Fatwa NU tentang bolehnya para jamaah shalat Jumat menginterupsi khatib yang dianggap 'ngawur' seperti menjelek-jelekan orang lain, mengafirkan kelompok Islam yang tak sepaham maupun menyebarkan kebencian telah memantik reaksi yang beragam dari umat Islam di Indonesia terutama golongan muda.
Kelompok yang menentang fatwa tersebut utamanya mempertanyakan validitas fatwa tersebut dilihat dari jurisprudensi yang ada dalam Islam. Misalnya Imam Malik yang secara tegas menyatakan tidak diperbolehkannya jamaah Shalat Jumat berbicara diantara dua khutbah.
Bagi yang setuju dengan fatwa tersebut, mereka berpendapat bahwa memang tidak seharusnya ibadah shalat dijadikan ajang 'ngerumpi' karena bisa mempengaruhi kualitas ibadah tersebut. Seperi yang dikatakan oleh Mahbub Maafi Ramdlan dari Lembaga Bahtsul Masail NU bahwa interupsi boleh dilakukan asalkan didukung oleh pengetahuan yang benar untuk mendukung interupsinya tersebut.
Fatwa NU ini sebenarnya agak terlambat dalam merespon gejala radikalisme agama di Indonesia. Tak bisa dipungkiri bahwa sejak satu dekade terakhir paham radikal Islam dikembangkan melalui kutbah-kutbah Jumat dan pengajian. Padahal salah satu fungsi shalat Jumat adalah untuk merefleksikan aktifitas umat Islam dalam seminggu terakhir. Kutbah harus mampu memperbaiki kualitas hidup dan ibadah umat, bukan justru menjadi 'kompor' yang memantik kebencian dan kemarahan.
Di beberapa masjid di kota-kota besar, seringkali kita mendengar isi kutbah yang lebih mirip dengan isi demonstrasi. Jika saja tidak ada larangan dari Imam Malik, mungkin para Jamaah tersebut sudah berteriak-teriak karena tak tahan untuk segera beraksi.
Tentu fenomena kutbah 'sontoloyo' ini menjadi sinyal kemunduran toleransi dalam Islam. Padahal Nabi Muhammad diutus oleh Tuhan untuk memperbaiki tabiat - nafsu manusia. Para khalifah juga masih mengikuti jejak nabi untuk tidak saling menyalahkan meskipun wafatnya Rasulullah tidak diikuti oleh tuntunan dari Al Quran dan Al Hadits tentang sistem pergantian kepemimpinan.
Tradisi toleransi masih berlanjut hingga masa imamiyah meskipun sebelumnya sejarah Islam telah berdarah-darah pasca peperangan kelompok Ali vs. Muawiyah dan beberapa keturuan dari dinasti Abasiyah dan Ummayah.
Ada pelajaran penting yang bisa dipetik dari keempat imamiyah, Hanafi, Maliki, Syafii dan Hambali mengenai toleransi. Keempat imam tersebut secara tegas sangat menghargai perbedaan pendapat meskipun semua umat Islam sedunia tentu mengakui kepakaran dari keempat imam tersebut.
Ketika Khalifah Al Makmun ingin menjadikan Al Muwatha, kitab mahakarya dari Imam Malik, sebagai satu-satunya pegangan resmi pemerintah untuk menafsirkan Islam, Imam Malik justru menolak. Dia meminta kepada sang khalifah untuk membiarkan umat Islam memilih pendapat yang sesuai dengan mereka.
Imam Syafii yang sangat masyhur ketokohannya di bidang ilmu fiqih juga berpendapat 'oo Ibrahim, jangan ikuti semua ijtihadku karena kamu seharusnya punya pendapat sendiri tentang agama (Islam).
Pendapat yang menghargai toleransi juga bisa kita jumpai dari sang pendiri hukum Islam, Imam Hanafi. Meskipun dia tidak mempunyai karya fenomenal seperti Imam Malik dan Imam Syafii, namun kepakarannya dalam hukum Islam tak perlu diragukan. Salah satunya adalah mengenai penghormatan Imam Hanafi tentang perbedaan pendapat. Dia berpendapat 'sepanjang yang aku tahu ini (ijtihad) adalah usaha terbaik ku namun jika ada orang yang berpendapat lebih baik maka harus diperioritaskan.
Imam Hambali sebagai imam paling muda dari ketiga imam diatas juga berpendapat 'jangan ikuti aku, Maliki, Syafii, Hanafi atau yang lain tetapi ikutilah sumber yang mereka jadikan panutan yaitu Al Quran dan Al Hadits.
Lalu, jika saat ini tiba-tiba ada begitu banyak khatib dan penceramah yang menjelek-jelekan orang atau agama lain, maka seharusnya mereka hidup jauh sebelum keempat imamiyah tersebut ada atau bahkan terlahir sebelum Islam diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Wallahualam bissawab
London, 7 Jan 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar