011
Masa transisi untuk memasuki era baru pasca runtuhnya rejim orde baru membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang tak mampu dihindari oleh bangsa Indonesia. Euforia reformasi tak hanya berdampak positif terhadap proses demokrasi seperti terbukanya kran penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia melainkan juga mengakibatkan semakin banyaknya gelembung-gelembung negatif seperti kejahatan korupsi. Perilaku tersebut tidak hanya mengancam proses demokrasi melainkan juga sustainabilitas bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Disatu sisi, sebagian besar masyarakat sudah menikmati segarnya kran kebebasan dalam berbangsa dan bernegara. Namun disisi lain kebebasan yang didengungkan justru dimanfaatkan oleh oknum masyarakat untuk memperkaya diri secara ilegal. Perilaku liar mereka terus menyebar, menghisap kekayaan negara dengan menyusup ke berbagai celah institusi pemerintahan dari pusat sampai daerah.
Modus operandi para koruptor ini seperti kartel narkoba. Jejaring mereka sangat kuat karena berselingkuh dengan aparatur penegak hukum, pemodal dan elit sosial. Mereka membentuk sistem sendiri, yakni sistem penyelenggaraan negara yang korup, anti transparansi dan bersembunyi dari pengawasan masyarakat. Konsekuensinya, perilaku busuk yang mereka timbulkan bak (maaf) kentut yang tidak pernah bisa dilihat, meskipun nyata adanya. Tak berlebihan jika kemudian fenomena korupsi merupakan anomali yang terus menggerus integritas bangsa.
Laten korupsi merupakan gelombang krisis multidimensi ketiga pasca Indonesia merdeka. Krisis pertama, yakni pertarungan ideologi di tahun 1965 berhasil dilalui nenek moyang kita meskipun bangsa Indonesia harus berlumuran darah ribuan masyarakat tak berdosa. Sedangkan krisis kedua, yakni runtuhnya bangunan ekonomi semu Indonesia tahun 1998 mengakibatkan tewasnya para aktifis mahasiswa pro demokrasi. Dunia tidak pernah menyangka bahwa kita berhasil meruntuhkan rejim yang begitu kejam memerintah Indonesia, sekaligus takjub melihat bumi pertiwi terbebas dari perang sipil pasca tragedi 1965.
Keberhasilan para pendahulu kita keluar dari kedua krisis diatas menunjukan bahwa sebenarnya Bangsa Indonesia bukanlah bangsa instan melainkan bangsa yang dibangun dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Dua krisis multi dimensi diatas membuktikan bahwa pada dasarnya nasionalisme tidak bisa digadaikan dengan lumuran darah, apalagi diperjualbelikan. Namun korupsi seperti gelombang tsunami yang menghantam jiwa patriotisme anak bangsa sehingga pola gerakannya semakin merajalela. Apalagi kini sudah mulai muncul apatisme dan pembiaran masyarakat ‘silence majority’ terhadap kejahatan korupsi.
Lalu apakah dua cerita agung para pendahulu kita hanya akan menjadi kenangan ketika bangsa Indonesia tidak mampu keluar dari krisis laten korupsi? Tulisan ini berusaha menjawab beberapa permasalahan yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hilangnya Anomali
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena sifatnya yang tidak biasa, maka dia menjadi anomali dan membutuhkan anomali pemikiran manusia yang memandangnya. Ini diperlukan agar ada metode khusus atau cara-cara yang tak biasa untuk menyelesaikan anomali korupsi. Artinya, harus ada cara-cara luar biasa yang berani keluar dari tradisi umum penyelesaian kejahatan pidana. Misalnya, penghapusan remisi, penjatuhan hukuman mati maupun pembuktian terbalik kepada terdakwa kasus korupsi. Bahkan jika perlu, harus ada upaya yang sangat liar seperti pemiskinan keluarga koruptor maupun menjadikan properti hasil korupsi sebagai tempat wisata.
Metode liar tersebut harus mencakup sanksi hukum dan sanki sosial. Pelaku korupsi tidak hanya menjalani hukuman penjara melainkan juga harus mendapatkan sanksi sosial. Terobosan penjatuhan pidana semacam ini diperlukan untuk menghambat laju anomali korupsi yang kian merajalela.
Namun ternyata ‘metode liar’ ini masih diperdebatkan. Bahkan kedua kubu yang berdebat sampai harus saling menghujat. Tentu ini justru merugikan karena perdebatan justru menyeruak ketika anomali korupsi semakin tak terkendali. Habitus korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan melainkan juga di tempat-tempat umum semacam lahan parkir dan institusi pendidikan. Pelaku korupsi sama nekatnya dengan teroris, bertransaksi di tempat terbuka, dan bahkan melibatkan ibu rumah tangga seperti Nunun Nurbaeti.
Jika sebuah anomali berlangsung terus menerus, maka dengan sendirinya berubah menjadi tradisi. Tradisi selalu membawa kebenaran versi masyarakat yang mempercayainya sehingga pada akhirnya perilaku koruptif menjadi bagian kebenaran yang tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Jika tidak korupsi, maka dia melawan tradisi yang mengakibatkan jatuhnya sanksi hukum dan sosial.
