Hari ini aku seperti biasa ke KBRI London untuk menyampaikan laporan keuangan mingguan dari Wisma Merdeka. Dan seperti biasa juga aku selalu punya janji dengan Alex Grainger, seorang doktor politik alumnus dari LSE pada jam 3.15 sore. Biasanya aku bertemu dengan Alex, begitu dia biasanya disapa di kantin Institute of Education, sebuah perguruan tinggi yang fokusnya pada masalah pendidikan. IoE merupakan saudara kandung dari SOAS karena kedua perguruan tinggi tersebut berada dibawah naungan University of London.
Jam sudah menunjukan pukul 2.30 sore ketika aku selesai mengurus laporan keuangan. Aku langsung menuju ruang kantin KBRI yang berada di basemen untuk makan siang. Seperti biasa Pak Sobirin, sang master chef asal Cirebon yang menyajikan makanan di kantin selalu ramah melayani para pelanggan.
Aku lihat menunya hari itu Soto Sapi, Mi Goreng dan Calamari. Tak lupa tentunya nasi putih, sambal terasi dan krupuk. Harganya sangat terjangkau karena kalau aku beli disitu selalu dikasih harga stafnya KBRI alias cuma bayar 3.5 pound. Ha ha ha...lumayan lah meskipun bukan staf sungguhan tapi dapat diskon makan siang.
Selesai makan aku langsung bergegas keluar kantin karena hanya punya waktu sekitar 30 menit untuk jalan kaki ke SOAS. Langkahku aku percepat karena aku tidak ingin Alex menunggu terlalu lama.
Aku susuri jalanan Oxford yang sangat terkenal di London karena di kanan kirinya berdiri outlet pakaian terkenal. Hampir semua orang Indonesia yang datang ke London selalu menyempatkan diri mampir ke Jl. Oxford.
Aku biasanya juga sempat masuk ke beberapa outlet untuk window shopping dan olahraga namun hari itu aku putuskan untuk menyusuri jalanan untuk pedestrian yang berada di tengah jalan agar bisa cepat sampai di kampus. Jalanan pedestrian yang berada di tengah Jalan Oxford membelah jalanan menjadi dua arah. Bisa dibayangkan betapa macetnya ruas jalan ini di jam-jam sibuk karena satu jalur cuma muat untuk satu bis plus ruang sempit untuk sepeda. Jadi aku memutuskan untuk jalan kaki saja daripada naik bis namun harus terjebak macet. Belum lagi rambu-rambu lalu lintas yang sangat banyak sehingga menghambat laju bis kota London yang semuanya berwarna merah.
Jam sudah menunjukan pukul 3.20 ketika aku sampai di kantin IoE. Aku langsung masuk melalui pintu otomatis dan 'membuang mata' ke segala penjuru ruangan.
Alamak...berarti Alex hari ini tidak datang ke IoE!! gumamku dalam hati sembari melihat muka-muka bule yang tidak aku kenal semuanya.
Aku putuskan untuk menelepon Alex namun nomornya tidak aktif. Aku berfikir mungkin dia sedang di tempat favoritnya, British Library.
Setelah beberapa kali menelepon tidak nyambung, aku memutuskan untuk ke tempat favoritku, perpustakaan SOAS. Namun aku membelokan langkahku menuju ke lantai basemen untuk mampir di mushala shalat ashar.
Ruangan mushala tidak terlalu besar, berukuran sekitar 4 x 6 meter. Setiap kampus di Inggris memang menyediakan ruang untuk beribadah. Seringkali mahasiswa Muslim meminta untuk dipisahkan tempat ibadahnya dengan mahasiswa penganut agama lainnya. Jadi untuk mahasiswa Kristen, Hindu, Budha dan agama-agama lain biasanya punya tempat ibadah bersama.
Setelah mengambil wudhu dan masuk ke ruang mushala, ada seorang mahasiswa yang bertanya kepadaku.
Are you going to pray Ashar brother?
Ya...jawabku singkat sambil menatap mukanya. Dari karakter wajahnya si mahasiswa ini sangat mungkin dari Timur Tengah atau Afrika Utara seperti Mesir dan Maroko.
Biasanya jika ada orang yang bertanya shalat aku selalu berfikir dia pasti mengajak ku untuk shalat berjamaah. Dan aku akan selalu reflek untuk iqamah untuk menghindari dia memaksaku menjadi imam.
Allahuakbar...Allahuakbar...terdengar di telingaku dua kata tersebut seperti bergaung namun dengan nada suara yang berbeda. Ternyata aku menyadari bahwa si mahasiswa tersebut juga mengumandangkan iqamah.
Saat itu juga aku pegang pundaknya dan sedikit mendorongnya ke depan agar posisiku ada di belakang. Namun dia tenryata melakukan hal yang sama sembari menyelesaikan iqamahnya.
Terpaksa aku maju ke depan dan aku dengar suara si mahasiswa tersebut begitu merdu dan sangat fasih.
Hari itu aku terpaksa menjadi imam. Ya, menjadi imam dari seseorang yang aku tidak tahu namanya namun aku sangat tahu bahwa bacaan iqamahnya begitu merdu dan sangat fasih.
Aku berharap hari itu Imam Syafi'i masih hidup untuk menyaksikan seorang warga negara Indonesia yang tidak begitu fasih menjadi imam. Aku ingin Imam Syafi'i menjadi saksi bahwa suatu saat ada seseorang yang fasih namun lebih suka menjadi makmum daripada menjadi imam.
Aku ingin Imam Syafi'i menyadari bahwa ijtihadnya yang mengatakan salah satu keistimewaan shalat berjamaah adalah ketika ada satu orang yang tidak sempurna shalatnya maka akan disempurnakan oleh jamaah yang lain.
Begitu juga aku hari itu......Aku sangat yakin bacaan si makmum tadi pasti akan menyempurnakan shalat Ashar ku di mushalla SOAS University of London.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar