Panduan Ujian Mahasiswa dan Sistem Penilaian (Berlaku Bagi Semua Mata Kuliah)
Ujian Paper/Essay:
Panduan penulisan
1. Tema bebas yang berkaitan dengan materi perkuliahan
2. Essay tidak perlu menuliskan rumusan masalah dan standar baku skripsi, melainkan tulisan lepas dengan mengedepankan kaidah tulisan akademik
3. Yang dimaksud dengan kaidah akademik adalah menyajikan sumber bacaan/referensi yang dipercaya, menggunakan kata baku Bahasa Indonesia, dan bukan berupa resume perkulihan atau saduran dari sebuah bacaan
4. Yang dimaksud dengan referensi yang dipercaya adalah buku, jurnal, opini atau berita di koran, majalah atau media massa cetak lainnya, bukan berasal dari Wikipedia, blog maupun facebook.
5. Panjang tulisan maksimal 5 lembar atau sekitar 1000 kata yang diakhiri dengan sebuah kesimpulan (satu paragraph)
6. Sistem referensi footnote menggunakan sistem referensi Harvard, yakni Nama Pengarang. Tahun Penerbitan. Judul Buku. Tempat Penerbitan: Penerbit. Hal.
Sistem Penilaian
1. Proporsi penilaian paling besar (50%) ada pada substansi dan kesesuaian tema dengan materi perkuliahan beserta penjelasannya.
2. Nilai untuk tingkat keterbacaan atau alur penjelasan tema (30%)
3. Nilai untuk reliabilitas sumber bacaan yang digunakan seperti buku, jurnal dll (20&)
Selamat mengerjakan..!!!
‘Ketika orang tua belum rela untuk mati dan orang-orang muda sangat kesulitan untuk lahir, maka saat itulah monster akan muncul…….’ ( Antonio Gramsy)
Rabu, 23 Maret 2011
Minggu, 13 Maret 2011
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DALAM UNI AFRIKA
MEKANISME PENYELESAIAN SENGKETA DIDALAM KERANGKA UNI AFRIKA
Malcolm Shaw, 2003. International Law, Edisi 5. Cambridge. hal 930-933
Uni Afrika didirikan pada tahun 1963. Pasal XIX Piagam Afrika mengandung prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai, yakni menekankan pentingnya negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Untuk menjalankan mekanisme tersebut, Uni Afrika membentuk sebuah komisi khusus arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi namun sayangnya komisi tersebut tidak mempunyai jurisdiksi absolut terhadap penyelesaian sengketa di negara-negara anggota. Salah satu sebabnya adalah negara-negara Afrika lebih suka memakai mekanisme penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditawarkan oleh Organisasi Uni Afrika.
Salah satu contohnya adalah penyelesaian perbatasan antara Maroko dan Algeria dimana Organisasi Uni Afrika mendirikan Komisi Ad Hoc yang berisi tujuh negara Afrika untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada tahun 1964 tersebut. Selain itu, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan Komisi Ad Hoc untuk menyelesaikan sengketa antara Somalia dengan Ethopia. Namun demikian Komisi tersebut gagal menyelesaikan konflik meskipun Komisi menegaskan prinsip non intervensi kedaulatan negara anggota.
Didalam konflik Sahara Barat, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan komite pada Juli 1978. Namun komite tersebut juga gagal menyelesaikan sengketa yang ada. Sedikit kesuksesan diperoleh ketika Organisasi Uni Afrika berusaha untuk menyelesaikan perang sipil di Chad. Berdasarkan penjelasan diatas, mekanisme penyelesaikan sengketa didalam kerangka Uni Afrika lebih menitik beratkan pada peran Organisasi Uni Afrika dengan mendirikan Komisi atau Komite Ad Hoc daripada menerapkan Piagam Afrika tentang mediasi, konsiliasi, arbitrase dan negosiasi.
Berdasarkan sejarah diatas, Organisasi Uni Afrika menerapkan mekanisme baru seperti mekanisme menjaga konflik, manajemen konflik, dan resolusi konflik pada tahun 1993. Mekanisme baru ini digunakan untuk mengantisipasi potensi konflik yang ada. Mekanisme tersebut terdiri dari dua badan utama; organ pusat dan divisi manajemen konflik. Organ pusat terdiri dari 16 negara yang dipilih setiap tahun, yang bertindak sebagai biro atau wakil dari masing-masing negara. Namun demikian, organ pusat ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa yang terjadi di beberapa negara di Afrika seperti Genosida Rwanda, Konlfik Burundi, dan Kongo.
Untuk mengimplimentasikan aturan yang ada didalam Piagam Afrika, Organisasi Uni Afrika membuat protokol pendukung mengenai pendirian Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika yang resmi didirikan pada tanggal 9 Juli 2002. Instrumen ini digunakan oleh Organisasi Uni Afrika untuk mendirikan Dewan Keamanan dan Perdamaian sebagai organ independen untuk menjaga, mengatur dan menyelesaikan konflik yang terjadi di negara-negara anggota. Dewan ini dalam kerjanya dibantu oleh Komisi Organisasi Uni Afrika. Salah satunya adalah dengan mengangkat lima pakar yang dipilih oleh ketua Komisi dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada semua negara anggota.
Kelima pakar tersebut bersama-sama dengan Dewan Keamanan Uni Afrika berhak melakukan pengawasan melalui pusat pengawasan dan observasi yang dikenal dengan ‘kamar situasi’ yang terletak di Direktorat Pusat Manajemen Konflik Uni Afrika. Tugas utama dari dewan ini (gabungan antara lima pakar dan dewan keamanan) adalah untuk menjaga dan menerapkan norma-norma yang ada didalam Piagam Afrika seperti penghormatan terhadap aturan hukum dan hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan integritas territorial dari semua negara anggota. Untuk menjaga independensi dewan, maka setiap anggota dipilih secara bergiliran berdasarkan prinsip persamaan perwakilan negara-negara.
Fungsi dari dewan ini termasuk juga menjalankan fungsi promosi perdamaian, keamanan dan stabilitas politik di kawasan Afrika. Sedangkan konsep peacemaking terdiri dari penggunaan mekanisme jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyidikan dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini sesuasi dengan Pasal 9 Protokol Piagam Afrika yang menyatakan bahwa dewan harus berinisiatif dan melakukan tindakan yang diperlukan berkaitan dengan situasi dan potensi konflik dan harus menggunakan kebijakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut baik secara intervensi kolektif dewan maupun melaui persetujuan ketua dewan, the panel of wise, atau melaui mekanisme kolaborasi regional.
Protokol Piagam Afrika berlaku efektif di negara anggota setelah mereka meratifikasi instrumen tersebut.