Melihat anomali korupsi tersebut, ekslusifisme lembaga peradilan tidak diperlukan lagi. Semua yang terlibat didalamnya harus terbuka dan berani mempunyai anomali pemikiran untuk memberantas korupsi. Teori putusan hakim adalah suara tuhan yang harus independen serta hukum harus ditegakan meskipun langit runtuh harus dikaji ulang untuk menjerat koruptor. Hal ini disebabkan anomali korupsi berkelindan dengan anomali dunia peradilan. Lembaga suci tersebut berubah menjadi media terciptanya keburukan bersama karena justru menjadi media berkembang biaknya perilaku koruptif.
Lembaga peradilan yang berfungsi untuk menciptakan nilai-nilai baik bersama ‘common good’ berubah menjadi transformer nilai-nilai buruk bersama ‘common bads.’ Konsekuesinya, jeratan korupsi menyebabkan kegusaran publik karena lembaga peradilan sebagai salah satu media demokrasi didonimasi oleh pemuja materi.
Disorientasi Pendidikan
Dulu siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mengetahui bahwa Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Mereka juga hafal lagu-lagu nasional dan menyanyikan dengan penuh semangat. Itulah pendidikan karakter yang ditanamkan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Pemerintah ingin membentuk wacana generasi muda bahwa kita adalah sebuah bangsa pejuang, harus melawan semua bentuk penjajahan dan menggelorakan semangat patriotisme melalui seni dan kebudayaan.
Namun lain dulu lain sekarang. Kini pemerintah tidak menganggap bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Kurikulum di sekolah masih berkutat pada aspek kognitif pencapaian prestasi berupa angka-angka. Keberhasilan sistem pendidikan juga diukur dari keberhasilan siswa dalam ujian, bukan dalam praktik keseharian.
Pencapaian prestasi kognisi siswa tidak sejalan dengan perilakunya. Bahkan jika melihat realita yang ada, afektif siswa cenderung terus menurun dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai sebuah sistem yang membentuk kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebersamaan tak ubahnya hanya menjadi etalase permainan. Guru dan murid bahkan melakukan korupsi bersama-sama sehingga kian rumit merumuskan korupsi sebagai ‘common enemy.’
Kegagalan pendidikan dalam menanamkan wacana korupsi sebagai common enemy merupakan upaya pembutaan kesadaran masyarakat terhadap realitas sosial disekitarnya. Pendidikan justru dijadikan penguasa sosial untuk menjinakan dan menidurkan generasi muda dari ancaman bahaya sosial seperti korupsi. Adanya silence majority terhadap perilaku korupsi mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung diam dan pasrah. Penurunan daya kritis berupa silence majority ini sudah mulai merambah di kalangan mahasiswa dan cerdik pandai lainnya.
Anomali korupsi harus dijadikan pijakan untuk meredefinisi, merekonstruksi, dan merevolusi pendidikan di Indonesia. Harus ada sistem pendidikan yang menekankan pentingnya keutamaan, keagungan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta generasi muda yang alergi terhadap korupsi.
Kegagalan Agama?
Mengkritisi agama di Indonesia selalu menghasilkan perspektif yang kontroversial dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya agama bisa dijadikan gerakan moral untuk mengikis korupsi karena mempunyai modal sosial yang besar. Tidak ada yang bisa, bahkan tidak boleh ada yang menyangkal bahwa pengaruh agama begitu kuat dan melekat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama bisa dilacak di Pancasila, pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Masuknya agama dalam sekularisme Indonesia bukanlah tanpa tujuan. Para pendiri bangsa ingin mengingatkan kepada kita bahwa agama hadir tidak hanya di ranah privat seperti yang terjadi di dunia barat, melainkan juga untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Fungsi ini sudah teruji di era perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun kini ternyata kaum agamawan justru terbius dengan candu surga sehingga melupakan fungsi agama sebagai perekat sosial. Mereka justru membelah masyarakat dengan doktrin agama sehingga menihilkan korupsi sebagai common enemy. Ceramah-ceramah agama hampir tidak pernah memuat substansi afektif umat dalam beragama. Bahkan beberapa agamawan menjadi pendosa, melakukan korupsi dan kemudian sembunyi dibalik kedok agama.
Kehilangan anomali korupsi dan disorientasi pendidikan mungkin masih bisa diperbaiki. Tanpa keduanya pun kita masih bisa merestorasi kondisi bangsa menjadi lebih baik. Namun kesalahan hermenetika agama bisa berakibat fatal, tidak hanya menjerumuskan manusia dalam pemahaman agama yang keliru melainkan juga berdampak pada perilaku syirik dalam bernegara. Nasionalisme hanya menjadi ilusi sehingga menghilangkan nasionalisme dan fungsi agama dalam memerangi korupsi.
Ketika kita sebagai bangsa sudah kehilangan harapan, agama kehilangan kontrol sosialnya, pendidikan mengalami disorientasi makna substansialnya, dan peradilan menjadi habitus common bads, maka saat itulah kita mengalami hibernasi atau penundaan pemberantasan korupsi…….
