Nelson Mandela pernah
mengatakan; ‘jika kamu berkata dengan bahasa
yang mereka mengerti, nalar mereka akan berusaha memahaminya. Namun jika kamu
berkata dengan bahasa mereka sendiri, mereka akan meresapinya dari lubuk hati
mereka yang paling dalam’.
Argumentasi Mandela
tersebut kiranya sangat relevan untuk mengkaji persoalan hak beragama yang
hingga kini masih menyisakan ruang kontroversi. Wacana universalisme dan
relativisme hak beragama belum tuntas karena kompleksitas pemikiran dan kondisi
sosial masyarakat di berbagai negara yang beragam. Begitu juga dengan kondisi
hak beragama di Indonesia yang seakan menjadi anomali demokrasi pasca
reformasi. Semakin hari kian banyak penyerangan terhadap sekte-sekte keagamaan
yang dianggap menyimpang. Selain kurang tegasnya pemerintah, persoalan tersebut juga diperburuk dengan
wacana hak beragama yang seakan meminimalisir dimensi hukum Indonesia, yakni hanya
berkutat pada konstitusi dan instrumen internasional.
Realitas spektrum hukum
di Indonesia lebih luas, mencakup hukum yang bersumber dari agama dan kebiasaan
yang juga sangat mungkin implementasinya melampaui jurisdiksi kedua hukum tersebut.
Tidak semua orang mengenal pasal-pasal hukum nasional dan internasional tentang
hak beragama. Mereka lebih dekat dengan agama dan akrab dengan kebiasaan di
masyarakat untuk menyelesaikan persoalan hukum. Jadi sangatlah naïf jika hukum
Indonesia modern hanya mengeksplorasi instrumen internasional dan mengabaikan
dimensi-dimensi hukum lainnya yang masih berkembang di masyarakat.
Berangkat dari wacana tersebut,
tulisan ini berusaha menguji argumentasi Mandela dengan menggali spektrum hukum
Indonesia yang bersumber dari agama dan kebiasaan di masyarakat untuk
menyeimbangkan sistem hukum Indonesia mengenai hak beragama.
Hukum
Islam
Dimensi Hukum Islam
tidak bisa diabaikan dalam diskursus hak beragama di Indonesia meskipun dalam aturan
hukum nasional jurisdiksinya tidak menyinggung persoalan tersebut. Meskipun keberadaan
dan kebijakan dari institusi-institusi keagamaan pemerintah dan non pemerintah tidak
mengikat secara hukum namun kandungan moralitasnya bisa lebih kuat mengikat masyarakat.
Terkait dengan hal ini, ada dua kesalahan mendasar dari perspektif masyarakat
mengenai keberadaan institusi-institusi tersebut dalam kaitannya dengan hak
beragama di Indonesia.
Pertama, pihak-pihak
pendukung hak beragama versi instrumen internasional seakan mengabaikan peran
institusi keagamaan tersebut. Dari berbagai laporan kehidupan beragama dan
kekerasan atas nama agama, institusi-institusi tersebut seperti dianaktirikan
dan terus menjadi sasaran kritik. Di lain pihak, perlawanan institusi-institusi
keagamaan tersebut juga semakin keras ketika dipinggirkan. Di tahap inilah
spektrum penerapan hak beragama semakin melebar dan sangat mungkin sulit
diwujudkan. Hal ini disebabkan penerapan sebuah aturan tidak bisa lepas dari
konteks kehidupan masyarakat dan lembaga-lembaga sosial yang berada didalamnya.
Jika spektrum tersebut terus berlangsung maka bisa mengamputasi hak beragama
dan mengancam hak minoritas agama.
Kedua,
institusi-institusi keagamaan tersebut juga berkutat pada tataran yurisprudensi
Hukum Islam (fikih) tentang hak beragama yang tentu saja mempunyai spektrum
hukum sangat luas. Sayangnya pilihan hukum terhadap fikih yang mereka lakukan
jatuh pada tafsir keagamaan yang cenderung keras dan berlawanan dengan hak
beragama. Padahal Al Quran dan Hadits sebagai grundnorm Hukum Islam juga mempunyai dimensi humanisme yang
melindungi hak beragama bagi siapapun.
Misalnya, Surat An Nisa
(94) menegaskan bahwa siapapun yang mengucapkan ‘salam’ kepada umat Islam maka
tidak bisa dikategorikan sebagai kafir apalagi dibunuh. Ayat ini ditegaskan
lagi dengan Hadits yang juga menyatakan bahwa siapapun yang melakukan shalat
seperti umat Muslim pada umumnya, yakni dengan menghadap Kiblat maka mereka
adalah juga Muslim yang harus punya hak seperti umat Islam. Ibnu Hazm, seorang
ilmuan Islam yang hidup di era Dinasti Umayyah juga menyatakan bahwa siapa saja
yang mengucapkan kalimat syahadat menjadi Muslim.
Jadi, siapapun yang
mempunyai penafsiran keagamaan yang berbeda dengan Islam mainstream, mereka
sejatinya adalah Muslim yang seharusnya mempunyai hak yang sama dengan umat
Islam pada umumnya. Perbedaan penafsiran sudah lama terjadi di kalangan umat
Islam dan tidak perlu dimusuhi melainkan dilihat sebagai khazanah Islam.
Kebiasan
Masyarakat
Dimensi kebiasaan
masyarakat menjadi sangat penting mengingat selama ini penyerangan terhadap
minoritas agama juga terjadi di masyarakat-masyarakat pinggiran. Sangat besar
kemungkinannya mereka tidak mengenal substansi hak beragama di Konstitusi dan instrumen
internasional. Pengenalan instrumen internasional mengenai hak beragama tanpa
mengetahui kebiasaan yang terjadi di masyarakat justru bisa dilihat sebagai
sebuah pemaksaan dan ancaman. Pada akhirnya model pendekatan ini justru
menciptakan spektrum hak beragama antara masyarakat dan pegiat hak asasi
manusia.
Kita harus akui bahwa sistem
hukum di Indonesia sejak era Belanda hingga kini hanya berubah dalam tataran
teknis, yakni penulisan aturan dalam bentuk perundang-undangan. Pada dasarnya
substansi hukum kebiasaan masih terus tumbuh di masyarakat. Cara-cara
penyelesaian hukum tidak selalu berakhir di pengadilan melainkan hanya pada
tingkatan konsensus di masyarakat. Jadi kurang arif jika kita hanya mengatakan
sebuah penyerangan terhadap sebuah kelompok keagamaan adalah murni sebuah
pelanggaran hak asasi manusia. Hal ini disebabkan karena persoalan pelanggaran
terhadap hak beragama hanya dilihat dari perspektif positivistik yang mengacu
pada aturan tertulis. Para pihak yang terlibat dalam proses konsensus lebih sering
dilupakan. Selain itu pusaran perspektif penyelesaian pelanggaran hak asasi
manusia hanya berhenti di ranah tanggungjawab negara.
Mengacu pada
argumentasi diatas, berkutat pada tataran instrumen internasional sama halnya
dengan mengembalikan hukum Indonesia ke era penjajahan, menganaktirikan dimensi
hukum lain seperti kebiasaan di masyarakat dan hukum dari agama. Padahal jika
kita ingin melindungi minoritas agama yang dianggap menyimpang, tentu akan
lebih mudah jika kita menggali hak beragama yang ada di agama tersebut.
Kemudian jika kita ingin meredam kekerasan yang terjadi, sudah sepatutnya kita
menelusuri kebiasaan yang berlaku di masyarakat dalam menyelesaikan sebuah
persoalan.
Sebuah penyesaian hukum
di Indonesia tidak hanya dimaksudkan untuk memidanakan sebuah tindakan yang
berlawanan dengan hukum melainkan juga mengembalikan kondisi sosial yang sudah
rusak terkait dengan adanya konflik tersebut. Tentu konsep ini merupakan
penyimpangan dari konsep hak asasi manusia internasional yang lebih menekankan
perlindungan terhadap individu. Indonesia mempunyai sistem hukum yang berbeda
dan akan lebih baik jika kita bisa menggalinya agar masyarakat bisa meresapi
hak beragama dari lubuk hati mereka yang paling dalam.