Malcolm Shaw, 2003. International Law, Edisi 5. Cambridge. hal 930-933
Uni Afrika didirikan pada tahun 1963. Pasal XIX Piagam Afrika mengandung prinsip penyelesaian sengketa internasional secara damai, yakni menekankan pentingnya negosiasi, mediasi, konsiliasi dan arbitrase. Untuk menjalankan mekanisme tersebut, Uni Afrika membentuk sebuah komisi khusus arbitrase, mediasi, negosiasi dan konsiliasi namun sayangnya komisi tersebut tidak mempunyai jurisdiksi absolut terhadap penyelesaian sengketa di negara-negara anggota. Salah satu sebabnya adalah negara-negara Afrika lebih suka memakai mekanisme penyelesaian sengketa melalui pihak ketiga yang ditawarkan oleh Organisasi Uni Afrika.
Salah satu contohnya adalah penyelesaian perbatasan antara Maroko dan Algeria dimana Organisasi Uni Afrika mendirikan Komisi Ad Hoc yang berisi tujuh negara Afrika untuk menyelesaikan sengketa yang terjadi pada tahun 1964 tersebut. Selain itu, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan Komisi Ad Hoc untuk menyelesaikan sengketa antara Somalia dengan Ethopia. Namun demikian Komisi tersebut gagal menyelesaikan konflik meskipun Komisi menegaskan prinsip non intervensi kedaulatan negara anggota.
Didalam konflik Sahara Barat, Organisasi Uni Afrika juga mendirikan komite pada Juli 1978. Namun komite tersebut juga gagal menyelesaikan sengketa yang ada. Sedikit kesuksesan diperoleh ketika Organisasi Uni Afrika berusaha untuk menyelesaikan perang sipil di Chad. Berdasarkan penjelasan diatas, mekanisme penyelesaikan sengketa didalam kerangka Uni Afrika lebih menitik beratkan pada peran Organisasi Uni Afrika dengan mendirikan Komisi atau Komite Ad Hoc daripada menerapkan Piagam Afrika tentang mediasi, konsiliasi, arbitrase dan negosiasi.
Berdasarkan sejarah diatas, Organisasi Uni Afrika menerapkan mekanisme baru seperti mekanisme menjaga konflik, manajemen konflik, dan resolusi konflik pada tahun 1993. Mekanisme baru ini digunakan untuk mengantisipasi potensi konflik yang ada. Mekanisme tersebut terdiri dari dua badan utama; organ pusat dan divisi manajemen konflik. Organ pusat terdiri dari 16 negara yang dipilih setiap tahun, yang bertindak sebagai biro atau wakil dari masing-masing negara. Namun demikian, organ pusat ini tidak berhasil menyelesaikan sengketa yang terjadi di beberapa negara di Afrika seperti Genosida Rwanda, Konlfik Burundi, dan Kongo.
Untuk mengimplimentasikan aturan yang ada didalam Piagam Afrika, Organisasi Uni Afrika membuat protokol pendukung mengenai pendirian Dewan Keamanan dan Perdamaian Uni Afrika yang resmi didirikan pada tanggal 9 Juli 2002. Instrumen ini digunakan oleh Organisasi Uni Afrika untuk mendirikan Dewan Keamanan dan Perdamaian sebagai organ independen untuk menjaga, mengatur dan menyelesaikan konflik yang terjadi di negara-negara anggota. Dewan ini dalam kerjanya dibantu oleh Komisi Organisasi Uni Afrika. Salah satunya adalah dengan mengangkat lima pakar yang dipilih oleh ketua Komisi dengan berkonsultasi terlebih dahulu kepada semua negara anggota.
Kelima pakar tersebut bersama-sama dengan Dewan Keamanan Uni Afrika berhak melakukan pengawasan melalui pusat pengawasan dan observasi yang dikenal dengan ‘kamar situasi’ yang terletak di Direktorat Pusat Manajemen Konflik Uni Afrika. Tugas utama dari dewan ini (gabungan antara lima pakar dan dewan keamanan) adalah untuk menjaga dan menerapkan norma-norma yang ada didalam Piagam Afrika seperti penghormatan terhadap aturan hukum dan hak asasi manusia, kedaulatan negara, dan integritas territorial dari semua negara anggota. Untuk menjaga independensi dewan, maka setiap anggota dipilih secara bergiliran berdasarkan prinsip persamaan perwakilan negara-negara.
Fungsi dari dewan ini termasuk juga menjalankan fungsi promosi perdamaian, keamanan dan stabilitas politik di kawasan Afrika. Sedangkan konsep peacemaking terdiri dari penggunaan mekanisme jasa-jasa baik, mediasi, konsiliasi, dan penyidikan dalam menyelesaikan sengketa. Hal ini sesuasi dengan Pasal 9 Protokol Piagam Afrika yang menyatakan bahwa dewan harus berinisiatif dan melakukan tindakan yang diperlukan berkaitan dengan situasi dan potensi konflik dan harus menggunakan kebijakan hukum untuk menyelesaikan permasalahan tersebut baik secara intervensi kolektif dewan maupun melaui persetujuan ketua dewan, the panel of wise, atau melaui mekanisme kolaborasi regional.
Protokol Piagam Afrika berlaku efektif di negara anggota setelah mereka meratifikasi instrumen tersebut.
Kamis, 03 Maret 2011
MENGGUGAT KONTRADICTIO INTERMINIS KONSTITUSI
Kekerasan terhadap kelompok-kelompok agama minoritas yang menyimpang dari kebiasaan umum masih akan terus terjadi. Saya yakin bahwa kasus penyerangan terhadap Ahmadiyah di Pandeglang Banten bukanlah merupakan kekerasan yang terakhir. Masih banyak potensi konflik horizontal di masyarakat yang bisa muncul terkait dengan perbedaan tafsir agama. Salah satu alasan utamanya adalah adanya ‘contradictio interminis,’ yakni pertentangan norma yang ada didalam Undang-Undang Dasar 1945.
Di satu sisi, UUD 1945 menjamin hak beragama secara penuh didalam Pasal 28E ayat (1) dan 29 ayat (1). Kedua aturan tersebut ditegaskan lagi dengan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Namun ternyata ada pasal lain didalam Konstitusi yang bertentangan dengan tiga pasal tersebut, yakni Pasal 28J ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada undang-undang termasuk pertimbangan nilai-nilai agama.
Nah, klausula ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ inilah yang menyebabkan terjadinya pembatasan hak dan kebebasan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari mainstream agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan tersebut selalu didominasi oleh kelompok mayoritas sehingga menyebabkan kelompok minoritas kehilangan suaranya. Artinya klausula tersebut juga menciptakan ketimpangan persamaan hak diantara pemeluk agama.
