Persinggungan
antara hak asasi manusia dan ajaran agama, utamanya yang berkaitan dengan hak
perempuan selalu menarik untuk dikaji. Salah satunya adalah isu poligami.
Disatu sisi, poligami merupakan sebuah pelanggaran terhadap hak perempuan
karena mengijinkan laki-laki untuk menikah lebih dari satu istri dan sebaliknya
mewajibkan perempuan untuk mempraktikan perkawinan monogami. Namun disisi lain,
praktik tersebut dianggap sebagai hak yang sah bagi laki-laki karena ada ajaran
agama yang mengaturnya.
Persoalan diatas menunjukan bahwa ada dua norma yang saling
bertentangan. Pertama, prinsip dasar hak asasi manusia yang melindungi
kesetaraan gender bagi perempuan. Kedua, manifestasi keagamaan sebagai salah
satu hak kebebasan beragama yang mendiskriminasi persamaan hak tersebut.
Pertentangan tersebut semakin serius ketika ada kekhawatiran bahwa konsep
kesetaraan gender yang berusaha menghilangkan poligami dinilai bisa merusak
nilai agama atau ‘anti’ terhadap agama tersebut.
Di Indonesia, poligami dilegalkan melalui UU
Perkawinan No. 1/1974. Artinya, persoalan poligami di Indonesia tidak terbatas
pada manifestasi keagamaan saja melainkan juga legalnya praktik diskriminatif
tersebut berdasarkan hukum positif. Adanya manifestasi keagamaan diskriminatif
(poligami) yang dilegalkan oleh peraturan hukum bisa mengakibatkan terjadinya
pelanggaran yang tersistematis karena praktik diskriminatif tersebut dilindungi
oleh undang-undang.
Sangat disayangkan jika praktik poligami masih diterapkan di
Indonesia. Padahal pemerintah telah meratifikasi beberapa instrumen
internasional yang melindungi hak-hak kaum hawa tersebut. Pengakuan terhadap
kesetaraan gender juga diatur secara komprehensif didalam UUD 1945 (amandemen)
dan UU HAM No. 39/1999. Tentu pengakuan dan praktik poligami tersebut merupakan
sebuah noda yang harus dibersihkan jika Indonesia ingin menjadi negara yang
demokratis. Sesungguhnya salah satu prinsip dasar sistem demokrasi adalah
pengakuan terhadap persamaan hak bagi semua manusia.
Anomali Poligami
Harus diakui bahwa sebenarnya pengakuan dan
perlindungan terhadap hak asasi manusia di Indonesia mengalami kemajuan yang
sangat pesat pasca jatuhnya rejim orde baru. Namun kenyataannya negara dan
mayoritas elemen masyarakat justru memilih untuk ‘permisif’ terhadap praktik
poligami yang secara nyata telah mendiskriminasi kaum hawa tersebut. Hak mereka
terpinggirkan oleh hiruk pikuk semangat demokrasi dan dikesampingkan oleh
urgensi pembangunan ekonomi.
Semangat demokrasi dan reformasi memang telah berhasil
memporakporandakan sistem totaliter orde baru. Namun kenyataannya justru
kehilangan taring untuk menggugat terjadinya diskriminasi terhadap hak dan
kebebasan perempuan tersebut. Sampai saat ini, euphoria reformasi hukum yang
giat mengamandemen peraturan yang dianggap tidak reformis dan demokratis justru
impoten untuk menghapus poligami seperti yang diatur didalam UU No. 1/1974.
Sebagian besar elemen masyarakat juga ‘diam’ karena sebagian dari mereka merasa
diuntungkan dengan praktik poligami.
Tentu tindakan kolektif yang permisif ini merupakan anomali
ditengah lompatan besar negara Indonesia didalam sejarah pengakuan hak asasi
manusia. Reformasi telah membawa angin surga berupa pengakuan dan perlindungan
terhadap hak dan kebebasan bagi semua warga negara didalam berbagai instrumen
hukum nasional. Tentu pengakuan secara ‘de jure’ tersebut merupakan kunci dasar
pengakuan hak asasi manusia tanpa diskriminasi. Namun pelanggaran terhadap
prinsip non diskriminasi seperti praktik poligami bisa terjadi karena masih ada
‘conflict of laws’ dalam hukum nasional. Oleh karena itu, sudah seharusnya
poligami dihapuskan untuk melindungi hak kaum perempuan.