Semeru Path, 16 Desember 2011
17 Desember 2011
Masa transisi untuk memasuki era baru pasca runtuhnya rejim orde baru membawa konsekuensi-konsekuensi logis yang tak mampu dihindari oleh bangsa Indonesia. Euforia reformasi tak hanya berdampak positif terhadap proses demokrasi seperti terbukanya kran penegakan dan pemenuhan hak asasi manusia melainkan juga mengakibatkan semakin banyaknya gelembung-gelembung negatif seperti kejahatan korupsi. Perilaku tersebut tidak hanya mengancam proses demokrasi melainkan juga sustainabilitas bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Disatu sisi, sebagian besar masyarakat sudah menikmati segarnya kran kebebasan dalam berbangsa dan bernegara. Namun disisi lain kebebasan yang didengungkan justru dimanfaatkan oleh oknum masyarakat untuk memperkaya diri secara ilegal. Perilaku liar mereka terus menyebar, menghisap kekayaan negara dengan menyusup ke berbagai celah institusi pemerintahan dari pusat sampai daerah.
Modus operandi para koruptor ini seperti kartel narkoba. Jejaring mereka sangat kuat karena berselingkuh dengan aparatur penegak hukum, pemodal dan elit sosial. Mereka membentuk sistem sendiri, yakni sistem penyelenggaraan negara yang korup, anti transparansi dan bersembunyi dari pengawasan masyarakat. Konsekuensinya, perilaku busuk yang mereka timbulkan bak (maaf) kentut yang tidak pernah bisa dilihat, meskipun nyata adanya. Tak berlebihan jika kemudian fenomena korupsi merupakan anomali yang terus menggerus integritas bangsa.
Laten korupsi merupakan gelombang krisis multidimensi ketiga pasca Indonesia merdeka. Krisis pertama, yakni pertarungan ideologi di tahun 1965 berhasil dilalui nenek moyang kita meskipun bangsa Indonesia harus berlumuran darah ribuan masyarakat tak berdosa. Sedangkan krisis kedua, yakni runtuhnya bangunan ekonomi semu Indonesia tahun 1998 mengakibatkan tewasnya para aktifis mahasiswa pro demokrasi. Dunia tidak pernah menyangka bahwa kita berhasil meruntuhkan rejim yang begitu kejam memerintah Indonesia, sekaligus takjub melihat bumi pertiwi terbebas dari perang sipil pasca tragedi 1965.
Keberhasilan para pendahulu kita keluar dari kedua krisis diatas menunjukan bahwa sebenarnya Bangsa Indonesia bukanlah bangsa instan melainkan bangsa yang dibangun dengan jiwa nasionalisme yang tinggi. Dua krisis multi dimensi diatas membuktikan bahwa pada dasarnya nasionalisme tidak bisa digadaikan dengan lumuran darah, apalagi diperjualbelikan. Namun korupsi seperti gelombang tsunami yang menghantam jiwa patriotisme anak bangsa sehingga pola gerakannya semakin merajalela. Apalagi kini sudah mulai muncul apatisme dan pembiaran masyarakat ‘silence majority’ terhadap kejahatan korupsi.
Lalu apakah dua cerita agung para pendahulu kita hanya akan menjadi kenangan ketika bangsa Indonesia tidak mampu keluar dari krisis laten korupsi? Tulisan ini berusaha menjawab beberapa permasalahan yang menghambat pemberantasan korupsi di Indonesia.
Hilangnya Anomali
Korupsi merupakan kejahatan luar biasa atau extra ordinary crime. Karena sifatnya yang tidak biasa, maka dia menjadi anomali dan membutuhkan anomali pemikiran manusia yang memandangnya. Ini diperlukan agar ada metode khusus atau cara-cara yang tak biasa untuk menyelesaikan anomali korupsi. Artinya, harus ada cara-cara luar biasa yang berani keluar dari tradisi umum penyelesaian kejahatan pidana. Misalnya, penghapusan remisi, penjatuhan hukuman mati maupun pembuktian terbalik kepada terdakwa kasus korupsi. Bahkan jika perlu, harus ada upaya yang sangat liar seperti pemiskinan keluarga koruptor maupun menjadikan properti hasil korupsi sebagai tempat wisata.
Metode liar tersebut harus mencakup sanksi hukum dan sanki sosial. Pelaku korupsi tidak hanya menjalani hukuman penjara melainkan juga harus mendapatkan sanksi sosial. Terobosan penjatuhan pidana semacam ini diperlukan untuk menghambat laju anomali korupsi yang kian merajalela.
Namun ternyata ‘metode liar’ ini masih diperdebatkan. Bahkan kedua kubu yang berdebat sampai harus saling menghujat. Tentu ini justru merugikan karena perdebatan justru menyeruak ketika anomali korupsi semakin tak terkendali. Habitus korupsi tidak hanya terjadi di birokrasi pemerintahan melainkan juga di tempat-tempat umum semacam lahan parkir dan institusi pendidikan. Pelaku korupsi sama nekatnya dengan teroris, bertransaksi di tempat terbuka, dan bahkan melibatkan ibu rumah tangga seperti Nunun Nurbaeti.
Jika sebuah anomali berlangsung terus menerus, maka dengan sendirinya berubah menjadi tradisi. Tradisi selalu membawa kebenaran versi masyarakat yang mempercayainya sehingga pada akhirnya perilaku koruptif menjadi bagian kebenaran yang tak terpisahkan dari masyarakat tersebut. Jika tidak korupsi, maka dia melawan tradisi yang mengakibatkan jatuhnya sanksi hukum dan sosial.
Melihat anomali korupsi tersebut, ekslusifisme lembaga peradilan tidak diperlukan lagi. Semua yang terlibat didalamnya harus terbuka dan berani mempunyai anomali pemikiran untuk memberantas korupsi. Teori putusan hakim adalah suara tuhan yang harus independen serta hukum harus ditegakan meskipun langit runtuh harus dikaji ulang untuk menjerat koruptor. Hal ini disebabkan anomali korupsi berkelindan dengan anomali dunia peradilan. Lembaga suci tersebut berubah menjadi media terciptanya keburukan bersama karena justru menjadi media berkembang biaknya perilaku koruptif.
Lembaga peradilan yang berfungsi untuk menciptakan nilai-nilai baik bersama ‘common good’ berubah menjadi transformer nilai-nilai buruk bersama ‘common bads.’ Konsekuesinya, jeratan korupsi menyebabkan kegusaran publik karena lembaga peradilan sebagai salah satu media demokrasi didonimasi oleh pemuja materi.
Disorientasi Pendidikan
Dulu siswa Sekolah Dasar (SD) sudah mengetahui bahwa Belanda dan Jepang pernah menjajah Indonesia. Mereka juga hafal lagu-lagu nasional dan menyanyikan dengan penuh semangat. Itulah pendidikan karakter yang ditanamkan oleh pemerintah Indonesia waktu itu. Pemerintah ingin membentuk wacana generasi muda bahwa kita adalah sebuah bangsa pejuang, harus melawan semua bentuk penjajahan dan menggelorakan semangat patriotisme melalui seni dan kebudayaan.
Namun lain dulu lain sekarang. Kini pemerintah tidak menganggap bahwa korupsi adalah musuh bersama yang harus diperangi. Kurikulum di sekolah masih berkutat pada aspek kognitif pencapaian prestasi berupa angka-angka. Keberhasilan sistem pendidikan juga diukur dari keberhasilan siswa dalam ujian, bukan dalam praktik keseharian.
Pencapaian prestasi kognisi siswa tidak sejalan dengan perilakunya. Bahkan jika melihat realita yang ada, afektif siswa cenderung terus menurun dari tahun ke tahun. Pendidikan sebagai sebuah sistem yang membentuk kebaikan, keutamaan, dan nilai-nilai kebersamaan tak ubahnya hanya menjadi etalase permainan. Guru dan murid bahkan melakukan korupsi bersama-sama sehingga kian rumit merumuskan korupsi sebagai ‘common enemy.’
Kegagalan pendidikan dalam menanamkan wacana korupsi sebagai common enemy merupakan upaya pembutaan kesadaran masyarakat terhadap realitas sosial disekitarnya. Pendidikan justru dijadikan penguasa sosial untuk menjinakan dan menidurkan generasi muda dari ancaman bahaya sosial seperti korupsi. Adanya silence majority terhadap perilaku korupsi mengindikasikan bahwa generasi muda cenderung diam dan pasrah. Penurunan daya kritis berupa silence majority ini sudah mulai merambah di kalangan mahasiswa dan cerdik pandai lainnya.
Anomali korupsi harus dijadikan pijakan untuk meredefinisi, merekonstruksi, dan merevolusi pendidikan di Indonesia. Harus ada sistem pendidikan yang menekankan pentingnya keutamaan, keagungan, kebersamaan, nasionalisme dan patriotisme dalam kehidupan sehari-hari sehingga tercipta generasi muda yang alergi terhadap korupsi.
Kegagalan Agama?
Mengkritisi agama di Indonesia selalu menghasilkan perspektif yang kontroversial dan tidak jarang menimbulkan konflik sosial di masyarakat. Hal ini menunjukan bahwa sebenarnya agama bisa dijadikan gerakan moral untuk mengikis korupsi karena mempunyai modal sosial yang besar. Tidak ada yang bisa, bahkan tidak boleh ada yang menyangkal bahwa pengaruh agama begitu kuat dan melekat dalam sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Pengaruh agama bisa dilacak di Pancasila, pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 serta semua jenis peraturan perundang-undangan di Indonesia.
Masuknya agama dalam sekularisme Indonesia bukanlah tanpa tujuan. Para pendiri bangsa ingin mengingatkan kepada kita bahwa agama hadir tidak hanya di ranah privat seperti yang terjadi di dunia barat, melainkan juga untuk menyelesaikan persoalan kebangsaan. Fungsi ini sudah teruji di era perjuangan kemerdekaan Indonesia.
Namun kini ternyata kaum agamawan justru terbius dengan candu surga sehingga melupakan fungsi agama sebagai perekat sosial. Mereka justru membelah masyarakat dengan doktrin agama sehingga menihilkan korupsi sebagai common enemy. Ceramah-ceramah agama hampir tidak pernah memuat substansi afektif umat dalam beragama. Bahkan beberapa agamawan menjadi pendosa, melakukan korupsi dan kemudian sembunyi dibalik kedok agama.
Kehilangan anomali korupsi dan disorientasi pendidikan mungkin masih bisa diperbaiki. Tanpa keduanya pun kita masih bisa merestorasi kondisi bangsa menjadi lebih baik. Namun kesalahan hermenetika agama bisa berakibat fatal, tidak hanya menjerumuskan manusia dalam pemahaman agama yang keliru melainkan juga berdampak pada perilaku syirik dalam bernegara. Nasionalisme hanya menjadi ilusi sehingga menghilangkan nasionalisme dan fungsi agama dalam memerangi korupsi.
Ketika kita sebagai bangsa sudah kehilangan harapan, agama kehilangan kontrol sosialnya, pendidikan mengalami disorientasi makna substansialnya, dan peradilan menjadi habitus common bads, maka saat itulah kita mengalami hibernasi atau penundaan pemberantasan korupsi…….
Semeru Path, 16 Desember 2011
Kamis, 29 Desember 2011
Welcome Back
London merupakan salah satu kota terbesar dan terpenting di Eropa. Selain sebagai pusat bisnis, London juga bisa dibilang sebagai jantungnya kehidupan Eropa karena disinilah kebijakan dunia ditentukan. Namun ternyata masyarakat London tidak begitu menyukai kehidupan kota kerajaan ini. alasan utamanya adalah 'nothing to see.' yach, mereka mempunyai rutinitas harian seperti robot. pergi berangkat kerja naik bis atau kereta bawah tanah, kemudian bertemu dengan orang-orang yang sama di tempat kerja, lalu pulang dengan waktu dan tempat yang sama.
Mereka tidak bisa bersantai seperti orang Indonesia. Kerja adalah bagian dari profesionalisme hidup mereka. Oleh karena itu kepenatan itu harus bisa dibayar. Bukan hanya dengan gaji yang tinggi melainkan dengan kepuasan menikmati alam.
Makanya mereka selalu bilang bahwa Indonesia atau negara-negara tropis lainnya merupakan surga yang sangat ingin mereka kunjungi. selain karena panorama alamnya yang luar biasa, masyarakatnya juga ramah. Bisa dipastikan tanggapan mereka pasti akan terkagum-kagum ketika bertanya ke warga negara Indonesia dan mereka menjawab, i am from Indonesia.......
itulah pengalaman pertama ketika aku menginjakan kaki di Jantung kota London, tepatnya di Paul Robertson House, akomodasi yang disediakan oleh pihak Universitas (SOAS) kepada mahasiswa asing yang banyak belajar di universitas tersebut.
jadi, berbahagialah dan berbanggalah menjadi bagian dari Indonesia
London, 29 Desember 2011
Mereka tidak bisa bersantai seperti orang Indonesia. Kerja adalah bagian dari profesionalisme hidup mereka. Oleh karena itu kepenatan itu harus bisa dibayar. Bukan hanya dengan gaji yang tinggi melainkan dengan kepuasan menikmati alam.
Makanya mereka selalu bilang bahwa Indonesia atau negara-negara tropis lainnya merupakan surga yang sangat ingin mereka kunjungi. selain karena panorama alamnya yang luar biasa, masyarakatnya juga ramah. Bisa dipastikan tanggapan mereka pasti akan terkagum-kagum ketika bertanya ke warga negara Indonesia dan mereka menjawab, i am from Indonesia.......
itulah pengalaman pertama ketika aku menginjakan kaki di Jantung kota London, tepatnya di Paul Robertson House, akomodasi yang disediakan oleh pihak Universitas (SOAS) kepada mahasiswa asing yang banyak belajar di universitas tersebut.
jadi, berbahagialah dan berbanggalah menjadi bagian dari Indonesia
London, 29 Desember 2011
Minggu, 04 Desember 2011
PENGAKUAN
PENGAKUAN/RECOGNITION
Banyak pakar hukum internasional seperti Oppenheim, Lauterpacht, Charpertier, Dugard dan Smit berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat internasional tidak pernah berubah melainkan hanya menjadi subjek dari perubahan kehidupan politik. Negara-negara baru berdiri dan beberapa negara-negara lama hilang. Pemerintahan baru terbentuk didalam sebuah negara yang sah baik karena pemberontakan maupun dengan cara-cara yang damai.
Kemudian negara-negara lain mulai memutuskan pemerintahan mana yang harus diakui. Keputusan pengakuan suatu negara mempunyai konsekuensi-konsekuensi baik konsekuensi internasional maupun dampaknya terhadap hukum nasional. Oleh karena itu ada konsekuensi logis politis terhadap pengakuan sebuah negara. Banyak negara memutuskan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan sebuah negara berdasarkan alasan-alasan politik daripada unsur hukum. Salah satu contohnya, Amerika dan negara-negara barat tidak mengakui Palestina sebagai entitas yang berdaulat bukan karena pemerintahannya tidak mampu mengontrol wilayahnya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) melainkan karena mereka tidak ingin dampak hukum pengakuan tersebut berlaku yang pada akhirnya bisa mengakibatkan perubahan mendasar dalam peta politik global.
Dalam praktiknya alasan politik sering kali mengalahkan fakta hukum terhadap berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu, ada banyak opsi yang ditawarkan oleh komunitas internasional untuk mengakui sebuah negara. Misalnya, apakah pengakuan tersebut untuk memberikan pengakuan secara penuh, kewenangan/otoritas efektif didalam sebuah negara yang berdaulat, atau otoritas bawahan dari negara lain.
Pengakuan adalah statemen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dalam hal ini negara atau organisasi internasional terhadap sebuah keabsahan dari sebuah kenyataan yang ada. Sekali pengakuan itu dibuat, maka akan berdampak pada hubungan antara subjek hukum yang mengakui dan yang diberikan pengakuan. Misalnya, pengakuan akan berdampak pada peran serta sebuah subjek hukum/negara dalam aktifitas internasional seperti membangun hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kontroversi Teori Konstitusi
Jika melihat persoalan mengakuan diatas yang lebih mengedepankan alasan politik sebuah negara untuk mengakui keberadaan negara lain, maka seharusnya keberadaan teori konstitusi harus mulai dipertanyakan. Hal ini disebabkan ada banyak persoalan yang ditimbulkan dengan adanya teori ini. Konsekuensi yang muncul bukan hanya semata mengenai kemampuan sebuah negara untuk mempunyai derajat yang sama dengan negara lain, melainkan juga berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional lainnya.
Teori konstitusi lebih menitikberatkan pada keinginan dari negara-negara lain untuk mengakui kedaulatan sebuah negara baru. Oleh karena itu, alasan politis negara-negara ini tentu bisa saja mengalahkan fakta hukum yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh sebuah negara untuk merdeka dan berdaulat. Persoalan lainnya adalah bagaimana jika ada sebagian negara mengakui kedaulatan sebuah negara baru sedangkan lainnya tidak? Apakah didalam hukum internasional mengakui personality secara setengah-setengah.
Kasus yang terkait dengan teori konstitusi adalah penjelasan wakil dari Amerika dalam sidang Dewan Keamanan PBB mengenai situasi Timur Tengah tahun 1948 yang menyatakan bahwa jelas tidak benar jika ada negara di dunia yang mempertanyakan kedaulatan Amerika terkait dengan tindakan Amerika yang selama ini telah dilakukan.
Seharusnya pada saat pengaruh politik internasional dan organisasi internasional semakin penting dalam membentuk hukum internasional, keberadaan teori deklarasi harus lebih dikedepankan. Toeri ini mengatur bahwa kedaulatan negara baru bukan didasarkan pada keinginan negara lain untuk memberikan pengakuan melainkan berdasarkan fakta hukum yang ada. Jika sebuah entitas tidak mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat, maka konsekuensinya adalah ia tidak mendapatkan hak dan kewajiban seperti yang telah ditentukan dalam hukum internasional. Oleh karena itu hal ini juga bisa berdampak pada warga negara yang hidup didalamnya.
Institute De Droit Internasional menegaskan dalam resolusinya tentang pengakuan negara baru dan pemerintahan di tahun 1936 bahwa keberadaan negara baru dengan segala akibat hukumnya yang terkait dengan keberadaannya tidak diakibatkan oleh adanya penolakan oleh negara untuk mengakuinya. Lauterpacht berpendapat bahwa ketika sebuah entitas baru sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara, maka seharusnya negara-negara harus mengakuinya karena ketiadaan otoritas sentral dalam hukum internasional.
Pendapat diatas berlawanan dengan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk mengakui negara baru. Amerika berpegang pada kenyataan sebuah negara yang (1) mampu mengontrol wilayahnya dan masyarakatnya secara efektif, (2) kemampuan pemerintahannya membangun hubungan diplomatik dengan negara lain dan memenuhi kewajiban hukum internasional, serta (3) apakah entitas tersebut bisa menarik negara-negara lain untuk mengakui keberadaannya. Pendapat Amerika ini lebih mengedepankan teori konstitusi dan pengakuan secara politis daripada mempertimbangan faktor-faktor hukum yang ada.
Sedangkan pemerintah Inggris menyatakan bahwa faktor lain yang harus dipunyai oleh sebuah entitas untuk bisa diakui sebagai sebuah negara adalah adanya dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan Komunitas Eropa dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1991 menyatakan bahwa faktor-faktor lain mengenai pengakuan adalah:
1. menghormati aturan yang ada didalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen mengenai aturan hukum dan demokrasi
2. menjamin hak-hak kelompok etnik dan nasional serta minoritas dan isu-isu hak asasi manusia lainya
3. menghormati batas-batas negara yang hanya bisa diubah dengan cara-cara yang damai dan berdasarkan perjanjian yang umum
4. penerimaan komitmen-komitmen yang relevan terkait dengan perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional
5. komitmen untuk menyelesaikan perjanjian, termasuk semua hal yang sesuai dengannya dengan cara penyelesaian arbitrase.
Berdasarkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, pengajuan secara de facto dan de jure bisa beraneka ragam. Secara umum bisa disimpulkan bahwa pengakuan adalah gabungan antara kesadaran negara dengan keinginannya untuk menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional.
Pengakuan De facto dan De Jure
Pengakuan De Facto menegaskan bahwa ada keraguan dari negara-negara mengenai kelangsungan entitas tersebut dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pengakuan De Jure diberikan oleh negara jika mereka yakin bahwa kemampuan untuk mengorganisasikan wilayah serta kemampuan internasional sebuah pemerintahan sudah permanen dan tidak ada alasan hukum lain untuk menghambat pengakuan tersebut.
Pengakuan de facto mengindikasikan keraguan dari negara lain karena pengakuan de facto pada umumnya akan diikuti dengan pengakuan de jure dari negara tersebut. Misalnya, Inggris mengakui keberadaan Negara Uni Soviet secar de facto pada tahun 1921 dan baru pada tahun 1924 mengakui secara de jure. Pengakuan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Inggris ketika dalam Perang Sipil di Spanyol tahun 1936-9 mengakui secara de jure pemerintahan Republik Spanyol namun di lain pihak juga mengakui secara de facto Jenderal Franco karena mampu menguasai sebagian besar wilayah tersebut.
Berdasarkan realitas diatas, maka pengakuan pada dasarnya diberikan atas dasar kepentingan politik negara yang memberikan pengakuan. Oleh karena itu negara-negara akan membedakan pemberian pengakuan. Namun pengakuan de facto tidak menyebabkan timbulnya dampak hukum internasional seperti adanya hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diberikan pengakuan
Disarikan dari Malcolm Shaw, 2005. International Law. Cambridge: Cambridge University Press. hal 367 - 382
Banyak pakar hukum internasional seperti Oppenheim, Lauterpacht, Charpertier, Dugard dan Smit berpendapat bahwa pada dasarnya masyarakat internasional tidak pernah berubah melainkan hanya menjadi subjek dari perubahan kehidupan politik. Negara-negara baru berdiri dan beberapa negara-negara lama hilang. Pemerintahan baru terbentuk didalam sebuah negara yang sah baik karena pemberontakan maupun dengan cara-cara yang damai.
Kemudian negara-negara lain mulai memutuskan pemerintahan mana yang harus diakui. Keputusan pengakuan suatu negara mempunyai konsekuensi-konsekuensi baik konsekuensi internasional maupun dampaknya terhadap hukum nasional. Oleh karena itu ada konsekuensi logis politis terhadap pengakuan sebuah negara. Banyak negara memutuskan untuk mengakui atau tidak mengakui keberadaan sebuah negara berdasarkan alasan-alasan politik daripada unsur hukum. Salah satu contohnya, Amerika dan negara-negara barat tidak mengakui Palestina sebagai entitas yang berdaulat bukan karena pemerintahannya tidak mampu mengontrol wilayahnya (Tepi Barat dan Jalur Gaza) melainkan karena mereka tidak ingin dampak hukum pengakuan tersebut berlaku yang pada akhirnya bisa mengakibatkan perubahan mendasar dalam peta politik global.
Dalam praktiknya alasan politik sering kali mengalahkan fakta hukum terhadap berdirinya sebuah negara. Oleh karena itu, ada banyak opsi yang ditawarkan oleh komunitas internasional untuk mengakui sebuah negara. Misalnya, apakah pengakuan tersebut untuk memberikan pengakuan secara penuh, kewenangan/otoritas efektif didalam sebuah negara yang berdaulat, atau otoritas bawahan dari negara lain.
Pengakuan adalah statemen yang dibuat oleh subjek hukum internasional yang dalam hal ini negara atau organisasi internasional terhadap sebuah keabsahan dari sebuah kenyataan yang ada. Sekali pengakuan itu dibuat, maka akan berdampak pada hubungan antara subjek hukum yang mengakui dan yang diberikan pengakuan. Misalnya, pengakuan akan berdampak pada peran serta sebuah subjek hukum/negara dalam aktifitas internasional seperti membangun hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kontroversi Teori Konstitusi
Jika melihat persoalan mengakuan diatas yang lebih mengedepankan alasan politik sebuah negara untuk mengakui keberadaan negara lain, maka seharusnya keberadaan teori konstitusi harus mulai dipertanyakan. Hal ini disebabkan ada banyak persoalan yang ditimbulkan dengan adanya teori ini. Konsekuensi yang muncul bukan hanya semata mengenai kemampuan sebuah negara untuk mempunyai derajat yang sama dengan negara lain, melainkan juga berdampak pada pelanggaran hak asasi manusia dan pelanggaran hukum internasional lainnya.
Teori konstitusi lebih menitikberatkan pada keinginan dari negara-negara lain untuk mengakui kedaulatan sebuah negara baru. Oleh karena itu, alasan politis negara-negara ini tentu bisa saja mengalahkan fakta hukum yang sebenarnya sudah dipenuhi oleh sebuah negara untuk merdeka dan berdaulat. Persoalan lainnya adalah bagaimana jika ada sebagian negara mengakui kedaulatan sebuah negara baru sedangkan lainnya tidak? Apakah didalam hukum internasional mengakui personality secara setengah-setengah.
Kasus yang terkait dengan teori konstitusi adalah penjelasan wakil dari Amerika dalam sidang Dewan Keamanan PBB mengenai situasi Timur Tengah tahun 1948 yang menyatakan bahwa jelas tidak benar jika ada negara di dunia yang mempertanyakan kedaulatan Amerika terkait dengan tindakan Amerika yang selama ini telah dilakukan.
Seharusnya pada saat pengaruh politik internasional dan organisasi internasional semakin penting dalam membentuk hukum internasional, keberadaan teori deklarasi harus lebih dikedepankan. Toeri ini mengatur bahwa kedaulatan negara baru bukan didasarkan pada keinginan negara lain untuk memberikan pengakuan melainkan berdasarkan fakta hukum yang ada. Jika sebuah entitas tidak mendapatkan pengakuan sebagai negara berdaulat, maka konsekuensinya adalah ia tidak mendapatkan hak dan kewajiban seperti yang telah ditentukan dalam hukum internasional. Oleh karena itu hal ini juga bisa berdampak pada warga negara yang hidup didalamnya.
Institute De Droit Internasional menegaskan dalam resolusinya tentang pengakuan negara baru dan pemerintahan di tahun 1936 bahwa keberadaan negara baru dengan segala akibat hukumnya yang terkait dengan keberadaannya tidak diakibatkan oleh adanya penolakan oleh negara untuk mengakuinya. Lauterpacht berpendapat bahwa ketika sebuah entitas baru sudah memenuhi persyaratan sebagai sebuah negara, maka seharusnya negara-negara harus mengakuinya karena ketiadaan otoritas sentral dalam hukum internasional.
Pendapat diatas berlawanan dengan Amerika Serikat yang menyatakan bahwa tidak ada kewajiban bagi negara untuk mengakui negara baru. Amerika berpegang pada kenyataan sebuah negara yang (1) mampu mengontrol wilayahnya dan masyarakatnya secara efektif, (2) kemampuan pemerintahannya membangun hubungan diplomatik dengan negara lain dan memenuhi kewajiban hukum internasional, serta (3) apakah entitas tersebut bisa menarik negara-negara lain untuk mengakui keberadaannya. Pendapat Amerika ini lebih mengedepankan teori konstitusi dan pengakuan secara politis daripada mempertimbangan faktor-faktor hukum yang ada.
Sedangkan pemerintah Inggris menyatakan bahwa faktor lain yang harus dipunyai oleh sebuah entitas untuk bisa diakui sebagai sebuah negara adalah adanya dukungan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Sedangkan Komunitas Eropa dalam putusannya tertanggal 16 Desember 1991 menyatakan bahwa faktor-faktor lain mengenai pengakuan adalah:
1. menghormati aturan yang ada didalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan komitmen mengenai aturan hukum dan demokrasi
2. menjamin hak-hak kelompok etnik dan nasional serta minoritas dan isu-isu hak asasi manusia lainya
3. menghormati batas-batas negara yang hanya bisa diubah dengan cara-cara yang damai dan berdasarkan perjanjian yang umum
4. penerimaan komitmen-komitmen yang relevan terkait dengan perlucutan senjata nuklir dan non proliferasi serta keamanan dan stabilitas regional
5. komitmen untuk menyelesaikan perjanjian, termasuk semua hal yang sesuai dengannya dengan cara penyelesaian arbitrase.
Berdasarkan perbedaan pendapat-pendapat tersebut diatas, pengajuan secara de facto dan de jure bisa beraneka ragam. Secara umum bisa disimpulkan bahwa pengakuan adalah gabungan antara kesadaran negara dengan keinginannya untuk menjalankan fungsinya sebagai subjek hukum internasional.
Pengakuan De facto dan De Jure
Pengakuan De Facto menegaskan bahwa ada keraguan dari negara-negara mengenai kelangsungan entitas tersebut dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan pengakuan De Jure diberikan oleh negara jika mereka yakin bahwa kemampuan untuk mengorganisasikan wilayah serta kemampuan internasional sebuah pemerintahan sudah permanen dan tidak ada alasan hukum lain untuk menghambat pengakuan tersebut.
Pengakuan de facto mengindikasikan keraguan dari negara lain karena pengakuan de facto pada umumnya akan diikuti dengan pengakuan de jure dari negara tersebut. Misalnya, Inggris mengakui keberadaan Negara Uni Soviet secar de facto pada tahun 1921 dan baru pada tahun 1924 mengakui secara de jure. Pengakuan yang sedikit berbeda dilakukan oleh Inggris ketika dalam Perang Sipil di Spanyol tahun 1936-9 mengakui secara de jure pemerintahan Republik Spanyol namun di lain pihak juga mengakui secara de facto Jenderal Franco karena mampu menguasai sebagian besar wilayah tersebut.
Berdasarkan realitas diatas, maka pengakuan pada dasarnya diberikan atas dasar kepentingan politik negara yang memberikan pengakuan. Oleh karena itu negara-negara akan membedakan pemberian pengakuan. Namun pengakuan de facto tidak menyebabkan timbulnya dampak hukum internasional seperti adanya hubungan diplomatik antara negara yang mengakui dan yang diberikan pengakuan
Disarikan dari Malcolm Shaw, 2005. International Law. Cambridge: Cambridge University Press. hal 367 - 382
Langganan:
Postingan (Atom)