Sebagai konstitusi, tentu pertentangan yang ada didalam UUD 1945 ini bisa mengakibatkan efek domino konflik hukum di Indonesia. Sampai saat ini masih ada beberapa norma derivatif yang saling bertentangan seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP tentang ancaman penjara bagi penganjur agama ‘sesat’ termasuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah.
Jalan Tengah, No!
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan konflik terkait dengan eksistensi kelompok tersebut. Jalan tengah tersebut merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari adanya contradictio interminis Konstitusi. Artinya, keluarnya SKB tersebut adalah sah berdasarkan Pasal 28J ayat (2) Konstitusi meskipun pada dasarnya pelarangan terhadap syiar Ahmadiyah mengandung aturan yang diskriminatif karena hanya melarang penyebaran Ahmadiyah.
Atas dasar itulah SKB bersifat constitutionally unconstitutional. Menjadi unconstitutional karena SKB membatasi hak dan kebebasan warga negara untuk meyakini agamanya. Selain itu juga mengandung norma diskriminatif karena hanya melarang syiar Ahmadiyah sedangkan agama-agama lain justru semakin marak melakukan kontes syiar agama di berbagai ruang publik termasuk membanjiri syiar agama di berbagai media massa elektronik.
Sedangkan alasan SKB menjadi produk hukum yang constitutional karena ditetapkan berdasarkan aturan hukum yang ada, yakni Pasal 28J ayat 2. Memang SKB ditujukan untuk mengatur kehidupan beragama dan menjaga harmonisasi agama-agama di Indonesia. Negara juga mempunyai hak untuk membatasi manifestasi keagamaan atau hak dan kebebasan lainnya demi terciptanya ketertiban, keselamatan dan keamanan nasional.
Namun harus diingat bahwa yang menjadi subjek dalam usaha pemenuhan hak asasi manusia bukanlah nilai-nilai agama melainkan status manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pertimbangan pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan agama justru menjadi paradoksi penegakan hak asasi manusia karena pihak-pihak yang tidak mematuhi ‘etika’ berdasarkan agama mayoritas secara otomatis kehilangan hak dan kebebasannya. Lalu apa yang membedakan status penganut Ahmadiyah dengan penganut agama lainnya padahal mereka sama-sama manusia ciptaan Tuhan?
Ada lagi keputusan hukum yang constitutionally constitutional terkait kasus penodaan agama, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Undang-Undang tersebut digugat karena dianggap sebagai ‘biang kerok’ terhadap terjadinya kekerasan agama yang selama ini banyak terjadi. Namun ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) lebih suka mengacu kepada ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ untuk menolak judicial review tersebut sehingga mengakibatkan keputusan tersebut constitutional.
Namun MK lupa bahwa pemenuhan hak asasi manusia bukanlah berdasarkan nilai-nilai agama karena pertimbangan seperti ini hanya akan mengakibatkan perbuatan tirani kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam hal perlindungan hak beragama, yang menjadi subjek adalah kelompok minoritas karena kelompok inilah yang sering menjadi korban. Artinya, ketika masih ada klausula ‘pertimbangan nilai-nilai’ maka sejatinya kelompok minoritas telah kehilangan hak dan kebebasannya.
Jika demikian, lalu apa bedanya Indonesia dengan negara-negara otoriter lainnya yang sering mengekang hak dan kebebasan warga negaranya? Ironisnya, contradictio interminis didalam Konstitusi justru terjadi setelah era reformasi, yakni muncul di amandemen kedua. Artinya reformasi sebenarnya juga menyisakan persoalan yang sangat mungkin berdampak sangat panjang selama pasal tersebut tidak diamandemen.
Salah Kaprah
Memang semua negara mengenal pembatasan terhadap implementasi hak dan kebebasan setiap manusia. Misalnya Pengadilan Turki justru membubarkan Partai Refah, yakni partai pemenang Pemilu 1995 karena salah satu tujuannya adalah ingin mengganti Konstitusi Turki yang sekuler dengan Syariah Islam. Artinya ada bahaya yang mengancam keamanan negara Turki sehingga pembubaran Partai Refah adalah sah meskipun setiap orang Islam berhak untuk melaksanakan Syariah Islam sebagai salah satu manifestasi keagamaan mereka.
Pemerintahan Tony Blair juga melarang Partai hizbut Tahrir di Inggris karena salah satu tujuannya adalah ingin menerapkan Syariah Islam di semua negara. Namun pemeluk agama-agama di negara kerajaan tersebut masih bebas untuk menjalankan aktifitas keagamaan mereka selama tidak mengganggu ketertiban umum maupun membahayakan keamanan negara.
Yang terjadi di Indonesia adalah justru anti-thesis dari kedua contoh tersebut. Hal ini disebabkan konflik hukum yang ada didalam Konstitusi dan norma derivatif di Indonesia menyebabkan buramnya ketentuan mengenai siapa yang lebih berhak dinyatakan sebagai pihak yang hak dan kebebasannya dilanggar oleh pihak lain. Konsekuensinya, ada kelompok-kelompok yang tidak segan untuk mengganggu ketertiban umum atau mengintervensi hak orang lain untuk mengklaim hak dan kebebasan mereka.
Di sisi lain ada kelompok-kelompok yang tidak pernah membahayakan keamanan, keselamatan maupun mengganggu hak orang lain justru menjadi pesakitan yang harus disembuhkan. Jika menolak, mereka wajib diperangi atau bahkan ‘halal’ dibunuh. Ironisnya selama ini mayoritas masyarakat bahkan aparatur pemerintah tidak mempermasalahkan tindakan anarkhis mereka dan justru semakin memojokan para korban meskipun mereka sudah terbujur kaku menjadi mayat. Hal ini menyebabkan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas karena perilaku permisif masyarakat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.
Di satu sisi, UUD 1945 menjamin hak beragama secara penuh didalam Pasal 28E ayat (1) dan 29 ayat (1). Kedua aturan tersebut ditegaskan lagi dengan Pasal 28I ayat (1) yang menyatakan bahwa hak untuk meyakini suatu agama atau kepercayaan tidak bisa dikurangi dalam keadaan apapun. Namun ternyata ada pasal lain didalam Konstitusi yang bertentangan dengan tiga pasal tersebut, yakni Pasal 28J ayat 2. Pasal tersebut menyatakan bahwa untuk melaksanakan hak dan kebebasannya, setiap orang harus tunduk kepada undang-undang termasuk pertimbangan nilai-nilai agama.
Nah, klausula ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ inilah yang menyebabkan terjadinya pembatasan hak dan kebebasan kelompok-kelompok yang dianggap menyimpang dari mainstream agama pada umumnya. Hal ini dikarenakan pertimbangan tersebut selalu didominasi oleh kelompok mayoritas sehingga menyebabkan kelompok minoritas kehilangan suaranya. Artinya klausula tersebut juga menciptakan ketimpangan persamaan hak diantara pemeluk agama.
Sebagai konstitusi, tentu pertentangan yang ada didalam UUD 1945 ini bisa mengakibatkan efek domino konflik hukum di Indonesia. Sampai saat ini masih ada beberapa norma derivatif yang saling bertentangan seperti UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama, Pasal 156a KUHP tentang ancaman penjara bagi penganjur agama ‘sesat’ termasuk Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah.
Jalan Tengah, No!
Banyak pendapat yang menyatakan bahwa Surat Keputusan Bersama (SKB) Ahmadiyah merupakan jalan tengah untuk menyelesaikan konflik terkait dengan eksistensi kelompok tersebut. Jalan tengah tersebut merupakan salah satu produk yang dihasilkan dari adanya contradictio interminis Konstitusi. Artinya, keluarnya SKB tersebut adalah sah berdasarkan Pasal 28J ayat (2) Konstitusi meskipun pada dasarnya pelarangan terhadap syiar Ahmadiyah mengandung aturan yang diskriminatif karena hanya melarang penyebaran Ahmadiyah.
Atas dasar itulah SKB bersifat constitutionally unconstitutional. Menjadi unconstitutional karena SKB membatasi hak dan kebebasan warga negara untuk meyakini agamanya. Selain itu juga mengandung norma diskriminatif karena hanya melarang syiar Ahmadiyah sedangkan agama-agama lain justru semakin marak melakukan kontes syiar agama di berbagai ruang publik termasuk membanjiri syiar agama di berbagai media massa elektronik.
Sedangkan alasan SKB menjadi produk hukum yang constitutional karena ditetapkan berdasarkan aturan hukum yang ada, yakni Pasal 28J ayat 2. Memang SKB ditujukan untuk mengatur kehidupan beragama dan menjaga harmonisasi agama-agama di Indonesia. Negara juga mempunyai hak untuk membatasi manifestasi keagamaan atau hak dan kebebasan lainnya demi terciptanya ketertiban, keselamatan dan keamanan nasional.
Namun harus diingat bahwa yang menjadi subjek dalam usaha pemenuhan hak asasi manusia bukanlah nilai-nilai agama melainkan status manusia sebagai makhluk yang bermartabat. Pertimbangan pemenuhan hak asasi manusia berdasarkan agama justru menjadi paradoksi penegakan hak asasi manusia karena pihak-pihak yang tidak mematuhi ‘etika’ berdasarkan agama mayoritas secara otomatis kehilangan hak dan kebebasannya. Lalu apa yang membedakan status penganut Ahmadiyah dengan penganut agama lainnya padahal mereka sama-sama manusia ciptaan Tuhan?
Ada lagi keputusan hukum yang constitutionally constitutional terkait kasus penodaan agama, yakni keputusan Mahkamah Konstitusi yang menolak judicial review terhadap UU No. 1/PNPS/1965 tentang Penodaan Agama. Undang-Undang tersebut digugat karena dianggap sebagai ‘biang kerok’ terhadap terjadinya kekerasan agama yang selama ini banyak terjadi. Namun ternyata Mahkamah Konstitusi (MK) lebih suka mengacu kepada ‘pertimbangan nilai-nilai agama’ untuk menolak judicial review tersebut sehingga mengakibatkan keputusan tersebut constitutional.
Namun MK lupa bahwa pemenuhan hak asasi manusia bukanlah berdasarkan nilai-nilai agama karena pertimbangan seperti ini hanya akan mengakibatkan perbuatan tirani kelompok mayoritas terhadap minoritas. Dalam hal perlindungan hak beragama, yang menjadi subjek adalah kelompok minoritas karena kelompok inilah yang sering menjadi korban. Artinya, ketika masih ada klausula ‘pertimbangan nilai-nilai’ maka sejatinya kelompok minoritas telah kehilangan hak dan kebebasannya.
Jika demikian, lalu apa bedanya Indonesia dengan negara-negara otoriter lainnya yang sering mengekang hak dan kebebasan warga negaranya? Ironisnya, contradictio interminis didalam Konstitusi justru terjadi setelah era reformasi, yakni muncul di amandemen kedua. Artinya reformasi sebenarnya juga menyisakan persoalan yang sangat mungkin berdampak sangat panjang selama pasal tersebut tidak diamandemen.
Salah Kaprah
Memang semua negara mengenal pembatasan terhadap implementasi hak dan kebebasan setiap manusia. Misalnya Pengadilan Turki justru membubarkan Partai Refah, yakni partai pemenang Pemilu 1995 karena salah satu tujuannya adalah ingin mengganti Konstitusi Turki yang sekuler dengan Syariah Islam. Artinya ada bahaya yang mengancam keamanan negara Turki sehingga pembubaran Partai Refah adalah sah meskipun setiap orang Islam berhak untuk melaksanakan Syariah Islam sebagai salah satu manifestasi keagamaan mereka.
Pemerintahan Tony Blair juga melarang Partai hizbut Tahrir di Inggris karena salah satu tujuannya adalah ingin menerapkan Syariah Islam di semua negara. Namun pemeluk agama-agama di negara kerajaan tersebut masih bebas untuk menjalankan aktifitas keagamaan mereka selama tidak mengganggu ketertiban umum maupun membahayakan keamanan negara.
Yang terjadi di Indonesia adalah justru anti-thesis dari kedua contoh tersebut. Hal ini disebabkan konflik hukum yang ada didalam Konstitusi dan norma derivatif di Indonesia menyebabkan buramnya ketentuan mengenai siapa yang lebih berhak dinyatakan sebagai pihak yang hak dan kebebasannya dilanggar oleh pihak lain. Konsekuensinya, ada kelompok-kelompok yang tidak segan untuk mengganggu ketertiban umum atau mengintervensi hak orang lain untuk mengklaim hak dan kebebasan mereka.
Di sisi lain ada kelompok-kelompok yang tidak pernah membahayakan keamanan, keselamatan maupun mengganggu hak orang lain justru menjadi pesakitan yang harus disembuhkan. Jika menolak, mereka wajib diperangi atau bahkan ‘halal’ dibunuh. Ironisnya selama ini mayoritas masyarakat bahkan aparatur pemerintah tidak mempermasalahkan tindakan anarkhis mereka dan justru semakin memojokan para korban meskipun mereka sudah terbujur kaku menjadi mayat. Hal ini menyebabkan munculnya tirani mayoritas terhadap minoritas karena perilaku permisif masyarakat terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh kelompok mayoritas.
MENGURAI BENANG KUSUT HAK BERAGAMA DI INDONESIA
Kekerasan atas nama agama masih sering terjadi pasca reformasi dan cenderung semakin destruktif. Bahkan para penyerang seakan tidak takut lagi terhadap aparat keamanan dan mengesampingkan hukum yang berlaku. Salah satu caranya adalah dengan melakukan intimidasi secara berkelompok layaknya gangster. Mereka bergerak secara terorganisir karena jejaring sosial diantara para anggota sangat solid.
Tulisan ini berusaha mengingatkan kita pada sejarah perdebatan hak beragama sekaligus mengurai persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Dilema
Hak beragama merupakan hak yang paling kontroversial. Silang pendapat berbagai pihak mengenai hak tersebut sudah terjadi semenjak diundangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Persoalan tidak hanya terjadi di negara-negara Islam melainkan juga melibatkan lain seperti Uni Soviet dan China. Artinya, persoalan hak beragama selalu bersinggungan dengan tafsir agama, ideologi atau budaya di negara-negara. Persoalan mengenai hak beragama semakin rumit karena sampai sekarang wacana tenang unviersalisme dan relativisme hak asasi manusia masih menjadi perdebatan.
Para penganjur relativisme hak asasi manusia berpendapat bahwa aturan mengenai moralitas berbeda-beda sehingga mengakibatkan hilangnya validitas universalisme hak asasi manusia. Universalisme hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan khususnya jika bersinggungan dengan intisari dari sebuah budaya. Amartya Sen mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan manifestasi dari etika yang berkembang di sebuah masyarakat. Artinya, hak asasi manusia akan mudah diimplementasikan di sebuah negara jika normanya berkaitan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Konsep relativisme ini menjaga ‘kedaulatan budaya’ dimana setiap budaya mempunyai jurisdiksi yang tidak boleh mengintervensi antara satu dengan lainnya.
Sebaliknya, para penganjur universalisme seperti Martha Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia tidak dapat dinegosiasikan untuk melindungi standar universal dalam mengimplementasikan hak asasi manusia di negara-negara. Ketiadaan standar universal bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seseorang khususnya kelompok-kelompok yang lemah secara hukum dan politik. Oleh karena itu konsep universalisme hak asasi manusia membungkam budaya atau agama yang sebenarnya telah mempunyai pemahaman tentang sebuah nilai termasuk hak beragama.
Di Indonesia, dua konsep tersebut telah memecah masyarakat menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah yang sangat ekstrem menolak konsep universalisme hak asasi manusia termasuk hak beragama. Mereka sangat represif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara keyakinan dan seringkali menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Kelompok konservatif ini sangat ekslusif sehingga menolak semua perubahan yang dianggap bukan berasal dari tradisi atau budaya mereka. Meskipun kelompok ini di Indonesia masih sedikit, namun sepak terjangnya sering berdampak besar karena memang ditujukan untuk menunjukan eksistensi mereka kepada masyarakat.
Kelompok kedua adalah yang menerima universalisme hak asasi manusia selama hak tersebut tidak mengganggu inti dari keyakinan mereka. Pada dasarnya kelompok ini tidak mau terlibat dalam aksi kekerasan meskipun mereka menolak hak dan kebebasan yang dianggap membahayakan keyakinan mereka. Jika terjadi kekerasan, ‘kelompok tengah’ ini lebih suka menawarkan pemecahan masalah tanpa kekerasan namun substansi dari tawaran tersebut tetap mengurangi hak dan kebebasan kelompok lain.
Kelompok ketiga adalah mereka yang bisa menerima perbedaan dalam bentuk apapun karena meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Namun ironisnya sebagian besar dari kelompok liberal ini cenderung permisif terhadap terjadinya pelanggaran sehingga suara mereka jarang didengar oleh pemerintah. Sedangkan sebagian kecil lainnya justru sangat aktif menyuarakan universalisme. Agresifitas kelompok liberal ini juga menjadi salah satu alasan munculnya revivalisme kelompok pertama yang merasa kemapanannya mulai terjajah.
Menegakan Hukum
Persoalan mengenai hak beragama di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan perdebatan sudah terjadi sesaat setelah Indonesia merdeka terkait Piagam jakarta. Yang menjadi ironi adalah perdebatan tempo dulu jarang tidak berujung pada aksi kekerasan.
Perdebatan juga terjadi di era Orde Baru ketika Presiden Soeharto menawarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Kelompok Islam Konservatif menanggap bahwa UU tersebut telah mereduksi Hukum Islam karena ketentuan batas minimal untuk menikah adalah umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Artinya, ketentuan itu bertentangan dengan hukum Islam karena batas minimal menikah adalah ketika seorang Muslim sudah akil balig, yakni sekitar umur 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun.
Penolakan juga didasarkan pada aturan mengenai tata cara perceraian karena perceraian ditentukan oleh pengadilan, bukan berdasarkan ketentuan ‘talak’ yang ada didalam Islam. Toh UU yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan anggota DPR itu bisa diundangkan karena ketegasan rejim Orde Baru.
Kini tidak ada yang mempermasalahkan UU Perkawinan made in Orde Baru tersebut yang sudah merubah beberapa ketentuan didalam Hukum Islam. Bahkan saya yakin kelompok konservatif yang akhir-akhir ini sering melakukan kekerasan juga tidak menolak UU tersebut. Namun kenapa justru mereka sangat defensif membela keyakinan versi mereka sampai harus membunuh orang yang berbeda keyakinan?
Salah satu sebabnya karena kelompok tengah yang sebagian besar berasal dari kaum intelektual tidak berani mengambil peran sebagai mediator diakar rumput. Meskipun berbagai kegiatan pluralisme dan kerukunan antar umat beragama sering diadakan, namun penyebaran idenya tidak sampai ke arus bawah. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap sebuah nilai yang kontroversial sangat lambat.
Semoga kita tidak perlu memunculkan Orde Baru versi abad 21 atau menunggu empat dekade untuk menerima hak beragama yang seharusnya bisa dimiliki oleh semua warga negara tanpa diskriminasi. Kita tidak harus mengganti atau mengurangi keyakinan kita untuk mengakui perbedaan. Justru memberikan sedikit ruang pemahaman yang berbeda bagi kelompok lain bisa menambah keimanan kita terhadap sebuah agama.
Tulisan ini berusaha mengingatkan kita pada sejarah perdebatan hak beragama sekaligus mengurai persoalan kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Dilema
Hak beragama merupakan hak yang paling kontroversial. Silang pendapat berbagai pihak mengenai hak tersebut sudah terjadi semenjak diundangkannya Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Persoalan tidak hanya terjadi di negara-negara Islam melainkan juga melibatkan lain seperti Uni Soviet dan China. Artinya, persoalan hak beragama selalu bersinggungan dengan tafsir agama, ideologi atau budaya di negara-negara. Persoalan mengenai hak beragama semakin rumit karena sampai sekarang wacana tenang unviersalisme dan relativisme hak asasi manusia masih menjadi perdebatan.