Harus ada aturan yang tegas untuk melarang poligami. Selain
untuk menegakan prinsip kesetaraan gender, juga untuk menghilangkan manifestasi
keagamaan yang diskriminatif. Meskipun semua manusia mempunyai hak untuk
memanifestasikan agama mereka, tetapi pelaksanaannya tidak boleh mengganggu hak
dan kebebasan fundamental manusia lainnya. Oleh karena itu, dasar penerapan
poligami berdasarkan ajaran agama tidak dibenarkan karena mengurangi hak
perempuan.
Wahyu Suci Prinsip Non Diskriminasi
Prinsip non diskriminasi atau persamaan hak
menegaskan bahwa semua manusia mempunyai hak dan kebebasan yang sama tanpa
pengecualian. Oleh karena itu, prinsip non diskriminasi merupakan salah satu
norma fundamental untuk meningkatkan derajat dan martabat manusia.
Konvensi tentang Penghapusan Semua Bentuk Diskriminasi
terhadap Perempuan menegaskan bahwa diskriminasi terhadap perempuan adalah
semua bentuk pembedaan perlakuan atau batasan yang mengakibatkan hilangnya
pengakuan terhadap hak-hak perempuan sebagaimana yang seharusnya dipunyai oleh
laki-laki. Semua jenis tindakan tersebut melanggar prinsip persamaan gender dan
mencerminkan rendahnya penghargaan terhadap martabat perempuan.
Adanya pengakuan terhadap persamaan hak bagi
perempuan tidak lepas dari sejarah dan tradisi yang melemahkan perempuan di
berbagai bidang. Subordinasi terjadi tidak saja karena pengaruh pemahaman
ajaran agama, melainkan juga dikonstruksi oleh budaya dan tradisi patriarkhi
yang banyak terjadi di berbagai negara.
Poligami dianggap diskriminatif karena menciptakan
ketimpangan kesempatan dan perlakuan antara laki-laki dan perempuan. Peraturan
yang melegalkan praktik tersebut tidak saja mengindikasikan buruknya prinsip
non diskriminasi didalam peraturan tersebut melainkan juga mencerminkan
rendahnya penghargaan terhadap kaum perempuan oleh masyarakat yang
menerapkannya.
Harus dipahami bahwa pelanggaran terhadap hak asasi manusia
tidak saja terbatas pada kegagalan untuk menyediakan atau melindungi hak asasi
manusia melainkan juga ‘kurangnya’ kepedulian untuk menyediakan hak tersebut.
Tindakan permisif dari berbagai pihak untuk terus melegalkan poligami merupakan
sebuah pelanggaran terhadap hak kaum hawa. Oleh karena itu, telah terjadi
pelanggaran yang tersistematis dari semua elemen bangsa karena semua masyarakat
Indonesia telah membiarkan berlakunya poligami.
Jika diamnya negara dan berbagai pihak
disebabkan karena anggapan tentang poligami sebagai salah satu ajaran agama
yang bersifat sakral, maka sejatinya manifestasi keagamaan tersebut juga telah
menodai prinsip non diskriminasi dan persamaan hak sebagai ‘wahyu suci’ didalam
hak asasi manusia. Kesakralan prinsip tersebut sama dengan kesucian ajaran
agama dimana pelanggaran terhadapnya merupakan ‘dosa yang sangat besar.’
Perempuan harus
dilindungi tidak dengan melihat jenis kelamin atau status mereka sebagai korban
melainkan karena perempuan adalah juga manusia seperti halnya laki-laki yang
harus mempunyai martabat, hak dan kebebasan yang sama. ‘Keikhlasan’ istri untuk
dipoligami juga tidak boleh dijadikan alasan untuk menerapkan poligami karena
yang menjadi persoalan bukanlah keikhlasan mereka melainkan persamaan derajat
dan martabat antara perempuan dan laki-laki.