Para penganjur relativisme hak asasi manusia berpendapat bahwa aturan mengenai moralitas berbeda-beda sehingga mengakibatkan hilangnya validitas universalisme hak asasi manusia. Universalisme hak asasi manusia tidak bisa dipaksakan khususnya jika bersinggungan dengan intisari dari sebuah budaya. Amartya Sen mengatakan bahwa hak asasi manusia merupakan manifestasi dari etika yang berkembang di sebuah masyarakat. Artinya, hak asasi manusia akan mudah diimplementasikan di sebuah negara jika normanya berkaitan dengan tradisi yang berkembang di masyarakat tersebut. Konsep relativisme ini menjaga ‘kedaulatan budaya’ dimana setiap budaya mempunyai jurisdiksi yang tidak boleh mengintervensi antara satu dengan lainnya.
Sebaliknya, para penganjur universalisme seperti Martha Nussbaum berpendapat bahwa hak asasi manusia tidak dapat dinegosiasikan untuk melindungi standar universal dalam mengimplementasikan hak asasi manusia di negara-negara. Ketiadaan standar universal bisa mengakibatkan terjadinya pelanggaran terhadap hak dan kebebasan seseorang khususnya kelompok-kelompok yang lemah secara hukum dan politik. Oleh karena itu konsep universalisme hak asasi manusia membungkam budaya atau agama yang sebenarnya telah mempunyai pemahaman tentang sebuah nilai termasuk hak beragama.
Di Indonesia, dua konsep tersebut telah memecah masyarakat menjadi tiga kelompok. Kelompok pertama adalah yang sangat ekstrem menolak konsep universalisme hak asasi manusia termasuk hak beragama. Mereka sangat represif terhadap kelompok-kelompok yang berbeda secara keyakinan dan seringkali menggunakan kekerasan untuk memaksakan kehendaknya. Kelompok konservatif ini sangat ekslusif sehingga menolak semua perubahan yang dianggap bukan berasal dari tradisi atau budaya mereka. Meskipun kelompok ini di Indonesia masih sedikit, namun sepak terjangnya sering berdampak besar karena memang ditujukan untuk menunjukan eksistensi mereka kepada masyarakat.
Kelompok kedua adalah yang menerima universalisme hak asasi manusia selama hak tersebut tidak mengganggu inti dari keyakinan mereka. Pada dasarnya kelompok ini tidak mau terlibat dalam aksi kekerasan meskipun mereka menolak hak dan kebebasan yang dianggap membahayakan keyakinan mereka. Jika terjadi kekerasan, ‘kelompok tengah’ ini lebih suka menawarkan pemecahan masalah tanpa kekerasan namun substansi dari tawaran tersebut tetap mengurangi hak dan kebebasan kelompok lain.
Kelompok ketiga adalah mereka yang bisa menerima perbedaan dalam bentuk apapun karena meyakini bahwa setiap manusia mempunyai hak yang sama. Namun ironisnya sebagian besar dari kelompok liberal ini cenderung permisif terhadap terjadinya pelanggaran sehingga suara mereka jarang didengar oleh pemerintah. Sedangkan sebagian kecil lainnya justru sangat aktif menyuarakan universalisme. Agresifitas kelompok liberal ini juga menjadi salah satu alasan munculnya revivalisme kelompok pertama yang merasa kemapanannya mulai terjajah.
Menegakan Hukum
Persoalan mengenai hak beragama di Indonesia sebenarnya sudah ada sejak lama. Bahkan perdebatan sudah terjadi sesaat setelah Indonesia merdeka terkait Piagam jakarta. Yang menjadi ironi adalah perdebatan tempo dulu jarang tidak berujung pada aksi kekerasan.
Perdebatan juga terjadi di era Orde Baru ketika Presiden Soeharto menawarkan UU No. 1/1974 tentang Perkawinan. Kelompok Islam Konservatif menanggap bahwa UU tersebut telah mereduksi Hukum Islam karena ketentuan batas minimal untuk menikah adalah umur 19 tahun untuk laki-laki dan 16 tahun untuk perempuan. Artinya, ketentuan itu bertentangan dengan hukum Islam karena batas minimal menikah adalah ketika seorang Muslim sudah akil balig, yakni sekitar umur 12 tahun untuk laki-laki dan 9 tahun.
Penolakan juga didasarkan pada aturan mengenai tata cara perceraian karena perceraian ditentukan oleh pengadilan, bukan berdasarkan ketentuan ‘talak’ yang ada didalam Islam. Toh UU yang ditolak oleh sebagian besar masyarakat dan anggota DPR itu bisa diundangkan karena ketegasan rejim Orde Baru.
Kini tidak ada yang mempermasalahkan UU Perkawinan made in Orde Baru tersebut yang sudah merubah beberapa ketentuan didalam Hukum Islam. Bahkan saya yakin kelompok konservatif yang akhir-akhir ini sering melakukan kekerasan juga tidak menolak UU tersebut. Namun kenapa justru mereka sangat defensif membela keyakinan versi mereka sampai harus membunuh orang yang berbeda keyakinan?
Salah satu sebabnya karena kelompok tengah yang sebagian besar berasal dari kaum intelektual tidak berani mengambil peran sebagai mediator diakar rumput. Meskipun berbagai kegiatan pluralisme dan kerukunan antar umat beragama sering diadakan, namun penyebaran idenya tidak sampai ke arus bawah. Sehingga penerimaan masyarakat terhadap sebuah nilai yang kontroversial sangat lambat.
Semoga kita tidak perlu memunculkan Orde Baru versi abad 21 atau menunggu empat dekade untuk menerima hak beragama yang seharusnya bisa dimiliki oleh semua warga negara tanpa diskriminasi. Kita tidak harus mengganti atau mengurangi keyakinan kita untuk mengakui perbedaan. Justru memberikan sedikit ruang pemahaman yang berbeda bagi kelompok lain bisa menambah keimanan kita terhadap sebuah agama.
Memahami Sistem Kenegaraan China
CHINA
Pada awalnya China merupakan negara feodal. Namun tradisi tersebut semakin berkurang setelah tahun 1840 dimana China menjadi negara yang semi feodal. Feodalisme China semakin terkikis setelah Dr. Sun Yat Sen melakukan revolusi China untuk mengganti China sebagai negara republik pada tahun 1911 meskipun rakyat China masih mempraktikan imperialisme dan feodalisme.
Akhirnya imperialisme dan feodalisme hanya menjadi catatan sejarah China ketika Mao Zedong sebagai pemimpin Partai Komunis China melakukan revolusi untuk membersihkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme pada tahun 1949. Eksploitasi manusia yang sering terjadi di China sebelum Mao telah dihilangkan dan diganti dengan sistem sosialis yang menempatkan kaum pekerja dan masyarakat bawah sebagai subjek pembangunan China. Sampai saat ini tujuan dari pemerintah China adalah meningkatkan institusi yang berbasis paham sosialis, menggabungkan demokrasi dengan sosialisme, meningkatkan sistem hukum sosialis termasuk memodernkan sistem perekonomian.
Sampai saat ini China menganut sistem demokrasi sosialis dan sistem hukum sosialis yakni perpaduan antara ideologi sosialis dan demokrasi sebagai bagian dari upaya mengembangkan atau memodernkan Sosialisme di China. Artinya, China tidak menutup diri dari perubahan. Oleh karena itu sistem ekonomi di Negara Tirai Bambu tersebut merupakan perpaduan antara Sosialisme dan Kapitalisme untuk memodernkan industri, pertanian, pertahanan nasional, ilmu dan teknologi.
Untuk membentuk sosialisme yang kuat, China menekankan pentingnya bergantung pada kelas pekerja, masyarakat umum dan kaum intelektual. Kelas pekerja merepresentasikan adanya persamaan hak dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Sedangkan kaum intelektual berusaha untuk mengadopsi nilai-nilai dari luar tanpa harus menghilangkan identitas sosialisme China.
Ideologi Sosialisme China diatur dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi China yang menyatakan bahwa Negara China adalah Negara Sosialis dibawah naungan sistem demokrasi yang dipimpin oleh para kelas pekerja dan aliansi para kelas pekerja dan masyarakat bawah. Ayat 2 lebih jauh menegaskan bahwa semua usaha yang membahayakan Sosialisme China tidak diperbolehkan.
Warga negara China bisa menyalurkan hak politik mereka melalui organ-organ negara seperti kongres nasional rakyat China atau kongres yang bersifat lokal (pasal 2 ayat 1). Pasal 3 ayat 2 mengatur bahwa para anggota yang menjadi peserta kongres dipilih melalui ekanisme pemilihan umum. Kedua macam kongres tersebut digunakan oleh warga negara China untuk menentukan prinsip sentralisme demokrasi. Beberapa tugasnya adalah menciptakan lembaga administratif dan hukum dimana mereka harus bertanggungjawab terhadap rakyat.
Pasal 3 ayat 4 Konstitusi China menerapkan konsep desentralisasi dimana pembagian fungsi kekuasaan antara lembaga negara pusat dan daerah diatur melalui prinsip pembagian kekuasaan yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara daerah untuk mengatur kekuasaan lokal dibawah naungan kekuasaan pusat.
Salah satu ciri khas Sosialisme China adalah sistem ekonomi berdasarkan paham sosialisme dimana produksi dikuasai secara penuh oleh kelas pekerja dan warga negara dimana pemerintah hanya bertugas melakukan konsolidasi terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Pasal 10 Konstitusi mengenai kepemilikan lahan mengatur bahwa tanah-tanah yang ada di kota dikuasai oleh negara. Sedangkan lahan-lahan pertanian di desa dan daerah sub urban dikuasai secara bersama-sama. Namun negara bisa mengambil alih lahan untuk kepentingan umum berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Perusahaan atau lembaga non pemerintah tidak bisa membeli tanah kecuali dengan alasan yang rasional.
Namun pasal 11 juga mengatur bahwa negara melindungi sektor ekonomi swasta dengan cara mengatur, membantu, dan mengawasi kegiatan ekonomi tersebut dengan cara melakukan kontrol administratif. Sektor ekonomi swasta merupakan komplementer dari sistem ekonomi sosialis China. Namun kegiatan ekonomi tersebut sangat terbatas dan negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan tersebut secara ketat. Ketentuan ini untuk menjaga sistem sosialis yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menguasai kepemilikan lahan.
Pasal 24 ayat 2 Konstitusi China secara jelas menyatakan bahwa negara melarang semua bentuk kapitalisme, feudalisme, dan semua ideologi yang menyamainya. Salah satu caranya adalah negara mendukung adanya kecintaan warga negara terhadap tanah air, rakyat, buruh, ilmu, sosialisme dan juga mengajarkan rakyat akan pentingnya semangat patriotisme, colektifisme, internasionalisme dan komunisme dalam kerangka dialektika dan sejarah materialisme.
Pada awalnya China merupakan negara feodal. Namun tradisi tersebut semakin berkurang setelah tahun 1840 dimana China menjadi negara yang semi feodal. Feodalisme China semakin terkikis setelah Dr. Sun Yat Sen melakukan revolusi China untuk mengganti China sebagai negara republik pada tahun 1911 meskipun rakyat China masih mempraktikan imperialisme dan feodalisme.
Akhirnya imperialisme dan feodalisme hanya menjadi catatan sejarah China ketika Mao Zedong sebagai pemimpin Partai Komunis China melakukan revolusi untuk membersihkan sisa-sisa feodalisme dan imperialisme pada tahun 1949. Eksploitasi manusia yang sering terjadi di China sebelum Mao telah dihilangkan dan diganti dengan sistem sosialis yang menempatkan kaum pekerja dan masyarakat bawah sebagai subjek pembangunan China. Sampai saat ini tujuan dari pemerintah China adalah meningkatkan institusi yang berbasis paham sosialis, menggabungkan demokrasi dengan sosialisme, meningkatkan sistem hukum sosialis termasuk memodernkan sistem perekonomian.
Sampai saat ini China menganut sistem demokrasi sosialis dan sistem hukum sosialis yakni perpaduan antara ideologi sosialis dan demokrasi sebagai bagian dari upaya mengembangkan atau memodernkan Sosialisme di China. Artinya, China tidak menutup diri dari perubahan. Oleh karena itu sistem ekonomi di Negara Tirai Bambu tersebut merupakan perpaduan antara Sosialisme dan Kapitalisme untuk memodernkan industri, pertanian, pertahanan nasional, ilmu dan teknologi.
Untuk membentuk sosialisme yang kuat, China menekankan pentingnya bergantung pada kelas pekerja, masyarakat umum dan kaum intelektual. Kelas pekerja merepresentasikan adanya persamaan hak dan menciptakan hubungan yang saling menguntungkan. Sedangkan kaum intelektual berusaha untuk mengadopsi nilai-nilai dari luar tanpa harus menghilangkan identitas sosialisme China.
Ideologi Sosialisme China diatur dalam pasal 1 ayat (1) Konstitusi China yang menyatakan bahwa Negara China adalah Negara Sosialis dibawah naungan sistem demokrasi yang dipimpin oleh para kelas pekerja dan aliansi para kelas pekerja dan masyarakat bawah. Ayat 2 lebih jauh menegaskan bahwa semua usaha yang membahayakan Sosialisme China tidak diperbolehkan.
Warga negara China bisa menyalurkan hak politik mereka melalui organ-organ negara seperti kongres nasional rakyat China atau kongres yang bersifat lokal (pasal 2 ayat 1). Pasal 3 ayat 2 mengatur bahwa para anggota yang menjadi peserta kongres dipilih melalui ekanisme pemilihan umum. Kedua macam kongres tersebut digunakan oleh warga negara China untuk menentukan prinsip sentralisme demokrasi. Beberapa tugasnya adalah menciptakan lembaga administratif dan hukum dimana mereka harus bertanggungjawab terhadap rakyat.
Pasal 3 ayat 4 Konstitusi China menerapkan konsep desentralisasi dimana pembagian fungsi kekuasaan antara lembaga negara pusat dan daerah diatur melalui prinsip pembagian kekuasaan yang memberikan kewenangan kepada lembaga negara daerah untuk mengatur kekuasaan lokal dibawah naungan kekuasaan pusat.
Salah satu ciri khas Sosialisme China adalah sistem ekonomi berdasarkan paham sosialisme dimana produksi dikuasai secara penuh oleh kelas pekerja dan warga negara dimana pemerintah hanya bertugas melakukan konsolidasi terhadap pembangunan ekonomi nasional.
Pasal 10 Konstitusi mengenai kepemilikan lahan mengatur bahwa tanah-tanah yang ada di kota dikuasai oleh negara. Sedangkan lahan-lahan pertanian di desa dan daerah sub urban dikuasai secara bersama-sama. Namun negara bisa mengambil alih lahan untuk kepentingan umum berdasarkan aturan hukum yang berlaku. Perusahaan atau lembaga non pemerintah tidak bisa membeli tanah kecuali dengan alasan yang rasional.
Namun pasal 11 juga mengatur bahwa negara melindungi sektor ekonomi swasta dengan cara mengatur, membantu, dan mengawasi kegiatan ekonomi tersebut dengan cara melakukan kontrol administratif. Sektor ekonomi swasta merupakan komplementer dari sistem ekonomi sosialis China. Namun kegiatan ekonomi tersebut sangat terbatas dan negara mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengawasi kegiatan tersebut secara ketat. Ketentuan ini untuk menjaga sistem sosialis yang memberikan kewenangan kepada pemerintah untuk menguasai kepemilikan lahan.
Pasal 24 ayat 2 Konstitusi China secara jelas menyatakan bahwa negara melarang semua bentuk kapitalisme, feudalisme, dan semua ideologi yang menyamainya. Salah satu caranya adalah negara mendukung adanya kecintaan warga negara terhadap tanah air, rakyat, buruh, ilmu, sosialisme dan juga mengajarkan rakyat akan pentingnya semangat patriotisme, colektifisme, internasionalisme dan komunisme dalam kerangka dialektika dan sejarah materialisme.
Dear students,
tulisan ini hanya diperuntukan bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Hukum Diplomatik Konsuler. Silahkan dibaca dan diperhatikan tata cara presentasi dan sistem penilaian. kegagalan dalam memahami atau mengikuti tata cara ini kemungkinan bisa menyebabkan mahasiswa mendapatkan nilai yang 'kurang memuaskan.'
Presentasi Diplomatik Konsuler
Kelompok I
Menguraikan kasus larangan terbang ddi wilayah udara Libya oleh NATO
Kelompok II
Menjelaskan peran dan fungsi Duta Besar Indonesia dalam kasus Negosiasi Indonesia ke FIFA mengenai Kasus PSSI
Kelompok III
Menguraikan Kasus Penyelesaikan Kasus David, seorang mahasiswa Indonesia yang tewas di Singapura
Kelompok IV
Menjelaskan Proposal Perjanjian Ekstradisi antara Singapura dan Indonesia
Kelompok V
Menjelaskan Kasus Perlindungan Hukum dari Kedutaan Indonesia terhadap TKI di Malaysia dan Saudi Arabia
Kelompok VI
Menjelaskan fungsi dan Peran Duta Besar Negara-Negara ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di kawasan Asia Tenggara
Kelompok VII
Memilih salah satu kasus yang terkait dengan peran dan fungsi Duta Besar
Tata cara presentasi, penulisan dan penilaian
1. Masing-masing anggota kelompok menjelaskan isi dari naskah yang dipresentasikan
2. Panjang makalah maksimal 7 halaman
3. Naskah ditulis dengan time new roman 12, spasi 1.5, rata kanan kiri, page setup 3 kiri, 3 kanan, 4 atas, dan 3 bawah
4. Tulisan tidak boleh mengandung unsur plagiarisme
5. Menggunakan sistem referensi footnote
6. penilaian didasarkan pada keaktifan mahasiswa dalam presentasi dan tanya jawab
Selamat bekerja
tulisan ini hanya diperuntukan bagi mahasiswa yang menempuh mata kuliah Hukum Diplomatik Konsuler. Silahkan dibaca dan diperhatikan tata cara presentasi dan sistem penilaian. kegagalan dalam memahami atau mengikuti tata cara ini kemungkinan bisa menyebabkan mahasiswa mendapatkan nilai yang 'kurang memuaskan.'
Presentasi Diplomatik Konsuler
Kelompok I
Menguraikan kasus larangan terbang ddi wilayah udara Libya oleh NATO
Kelompok II
Menjelaskan peran dan fungsi Duta Besar Indonesia dalam kasus Negosiasi Indonesia ke FIFA mengenai Kasus PSSI
Kelompok III
Menguraikan Kasus Penyelesaikan Kasus David, seorang mahasiswa Indonesia yang tewas di Singapura
Kelompok IV
Menjelaskan Proposal Perjanjian Ekstradisi antara Singapura dan Indonesia
Kelompok V
Menjelaskan Kasus Perlindungan Hukum dari Kedutaan Indonesia terhadap TKI di Malaysia dan Saudi Arabia
Kelompok VI
Menjelaskan fungsi dan Peran Duta Besar Negara-Negara ASEAN dalam menyelesaikan sengketa di kawasan Asia Tenggara
Kelompok VII
Memilih salah satu kasus yang terkait dengan peran dan fungsi Duta Besar
Tata cara presentasi, penulisan dan penilaian
1. Masing-masing anggota kelompok menjelaskan isi dari naskah yang dipresentasikan
2. Panjang makalah maksimal 7 halaman
3. Naskah ditulis dengan time new roman 12, spasi 1.5, rata kanan kiri, page setup 3 kiri, 3 kanan, 4 atas, dan 3 bawah
4. Tulisan tidak boleh mengandung unsur plagiarisme
5. Menggunakan sistem referensi footnote
6. penilaian didasarkan pada keaktifan mahasiswa dalam presentasi dan tanya jawab
Selamat bekerja
Langganan:
Postingan (Atom)